Dalam beberapa bulan terakhir ini kita membaca terjadinya sejumlah peristiwa penembakan yang menewaskan banyak orang yang tidak bersalah. Terutama yang terjadi di beberapa kota di Amerika dilakukan di pusat perbelanjaan, di sekolah, di rumah ibadah dan tempat keramaian lainnya. Kemudian juga terjadi penembakan di Jepang yang dilakukan terhadap mantan perdana menteri Jepang Shinso Abe yang menyebabkan ia mengakhiri hidupnya. Pelakunya Tetsuya Yamagami (41) yang membidiknya dari arah belakang ketika Abe sedang berkampanye di kota Nara.
Di negara kita juga muncul kasus penembakan yang sedang hangat diperbincangkan, yaitu yang terjadi di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yang menyebabkan tewasnya Brigadir J atau Nofryansah Yosua Hutabarat dalam peristiwa saling tembak dengan Bharada E. Keduanya adalah ajudan pribadi Irjen Ferdy Sambo. Peristiwa ini sekarang sedang dalam penyelidikan Polda Metro Jaya.
Kemudian pada 18 Juli lalu seorang isteri anggota TNI di Semarang ditembak di depan rumahnya oleh orang tak dikenal (OTK). Beruntung korban masih selamat setelah dilarikan ke rumah sakit.
Bila kita lihat di Amerika Serikat dan juga di negara Eropa seperti Perancis, peristiwa penembakan umumnya terjadi karena faktor SARA, artinya masih ada unsur atau pengaruh kecemburuan ras atau kaum kulit putih pada golongan kulit hitam. Sedangkan di Perancis sering dipicu masalah kebebasan berekspresi dimana orang membuat karikatur yang sering menyinggung golongan Islam dengan menggambar karikatur Nabi Muhammad yang disucikan.
Di negara kita tindak pidana penembakan umumnya masih tergolong minim terjadi. Hal ini disebabkan karena senjata api hanya dimiliki oleh orang yang terbatas, dan tidak semua orang bisa memiliki. Ini tentu berbeda dengan di negara maju seperti Amerika yang mana senjata api bisa dimiliki oleh masyarakat.
Kalaupun di negara kita terjadi kasus penembakan biasanya muncul di Papua yang dilakukan kelompok separatis atau KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata).
Kemudian dalam beberapa kasus penembakan bersifat internal dan terbatas dalam arti dilakukan oleh aparat hukum, seperti kasus unlawfull killing di KM 50 tol Cikampek yang menewaskan 6 orang anggota FPI. Kemudian kasus yang belakangan ini terjadi di kediaman Irjen Fredy Sambo tembak menembak antara Brigjen J dengan Bharada E. Ini sebagai peristiwa pidana biasa yang sekarang ini sedang didalami.
Kekerasan dengan menggunakan senjata selama masih bersifat kejahatan konvensional, dalam arti untuk mencuri, merampok atau ingin mendapatkan harta maupun karena percekcokan masalah pribadi, masih belum mengkhawatirkan, dan cara mengatasinya masih relatif mudah.
Namun, suatu kejahatan yang menggunakan senjata api karena latarbelang ideologi, keyakinan atau faktor politik barangkali inilah yang harus dicermati dengan hati-hati. Kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa kekerasan menggunakan senjata ini baik yang terjadi di luar negeri maupun di dalam negeri.
Indonesia sekarang termasuk negara yang relatif lebih aman. Meskipun terdapat banyak agama, suku, aliran agama dan bahasa, semuanya tidak menimbulkan fanatisme dan sikap kaku atau rigid yang berlebihan. Masyarakat masih bisa hidup damai dan berjalan harmonis.
Yang dikhawatirkan sebagai potensi konflik dan kekerasan di negara kita masa depan adalah persoalan kesenjangan ekonomi dan gap kaya miskin. Jika kemiskinan bertambah dan beban hidup dirasakan makin berat maka hal ini akan memancing kerusuhan sosial dan kekacaun. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 1998 yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan orde baru.
Kedua, jika lembaga atau institusi -institusi penyalur aspirasi rakyat tidak berfungsi dan tidak berjalan seperti DPR dan partai politik, maka hal ini akan memunculkan parlemen jalanan dan menimbulkan ketidaknyamanan, instabilitas dan mengganggu keamanan dalam masyarakat.
Ketiga, hukum yang dirasakan kurang berjalan dengan adil dan tidak sama buat semua orang (equality before the law) akan memicu ketidakpuasan sosial dan memancing perlawanan masyarakat. Karena itu asas kesamaan di muka hukum ini sangat penting diperhatikan.
Keempat, masyarakat harus memiliki jiwa toleransi yang tinggi, menghargai keyakinan setiap orang dengan tidak melakukan penistaan agama, penistaan terhadap tokoh agama, menghormati rumah ibadah, menghormati kitab suci setiap agama, yang intinya adalah memelihara dan menjaga kerukunan.
Bila empat hal ini bisa berjalan dengan baik maka di masyarakat tidak akan ada tindakan ektrim seperti peristiwa penembakan, pembunuhan dan kekacauan yang menggangu kenyamanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rakyat akan tenang menjalani kehidupan sehari-hari dan berusaha meningkatkan kesejahteraan untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia lahir dan batin. Semoga.