Ads
Muzakarah

Kalau Imam Salah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Saudara Ali, dari Jakarta Selatan, bertanya tentang hukum melagukan ayat Al-Qur’an dalam salat. Imam Jumat di Masjid Istiglal biasanya membaca Al-Qur’an dengan lagu. Juga imam Masjidil Haram. Padahal dia pernah diberi tahu bahwa membaca ayat Qur’an dalam salat dengan lagu tidak boleh karena bisa menghilangkan kekhusyukan. Kesannya, katanya, main-main. Padahal main-main kan tidak dibolehkan dalam salat?

Bung Ali juga sering menjadi makmum imam yang tidak fasih. Khususnya di tempat-tempat yang tidak punya imam tetap, imamnya jelek dalam pengucapan huruf: sliad dibaca sin, lain dibaca hamzah, dan seterusnya. Tak sedikit pula imam yang buruk dalam hal madd: yang pendek dibaca panjang, yang panjang dibaca pendek. Pertanyaannya, kalau ia salat di belakang imam seperti itu, “Sahkah salat saya?”

Masih ada pertanyaan ketiga. Bung Ali pernah bermakmum kepada imam yang mencampurkan beberapa ayat yang diambil dari sana-sini (semuanya ayat-ayat yang “keras kepada kaum kafir). Bolehkah itu?

Jawaban Tim Muzakarah

Ada tiga pertanyaan. Untuk yang pertama, tentang lagu dalam salat, tentu yang dimaksudkan Saudara Ali bukan pelaguan Qur’an seperti yang dilakukan para qari dalam musabaqah, misalnya. Kalau seperti itu (lambat, terkadang diulang-ulang), betapa panjangnya salat yang dikerjakan. Anda pasti tidak bakal tahan.

Yang ada, dalam kenyataan, ialah imam yang membaca Quran dengan suara bagus dan dengan lagu. Itu memang banyak—dan akan semakin banyak, seiring dengan tumbuhnya jumlah para qari kita. Masalahnya, Bung Ali, betulkah itu mengurangi kekhusyukan? Betulkah terdengar seperti main-main? Ah, yang benar. Kalau si imam memang lebih berasyik-asyik dengan lagu, lebih mementingkan lekuk-lekuk suaranya dibanding Qur’annya, itu sih memang tidak seyogianya. Salat adalah media dialog kita dengan Allah, dan dialog itu hanya bisa kita rasakan kalau kita khusyuk. Sedangkan lagu Qur’an yang seperti itu bukan hanya mengurangi kekhusyukan, tapi ia sendiri jelas tidak lahir dari jiwa yang khusyuk. Biasanya yang seperti itu dilahirkan oleh, sadar tak sadar, keinginan pamer. Alias riya. Tetapi bagaimana salatnya?

Tetap sah—asal syarat-rukunnya lengkap. Sah bagi si imam, maupun lebih-lebih bagi makmum. Soal apakah salat yang sah (menurut fikih) itu diterima Allah, kita tak tahu. Tapi betulkah imam Istiqlal atau Masjidil Haram seperti itu? Bagi kami, tidak. Lagu para imam di sana itu keluar begitu saja, hampir tanpa sengaja. Mungkin si imam seorang qari, baik formal (dikenal umum) maupun tidak. Dan kalau seorang qari membaca Qur’an, tanpa disetel pun pasti begitu. Lagu itu justru bagian dari kekhusyukannya, dan biasanya justru menambah kekhusyukan jamaah. Begitulah sehingga Nabi pernah bersabda, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (Untuk lebih luas lihat Panji, 2 Juni, Tafsir).

Kecuali kalau lagu itu menyebabkan bacaan salah. Misalnya karena ayat diseret-seret, panjang-pendeknya disesuaikan dengan lagu, dan bukan sebaliknya. Tapi ini masalah kedua—masuk kategori kesalahan pembacaan. Untuk ini, pertanyaan Bung Ali berbunyi: bagaimana “hukum salat di belakang imam yang tidak fasih. Ketidakfasihan itu salah satu dari kesalahan pembacaan itu. Dan kesalahan itu sendiri bisa dipilah-pilah.

Pertama, yang sampai mengubah arti. Misalnya, haadzal ghuraabi (burung gagak ini) keliru dibaca haadzal ghubaari (debu ini). Menurut Imam Abu Hanifah, itu membatalkan salat. Begitupun menurut murid Imam Abu Yusuf. Kebetulan ungkapan itu tidak ada padanannya dalam ayat lain. Tapi, kalau ada padanan-nya, kata Abu Yusuf, salatnya tidak batal—karena umumul balwa, tergolong banyak jebakannya, sehingga sulit dihindari. Misalnya: Faman ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarah keliru dibaca khairan yarah, atau sebaliknya. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II:20-21). Itu tidak membatalkan. Demikian menurut Hanafi, mazhabnya orang Pakistan.

Kedua, kesalahan seperti yang contohnya disebut Bung Ali: shad dibunyikan sin, ‘ain dibunyikan hamzah. Ini juga tidak membatalkan. Kecuali kalau “huruf pengganti”-nya jauh sekali: shad diganti tha, misalnya. Baru salatnya tidak sah. ‘Ain yang dibunyikan nga, seperti pada sebagian muslimin pedalaman Jawa Tengah, atau zai yang dibaca ya (` alamin menjadi ngalamin, seperti juga nama Muzayin diucapkan Muyayin), juga bisa kita hitung sebagai kesalahan yang dekat, yang tidak menyebabkan kebatalan. Begitu pula kalau orang menambah satu huruf: shiraathal ladziina dibaca ash-shiraathal ladziina. Atau membaca dengan tasydid di tempat yang tidak ber-tasydid (maliki dibaca malliki), atau sebaliknya: arrahmaani dibaca arahmaani.

Kesalahan pengucapan harakat di akhir kata, yang dalam bahasa Arab tergolong kesalahan gramatikal (al-hamdu dibaca al-hamda) tidak pula membatalkan. Juga, kita tambahkan, penambahan bunyi e sesudah alif dan lam: alhamdu dibaca alehamdu). Pengulangan kata juga ti-dak membatalkan salat, meski mengubah arti: rabbil rabbil ‘aalamiin, misalnya. Itu semua tidak apa-apa, asal—syaratnya—tidak ada kesengajaan. Toh ada kekecualiannya. Tasydid pada ba-nya rabbil alamin dan pada ya-nya iyyaka na’budu, tidak boleh hilang. (Zuhaili, ibid, 11:21).

Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam pada itu, membuat ukuran lain. Yakni Su. rah Fatihah. Menurut beliau, kesalahan di luar Al-Fatihah, meski mengubah makna, tidak apa-apa. Tapi jika kesalahan terjadi dalam Fatihah, dan mengubah makna, salat batal. Tak peduli apakah kesalahan itu ada padanannya dalam ayat lain atau tidak. Kalau tidak mengubah makna, tidak batal.

Baiklah. Sekarang, bagaimana kalau orang memang belum bisa membaca dengan fasih? Sahkah salatnya? Para ulama punya jawaban sama: sah. Hanya, ia mesti terus berlatih memperbaiki bacaannya. Apalagi hanya tidak fasih. Bahkan orang yang belum bisa membaca Al-Fatihah boleh membaca zikir, tasbih, dan semacamnya, untuk waktu kira-kira sepanjang bacaan Fatihah. Rifa’ah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah mengajari salat seorang laki-laki. “Jika kamu bisa membaca Qur’an, bacalah. Jika tidak, pujilah Allah, bertakbirlah, bertahlil, kemudian rukuk,” kata beliau. Dalam hadis lain, dari Abdullah ibn Abi Aufa r.a., Nabi didatangi seorang laki-laki. “Saya tidak bisa membaca satu pun ayat Al-Qur’an. Mohon ajarilah saya dengan bacaan yang bisa menggantikannya,” katanya. Rasul menjawab, “Bacalah subhanallah wal-hamdu lillah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illaa billah. (Syaukani, Nailul Authar, 11:247). Kalau toh orang tidak bisa juga membaca tasbih dan semacamnya, ia boleh diam saja sepanjang bacaan Al-Fatihah, dengan hati menghadap Allah.

Memang, Bung Ali, mestinya orang yang tidak bisa membaca Al-Quran dengan benar, alias tidak fasih, tidak menjadi imam. Kalau begitu, siapakah orang.yang paling cocok menjadi imam? Dilihat dari segi penguasaan AI-, Quran, memang menurut sabda Nabi: “Orang yang paling baik bacaannya di antara mereka.” Kemudian, “Jika mereka sama dari segi bacaan, maka yang lebih baik pengetahuannya tentang Sunnah.” Begitulah yang dipakai mazhab Hanbali, mazhabnya orang Saudi. (Zuhaili, II:185).

Mazhab-mazhab lain cenderung lebih mendahulu-kan orang yang paling bag. us bacaannya dan paling alim di bidang fikih. Ini disebut sebagai ijmak ulama. Tentunya karena yang dimaksud Nabi s.a.w. dengan sunnah di atas bukanlah ilmu hadis, seperti yang dipahami sekarang, yang di zaman Nabi belum ada. Melainkan: ajaran-ajaran Nabi s.a.w., khususnya yang berhubungan dengan salat, dan yang terpenting yang sekarang ini kita pahami sebagai fikih. Jadi antara “sunnah” dan “hadis” itu tidak harus bertentangan. Hanya saja, “persyaratan” imam seperti itu sebenarnya bukan persyaratan sahnya salat jamaah. Hanya musta-habb, alias ‘disukai’, istilah yang sama bobotnya dengan ‘sunnah’. (Maratibul Ijma’, 28; Al-Muhalla, 487; Al-Mughni, II:150, 153, 169).

Pertanyaan ketiga tentang imam yang mencampur-kan ayat dari sana-sini. Ini tidak etis. Dan para ulama sepakat menyatakannya sebagai terlarang dan tercela. (Al-Majmu’ II:180; Al-Mausu’ ah fil-Fiqhil Islami, terj. Pustaka Firdaus, 540) Mengapa? Karena urut-urutan ayat Quran untuk tiap surah dalam mushaf kita berdasarkan ketentuan Nabi s.a.w. Dan membacanya terbalik-balik atau campur baur, kita pahami, bisa merusak setidak-tidaknya arti global, di samping arti rincian, plus hikmah Allah dalam urut-urutan itu. Nabi sendiri pernah menegur Bilal ibn Rabah r.a. yang membaca Quran secara campur-campur. Jadi, meski hanya dalam satu surah, tak boleh seorang imam meloncat-loncat, memilih hanya ayat-ayat yang membicarakan satu topik, misalnya. Apa lagi dari bermacam surah. Memang, itu boleh dilakukan di dalam satu pembahasan, baik lisan maupun lebih-lebih tertulis. Misalnya memilih ayat-ayat dari bermacam surah yang berkenaan dengan satu tema, kemudian membahasnya. Tapi tidak dalam satu ritual pembacaan. Apalagi dalam salat.

Bagaimana dengan imam yang membaca tidak secara urut surah per surah? Misalnya, surah An-Nas pada rakaat pertama, lalu Al-Alaq pada rakaat kedua, padahal mestinya sebaliknya? Kalau yang ini, ulama sepakat membolehkannya. (Fathul Bari, IX/ 32, Ensiklopedi Ijmak, 540). Toh lebih disukai yang urut, rnenurut tertib mushaf kita, dengan memilih surah yang lebih panjang untuk rakaat pertama dan yang lebih pendek untuk rakaat kedua. Itulah tuntunan Rasulullah. (Syaukani, Nailul Authar, 11/248).

Baiklah. Sekarang, bagaimana sikap kita bila imam berbuat kesalahan? Ada satu. tindakan yang kami sarankan. Yakni, kalau Bung Ali tahu kesalahan itu mengubah makna, atau si imam membolak-balik ayat atau main campur-campur, ataupun dia melagukan Qur’an secara dibuat-buat, terkesan main-main, Anda sebaiknya memisahkan diri (mufaraqah). Itu boleh, daripada salat Anda terancam ikut batal. Anda teruskan saja salat sendiri, dan bukan membatalkannya dan mulai lagi. Tapi, kalau kesalahan itu sepele dan tidak merusak makna, seperti contoh ketidakfasihan yang Anda sebutkan, Anda boleh memilih: terus, atau pisah. Yang jelas berhukum makruh ialah bila Anda memulai bermakmum kepada orang yang sudah Anda ketahui tidak fasih dalam bacaan. Tapi salat Anda sah. (lihat Zuhaili, II:190). Wallahul Muaffiq.

Sumber: Panji Masyarakat No. 16/ I/4 Agustus 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda