Pernah mendengar orang membaca surah Fatihah dan diberi honor? Honornya besar pula: 30 ekor kambing.
Itu terjadi pada para sahabat Nabi sendiri, seperti dimuat dalam himpunan-himpunan Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah. Syahdan, satu rombongan sahabat Nabi s.a.w. berada dalam satu perjalanan. Ketika tiba di satu kaum, mereka berhenti. Lalu bertanya kepada kaum itu, apakah mereka bisa dijamu. Jamu-menjamu itu salah satu kebiasaan Arab. Tetapi kaum itu menolak. Tiba-tiba, ada kejadian yang menimpa pemimpin kaum. Ia dipatuk kalajengking (“dengan ekornya”, kata Al-Qasthallani, pensyarah Bukhari). Mereka sudah berusaha menolongnya, tetapi tidak ada perubahan. Lalu ada yang berkata, “Coba kalau kita datangi kafilah yang berhenti itu siapa tahu ada yang bisa sesuatu.”
Mereka datang. Lalu berkata, “Wahai, rombongan. Kepala Suku disengat kalajengking. Kami sudah coba segala macam tapi tidak berhasil. Apa di antara kalian ada yang bisa sesuatu?” “Ada,” jawab salah seorang. “Wallah, aku tahu jampi-jampi. Tapi kami kan sudah minta menjadi tamu kalian dan kalian tolak. Jadi kami tidak akan mengobati kecuali kalau kalian menjamu kami.” Mereka kemudian sepakat pada imbalan sekawanan kambing: 30 jumlahnya.
Pengobatan pun berjalan. Itu dilakukan dengan meludahi bagian yang kena sengat pada tubuh si sakit, dengan membaca Fatihah. Terkabul. Si kepala suku mulai berjalan, dan sama sekali tidak pincang.
Nah. Waktu janji 30 kambing ditunaikan, ada yang berkata, “Kita bagi.” Tapi sahabat yang mengobati menyahut, “Jangan, sampai kita bertemu Rasulullah s.a.w. Kita ceritakan, lalu kita lihat nanti apa yang beliau perintahkan.” Jadi mereka pun menghadap Rasulullah s.a.w., lalu mulai berkisah. Apa komentar Nabi? Kata beliau: “Dari mana kalian tahu bahwa itu jampi (ruqyah)?” (Dalam satu versi: maka beliau pun tertawa, dan berkata …). “Kalian benar,” kata beliau pula. “Bagilah. Masukkan juga aku dalam saham kalian.” Hadis dituturkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri. r.a. Adapun si pengobat tak lain Abu Sa’id juga, hanya rupanya dia tak ingin menonjolkan diri (Syihabuddin Al-Qasthallani, Irsyadus Sari Ii-Syarhi Shahihil Bukhari, VIII: 389).
Fungsi Sampingan
Demikianlah, maka pengobatan dengan Al-Qur’an dilakukan oleh sebagian muslimin. Tidak semuanya sebagian orang juga mempertimbangkan: bagaimana “cara memakai” hadis di atas, dalam konteks zaman dan lingkungan yang (mestinya) tidak seperti yang sudah lampau. Ini sebuah pembicaraan tentang fungsi kedua Al-Qur’an dalam kehidupan riil umat Islam, sesudah fungsi ritual (Panji, 26 Mei dan 2, 9, 16 Juni). Benar bahwa fungsi pengobatan ini sebenarnya hanya sampingan, dan bahwa ia dekat sekali dengan pengertian ritual (atau ia “ritus yang dimanfaatkan”).
Mereka yang pro pengobatan jenis itu tidak hanya berpegang pada hadis di atas. Quran sendiri, mengantarkan firman Allah yang merupakan gantungan pokok.
Misalnya QS 17. 82: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang merupakan obat dan rahmat untuk para mukmin ….” Benarkah ayat ini, dan beberapa yang lain yang senada, memang berbicara tentang obat yang dimaksudkan itu? Ya, antara lain kata sebagian kitab tafsir. Al-Baidhawi, misalnya, seperti juga sebagian yang lain, membawakan dua pendapat. Pertama, Qur’an sebagai obat untuk “meluruskan agama mereka dan menyejahterakan jiwa mereka, bagaikan obat yang menyembuhkan orang sakit.” Kedua, dari Al-Qur’an itu ada yang menyembuhkan penyakit, seperti surah Al-Fatihah dan ayat-ayat penyembuhan. (Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, III: 210).
Abu Hayyan berpendapat sama. (Bahrul Muhith, VI: 73). Juga Syaukani. Katanya, “Tidak ada penghalang untuk membawa kata obat (syifa) itu kepada kedua artinya (Fathul Qadir, Al-Jami’ baina Fannair Rizvayah wad-Dirayah min ‘Ilmit Tafsir , III: 253).
Yang berpendapat sebaliknya misalnya Zamakhsyari yang mu’tazili (Al-Kasysyaf II: 463). Bahkan tafsir Ahlus Sunnah yang dalam khazanah sekarang paling kuno, dari abad sebelum abad Zamakhsyari. Syifaa dalam ayat di atas adalah obat “yang menyembuhkan mereka dari kebodohan (dan) dari kesesatan, dan menyelamatkan dari kebutaan untuk para mukmin (Ibn Jarir Ath-Thabari, Bayan, IX: 152). Juga tafsir Ibn Katsir, yang menjadi pegangan induk kiai-kiai (Tafsirul Quranil ‘Azhim, III: 59). Dan, lebih lagi, tafsir Jalalain yang merupakan bahan pengajian sehari-hari di lingkungan pesantren. Katanya, syifaa itu obat yang menyelamatkan “dari kesesatan” (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyyuthi, 206).
Mereka yang tersebut terakhir bukannya menyatakan, secara eksplisit, bahwa ayat Al-Quran tidak bisa dipakai sehubungan dengan pengobatan jasmani, tetapi bahwa ayat tersebut tidak bicara tentang itu. Seperti itu juga, mereka yang tersebut pertama tidak mengklaim syifaa dalam ayat itu sebagai melulu obat jasmani. Mereka menyebut kedua makna. Dari kenyataan itu bisa dipahami, kiranya, bahwa batas antara “ke-obat-an” dan “ke-non-obat-an” Qur’an tipis sahaja.
Kita ambil satu contoh. Jika hadis tentang Al-Fatihah di atas mengesahkan pengobatan dengan cara itu (dibaca, dan dengan ludah), bagaimana tentang nasyrah, yaitu menuliskan asma Allah Ta’ala atau ayat Al-Qur’an, kemudian melarutkannya dalam air, lalu membasuhkannya ke tubuh orang sakit, atau meminumkannya? Ibnul Musaiyib, menurut Bahrul Muhith, membolehkannya. Tetapi Al-Hasan Al-Bashri dan An-Nakha’i melarangnya. Abu Daud meriwayatkan hadis Jabir r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, ketika ditanya tentang nasyrah: “Itu pekerjaan setan.” Pedoman itu lalu dikiaskan pula dengan nasyrah yang memakai ayat Quran dan hadis.
Aisyah r.a., dalam pada itu, membaca Mu’ auwidzatain (surah AI-Falaq dan An-Nas) di satu wadah air, lalu menyuruh tuangkan ke tubuh orang sakit. Sementara kata Ibnul Musayyib, boleh menggantungkan ‘audzah, bungkusan kecil berisi doa (suwuk; Jawa) pada rambut kepang, misalnya, dari ayat-ayat, asal ditanggalkan di waktu bersebadan atau buang hajat (besar-kecil). Al-Baqir, yang oleh orang Syiah disebut Imam ke-5, memberi keringanan dalam perkara ‘audzah yang digantungkan pada anak-anak. Ibn Sirin juga tidak melihat halangan untuk menggantungkan sesuatu dari ayat Quran di tubuh. (Abu Hayyan, ibid., 73).
Batas tipis antara kebolehan dan ketakbolehan tersebut bisa didapat dari kenyataan tentang Aisyah, istri Nabi s.a.w. yang dikenal “rasionalis”, yang justru “bermain jampi”. Bersama dengan itu adalah Ibn Qayyim Al-Jauziyah, yang selain murid bapak seluruh gerakan pembaruan (tajdid) Islam, yakni Ibn Taimiah, juga menjadi salah satu rujukan, yang juga “sangat positif” terhadap segi “keobatan” Qur’an, dengan menulis sebuah buku khusus untuk itu, Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan Cara Nabi). Dan, bersama Ibn Qayyim, tak urung juga guru beliau sendiri, Ibn Taimiah yang besar dua-duanya dari abad ke-14 Masehi.
Bersambung
Penulis: H. Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 23 Juni 1997.