Ads
Adab Rasul

Nabi dan Anak-anak Kita

unrecognizable people walking on hilltop with kids
Ditulis oleh Abdul Rahman Mamun

Begitulah, ketika melaksanakan Haji Wada’, Saad ibn Abi Waqqash r.a. menderita sakit keras. Rasulullah s.a.w. pun membesuknya. Saad lalu menanyakan sesuatu, “Ya Rasulullah, penyakitku ini agak berat, sedangkan aku seorang yang berharta, sementara ahli warisku tidak ada kecuali seorang putriku. Bolehkah aku sedekahkan dua per tiga dari hartaku?” 

“Tidak,” jawab Nabi. 

“Separonya?” 

“Tidak,” 

“Kalau begitu, sepertiga, ya Rasulullah?” 

“Sepertiga itu cukup banyak dan besar. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya raya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka miskin, sehingga terpaksa me-minta-minta kepada orang lain.” Demikian diriwayatkan Bukhari dan Muslim. 

Allah mengingatkan, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang (generasi) mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar” (Q 4:9). 

Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat itu meng-ingatkan kita untuk tidak membuat wasiat yang akan membawa muda-rat dan mengganggu kesejahteraan mereka yang ditinggalkan. Ia pun mengutip Ibn Abbas yang mengutip Ali ibn Abi Thalib bahwa ayat ini mengenai seseorang yang sudah mendekati ajalnya, ia hendak membuat wasiat yang menimbulkan mudarat dan merugikan anak-anaknya, maka Allah memerintahkan kepada orang yang mendengarkan itu untuk menunjukkannya kepada jalan yang benar, yaitu dengan memerintahkan kepada ahli warisnya bertakwa kepada Allah dan berlaku jujur. 

Begitu besar kewajiban orangtua untuk memenuhi hak-hak anaknya, bahkan tak hanya ketika sang orangtua masih hidu15, melainkan juga ketika dia akan meninggalkan dunia ini. Hak itu juga bukan berupa pemenuhan harta kebutuhan fisik belaka, namun juga menyangkut nilai-nilai kerohanian. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang kewajiban orang tua terhadap anaknya.  “Engkau baguskan namanya, dan berilah pendidikan, kemudian tempatkan ia di tempat yang baik,” kata Rasul seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. 

Kehadiran anak adalah berita gembira, bagaikan hiasan kehidupan, juga sebuah amanat dari Allah s.w.t., dan sekaligus ujian bagi orangtuanya. Lihat Q 19:7; 18:46; 8:28; 64:45. Begitu besarnya amanat dan nilai yang terkandung dalam diri seorang anak sampai-sampai ia bisa menjadi penghalang orangtuanya dari siksa neraka. Aisyah, istri Rasulullah, pernah didatangi seorang perempuan miskin yang membawa dua anak perempuannya. Ummul Mukminin ini mengisahkan, “Aku memberinya dua butir kurma. Kemudian ia memberikan kurma itu kepada kedua anaknya, dan ia bermaksud memakan sisanya. Namun kedua anaknya berusaha merebut sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya perempuan miskin itu tak jadi makan satu butir kurma pun.” 

Lantaran terkesan dengan perilaku perempuan itu, Aisyah lalu menceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah, dan beliau berkomentar: “Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia memperlakukan mereka secara baik, maka anak-anaknya itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka”  (Bukhari dan Muslim). 

Sayangnya, tidak semua orangtua berpunya sebagaimana Saad ibn Abi Waqqash. Banyak di antara mereka bernasib seperti perempuan yang menemui Aisyah r.a. tadi. Mereka bisa jadi terhalang memenuhi kewajiban karena faktor kemiskinan. Anak-anak yang terabaikan lantaran tak mendapat perhatian tak pernah mengenyam pendidikan, bahkan kasih sayang, sebagian memang lantaran kemiskinan orangtua mereka. Situasi kemiskinan ini pula antara lain yang melahirkan budaya kekerasan. Dan anak-anaklah salah satu korbannya. 

Jadi siapa yang bersalah? Orang tua atau situasi kemiskinan yang menindas mereka? Apa pun jawabnya, pada akhirnya, anak-anak itu toh anak kita juga. Karena itu, tuntutan akan perhatian, kasih sayang, dan pendidikan yang mestinya mereka peroleh  menjadi tanggung jawab kita bersama. “Bukan termasuk umatku mereka yang tidak menghormati yang tua dan tidak menayangi yang kecil,” Nabi besabda. 

Disebut dalam surah Al-Baqarah ayat 177, “Bukanlah menghadap-kan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta ” 

Ibnu Katsir menyatakan bahwa anak yatim adalah anak yang tidak memiliki orang yang mencarikan nafkah hidupnya—yang biasanya se-orang ayah, dalam keadaan belum balig. Muhammad Mustafa Al-Maraghi menafsirkan perihal ayat ini, “Anak yatim yang masih kecil harus diberi nafkah, sebab ia masih lemah, tidak mempunyai orang yang membiayai kebutuhan hidupnya, tidak ada orang yang menolong mengatasi persoalannya. Ia diberi nafkah agar tidak mengalami kesusahan atas dirinya, dan tidak mengganggu ketertiban hidup manusia pada umumnya.” 

Betapa banyak ayat-ayat Al-Quran yang meminta kita untuk memberi perhatian, mengurusi, dan menyantuni anak-anak yatim dan orang miskin. Terdapat 23 ayat yang menying-gung anak yatim (yatiim, yatiiman, yatimaini, ya-tama). Sedangkan ayat yang menyebutkan perihal orang miskin (miskiinan, masakin) ada 37 ayat. 

Rasulullah sendiri memberikan teladan da-lam kaitan dengan anak-anak telantar ini. Da-lam tarikh tercatat sepanjang hidupnya Nabi pernah memelihara 26 pembantu dari kalangan orang merdeka—bukan budak. Mereka sesungguhnya lebih berstatus sebagai “anak asuh” beliau ketimbang jongos. Sedangkan “anak asuh” beliau yang semula budak dan kemudian dimerdekakan bahkan mencapai 65 orang. 

Seorang di antaranya adalah Zaid ibn Harisah yang disantuni Ra-sulullah sejak dia berusia delapan tahun. Anak seorang ibu yang budak belian, Su’da binti Sa’labah, ini kelak termasuk orang yang pertama ma-suk Islam. Ia nyaris diperlakukan sebagaimana anak sendiri. Bahkan pernah suatu ketika ia dibawa keluar ke serambi rumah beliau, dan di sana Nabi s.a.w. mengumumkan kepada khalayak bahwa Zaid diangkat sebagai anak dan ahli waris beliau. Para sahabat lalu memanggilnya “Zaid ibn Muhammad”. Meskipun belakangan Allah meralat tindakan itu dengan firman-Nya: bahwa anak angkat bukanlah anak kandung (Q 33:4-5). Dan Zaid akhirnya kembali dipanggil Zaid ibn Harisah, tanpa berkurang kasih sayangnya dari Muhammad. Tentu

Tentang Penulis

Abdul Rahman Mamun

Penulis, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina dan communication strategist. Komisioner dan Ketua KIP (Komisi Informasi Pusat) RI periode 2009-2013. Meraih gelar S2 Magister Ilmu Politik di FISIP UI sebagai Lulusan Terbaik. Lulus S1 Teknik Sipil UGM dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengawali karir sebagai wartawan dan Redaktur Pelaksana Majalah Panji Masyarakat, jurnalis MetroTV dan producer ANTV, menjadi CEO Magnitude Indonesia, konsultan keterbukaan informasi dan strategi komunikasi, Direktur Utama dan Wakil Pemimpin Umum Panji Masyarakat. Menulis buku, artikel media, jurnal ilmiah dan pembicara di berbagai forum.

Tinggalkan Komentar Anda