Kecenderungan yang berbeda-beda pada para sahabat menjadikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagai guru dan “sesepuh” mereka, selalu ber-usaha mengembangkan sifat-sifat yang paling menonjol dalam diri mereka masing-masing. Terutama dalam hal yang berkaitan erat dengan pengajaran dan keilmuan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh Abu Hurairah r.a., misalnya, untuk ber-hati-hati dalam masalah hadis. “Ya, Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak atas syafa’atmu pada hari kiamat kelak?” suatu kali periwayat masyhur itu bertanya. “Sudah kuduga wahai Abu Hurairah, tidak ada orang yang mendahuluimu menanyakan hal ini. Karena aku lihat betapa besarnya perhatianmu terhadap hadis,” Nabi menjawab. Tersirat, betapa Nabi punya perhatian terhadap pengembangan bakat seseorang.
Perhatian Nabi terhadap bakat dan kecenderungan para sahabatnya juga tampak dalam setiap pemberian tugas dan wewenang. Ali ibn Abi Thalib r.a. diutus ke Yaman sebagai hakim, karena kepakarannya dalam masalah peradilan. Rasulullah bersabda, “Berangkatlah, sesungguhnya Allah akan meneguhkan lidahmu dan membimbing hatimu” (HR Ahmad).
Muadz ibn Jabal r.a. adalah orang yang “ngelotok” tentang halal haram. Dan Ibnu Mas’ud meski juga pembantu Nabi namun ia adalah pakar dalam perkara bacaan Al-Quran. Hingga Nabi pernah bersabda, “Be-lajarlah Al-Quran dari empat sahabat. Ibnu Mas’ud, Ubai, Muadz ibn Jabal, dan Salim, anak angkat Abu Hudzaifah.” Tentang Khalid ibn Wa-lid, seorang sahabat yang kelak menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin yang cerdik dan tangguh di medan perang, dikatakannya sebagai, “Khalid, hamba Allah yang baik, perekat persaudaraan, dan salah satu pedang Allah di hadapan orang-orang kafir dan munafik” (HR Ahmad).
“Setiap umat punya jurusannya (kiblat) sendiri, maka berlomba-lombalah menuju kebaikan” (Al-Baqarah: 148). Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyadari betul potensi itu pada sahabat-sahabatnya.
Sering terdengar keluhan orang-tua lantaran anaknya ogah-ogahan memilih jurusan atau bidang studi yang menurut mereka bisa menjamin masa depan. Namun lebih kerap lagi anak png ngomel lantaran harus belajar di bidang yang sama sekali tidak diminatnya. Cuma karena alasan “berbakti” kapada orangtua mereka toh masuk di situ juga akhirnya. Ada, memang, anak yang akhirnya berhasil di bidang itu, menjadi insinyur atau dokter misalnya. Meskipun tidak sedikit yang harus menanggung “penderitaan demi penderitaan”: mood belajar yang tidak optimal, meraih prestasi sekadarnya, atau bahkan ada yang frustrasi.
Maka, bukan hal aneh bahwa seseorang setelah menyelesaikan sekolah formalnya toh akhirnya menekuni apa yang benar-benar menjadi minatnya, tidak selalu sesuai dengan latar belakang studinya. Selain faktor asal dapat kerja dulu.
Beda pendapat antara orangtua dan anak adalah hal biasa. Namun kadang justru tak sampai terjadi, bukan lantaran keduanya mencapai kesamaan, namun karena ada saja anak yang memilih diam, lalu begitu saja mengikuti keinginan orangtuanya. Meskipun ia tetap tidak menyukai apa yang dijalaninya. Alasannya, takut dituduh “tidak berbakti” kepada orangtua. Ini klise, tapi toh masih saja terjadi pada kita.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ajaklah main (anakmu) tujuh tahun, didiklah dia tujuh tahun, dan temani dia tujuh tahun.”
Anak seusia lulusan sekolah menengah umum mestinya kan sudah balig. Dan sebagaimana ketentuan yang diberikan kepada seorang mukailaf—yang sudah dibebani kewajiban-kewajiban agama dan tanggung jawab kehidupan secara umum karena terhitung dewasa juga berhak atas keputusan yang diambilnya. Mestinya, peran orangtua tinggallah sebagai pengarah, teman, tempat dimintai pertimbangan.
Anak, sebelum ia mukallaf, me-mang merupakan amanat dari Allah s.w.t. dan sekaligus ujian bagi tanggung jawab orangtua (Q. 8:28; 64:45). Itulah sebabnya sebelum dewasa orangtuanya yang berkewajiban untuk mempersiapkan dan mendidiknya agar mengenal dan mampu mengamalkan kewajiban agama, seperti salat, puasa, serta mampu bersosialisasi secara baik. Dan kelak ketika dewasa ia bisa mengambil keputusan untuk dirinya secara benar dan bertanggung jawab.
Ali ibn Abi Thalib pernah mengatakan, “Persiapkan dan didiklah anakmu, karena ia akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu.”
Seribu tiga ratus tahun se-peninggal Sayidina Ali, penyair kelahiran Libanon Kahlil Gibran menulis sajaknya yang seolah menjelaskan ucapan sahabat Rasulullah ini.
Anakmu bukanlah milikmu
Mereka putra-putri Sang hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, tapi tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri,
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi, tidak untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni jiwa masa depan, yang tiada dapat kaukunjungi sekalipun dalam impian.