Ads
Pengalaman Religius

Dwiki Dharmawan (1): Mendekatkan Musik dengan Pencipta

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Belum banyak pemusik “sekuler” yang mewarnai karyanya dengan nuansa religius. Tetapi Dwiki Dharmawan, anggota Krakatau Band, mencoba memulainya. Sejak 1990, warna religi terasa kental dalam musiknya . “Ini hanya sebuah ungkapan rasa syukur kepada Allah,” ujar suami penyanyi Ita Purnamasari kepada Agung Rulianto dan Iqbal Setyarso dari Panjimas.

Suatu hari pada tahun 1989. Aku membaca puisi-puisi A.G.S. Dipayana, dan langsung tertarik. Aku pun datang menemuinya. “Mas, aku senang puisimu, aku ingin mengangkatnya dalam lagu.” Rupanya kami berjodoh, saya dan dia, melalui proses kreatif mulai menggarap lagu-lagu bernuansa religius. Sering orang bertanya, mengapa Dwiki memilih lagu-lagu bernuansa keagamaan?

Semua itu bermula dari keluarga. Kami empat bersaudara. Ayah bekerja sebagai pamong praja di Bandung yang kemudian dipindahkan ke Ciamis. Saat aku mencapai bangku SMP, ayah kembali bertugas di Bandung.

Bandung membuatku mengenal musik. Aku mulai akrab dengan tuts-tuts piano dan simfoni klasik, sekaligus belajar musik tradisional, karena dorongan ibu. Ibuku yakin, musik punya pengaruh yang baik bagi pertumbuhan kepribadian anak. Aku masih ingat kata-katanya, “Selain belajar musik Barat, kamu juga harus mengenal akar budaya sendiri,” Kebetulan rumah kami dekat Akademi Seni Tari dan Karawitan (kini Sekolah Tinggi Tari dan Karawitan). Jadi aku pun sering mendapat bimbingan mengenai seni tradisional. Hingga saat itu, musik masih sekadar penambahan wawasan bagiku.

Di tambah lagi keluarga kami tergolong muslim yang taat. Waktu itu, keluarga yang peduli terhadap pendidikan Islam anaknya mempunyai kebiasaan mendatangkan guru mengaji. Begitu pula kami di rumah. Saat ini, tentu sudah lebih bagus, anak-anak muslim bisa belajar di TK Al-Quran. Ketika saya kelas tiga SMP, ayah-ibu baru kembali dari Tanah Suci menunaikan rukun Islam kelima. Belum genap satu bulan, awan duka menyelimuti keluarga kami. Ayahku yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Ini terjadi tahun 1982.

Aku masih punya adik kecil. Yang bungsu masih berusia empat tahun, sedangkan ibu murni mengurus rumah tangga. Beban ekonomi keluarga harus kami pikul bersama. Kami bersatu mengatasi semua persoalan. Pada usia belia, aku berpikir untuk mencari nafkah. Pilihannya tentu saja musik, mengingat hanya itu yang bisa kucoba untuk memperoleh penghasilan. Ikhtiar itu berjalan, hingga pada 1984 akhir atau awal 1985, aku bersama beberapa kawan mendirikan kelompok musik Krakatau. Terus-terang, Krakatau membuatku semakin jatuh cinta pada musik.

Tren fusion sedang melanda Indonesia. Kurasa tak ada salahnya untuk menggelutinya. Kami di Krakatau diliputi semangat menghasilkan karya orisinal. Alhamdulilah, publik menerimanya. Saking cintanya dengan musik, kuliahku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran keteteran karena sering mangkir. Selalu saja ada urusan ke Jakarta. Akhirnya kuputuskan pindah ke Jakarta. Aku coba kuliah lagi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tapi, saking asyiknya dengan musik yang ini pun tak selesai.

Apa mau dikata. Kuputuskan musik untuk menjadi tumpuan hidup. Kala itu hidup dari musik dianggap tak menjanjikan. Limpahan karunia Allah terus mengalir, saat aku berkesempatan menggarap musik film di masa-masa akhir sebelum perfilman Indonesia mengalami kehancuran. Aku mengisi musik filmnya Garin, Cinta dalam Sepotong Roti, yang mendapat Piala Citra. Sesudah itu, masa perfilman kita meredup. Kesempatan di sana pun tak lagi menjanjikan.

Dalam rentang yang lumayan panjang itu, di saat seorang Dwiki dilimpahi banyak kemurahan-Nya, akhirnya aku mulai memasuki perenungan-perenungan. Ini harus disyukuri. Bisa jadi karena faktor usia yang terus merambat tua, aku mulai membangun batasan-batasan. Bagiku, musik tumpuan hidupku, sebagai karya tidak boleh mengundang dampak buruk. Sedapat-dapatnya, sebuah karya seni bisa mendorong orang untuk dekat dengan Maha Pencipta. Aku mulai ngeri saat seorang artis atau seniman mulai dikultuskan. Berbahaya jika penggemar jadi begitu gampang meniru perilaku idolanya.

Misalnya saja, sikap Madonna yang kepingin punya anak tetapi tak mau kawin. Kalau sikapnya membayar lelaki lantas setelah lahir bayinya ia tak mau diusik lelaki itu, ditiru generasi muda kita, bahaya kan? Orang Barat memang terkadang amat lain.

Aku tak ingat persis sejak kapan kesadaran seperti itu mulai muncul. Mungkin pada awal 1990-an. Aku mulai sadar ada keharusan moral bagi musisi, terlebih lagi sebagai muslim. Tetapi aku tidak ingin terjebak hingga melahirkan kesan ekstrem. Bagiku menjadi sadar tidak harus tampil layaknya seorang ustadz. Yang utama substansinya, tentu. Seni itu umum, universal.

Seperti juga kesenian islami kontemporer. Di sana mesti mampu ditangkap makna simbolisasinya. Mungkin yang lebih konkret adalah lukisan. Misalnya kaligrafi, tanpa harus secara jelas-jelas membentuk huruf-huruf Arab, ada yang mampu memancing pemerhati hingga tersentuh jiwanya.

Aku suka karya A.D. Pirous. Aku selalu terlena memandangi karyanya, padahal lukisannya abstrak, tak jelas-jelas amat memunculkan simbol huruf Arab. Tetapi rasa keagamaan menelusupi batinku. Aku pernah menanyakan kepada A.D. Pirous, mengapa itu terjadi. Pirous menjelaskan, itu bisa muncul karena kesungguhan pelukisnya. Dia berkarya benar-benar dari lubuk hatinya dengan keyakinan dirinya rendah, kecil, di bawah kebesaran Allah.

Saat berkarya, perasaan itulah yang mempengaruhinya. Karena pelukisnya sungguh-sungguh berada dalam cekaman rasa keagamaan saat berkarya, bagi penikmat karyanya pun pancaran itu terasa. Bagaimana dengan musik. Aku sadar, di sini lebih kompleks. Pada musik terdapat lirik, kostum, penampilan panggung, koreografi, dan banyak lagi. Berat, memang. Dengan kesadaran itu, aku tak mau gegabah memberi sentuhan keagamaan dalam karya kolektif musisi. Barat mengajarkan seni untuk seni. Tetapi bagiku, minimal aku harus berkarya dalam spirit Islam. Insya Allah, karya-karyaku bermanfaat. Aku tabu, sejauh ini aku belum berbuat apa-apa.

Kesungguhan itu memang mulai berdampak. Menuruti tuntunan ke arah Sana, alhamdulillah tidak putus rezeki, justru bertambah. Aku sempat mendapat kesempatan ke Amerika untuk studi perbandingan dan menjajaki peluang menjadi penyalur peralatan musik. Kembali ke Indonesia, RCTI menawariku main di acara Gema Takbir. Ini keterusan, setiap menjelang Ramadan, ada saja yang membutuhkan musik pendukung acara Gema Takbir. Kalau sudah begitu, biasanya mereka mencari Dwiki.

Seperti halnya A.D. Pirous berkarya, aku menggarap musik dengan kesungguhan ke Sana. Aku merasa, sepertinya kita di sini masih kekurangan pemusik agamis. Padahal, ini lahan yang tak kalah daya tariknya. Lihat saja, Jalaluddin Rumi, bisa menciptakan “tarian filsuf”. Koreografinya, “bertaut dengan Tuhan”. Aku pernah melihat penampilan mereka, tetapi bukan di Turki. Ada kelompok penari asal Turki menunjukkan kepiawaiannya menarikan tarian itu. Kemudian, tarian itu diadaptasi koreografer Indonesia dengan judul tarian Hasilnya amat memukau.

Apa yang kualami dengan “kesadaran agamis” ini makin membesarkan harapan. Rasa syukur itu mendorongku berpikir dalam-dalam, apa yang bisa kuperbuat dari musik? Saat itu aku mendapat kesempatan tampil di RCTI bersama Ita (Ita Purnamasari, istrinya, Red.). Kusempatkan membuat lagu berjudul Menuju Kemenangan. Lagu itu diciptakan saat penghujung Ramadan. Ada rasa sedih menyusup di hati saat Ramadan segera berlalu.

Aku masih ingin berlama-lama dengan Ramadan. Bisakah aku ikut Ramadan lagi? Ini mendorong kami menciptakan lagu itu. “Mau klip untuk Ramadan?” kutawarkan ke RCTI. Mereka menjawab, “Mau banget.” Kondisi awal 1990-an itu memacu semangatku yang mulai memperoleh tempat.

Bersambung

Sumber : Panji Masyarakat, 19 Mei 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda