Buya Hamka dan Tasawuf
Berbeda dengan kebanyakan kaum modernis yang selalu cenderung untuk menolak tasawuf dengan menunjukkan segi-segi negatif dalam aplikasinya yang seoolah meninggalkan keduiawian dan tenggelam dalam keasyikan rohani yang menuju alam bathin, Hamka dalam usia sangat muda justru berusaha keras untuk menyelidiki gagasan-gagasan kaum sufi. Berbagai aliran tasawuf dan tarikat memang telah lM mengembangkan pengaruhnya di tanah air kita, bahwa tak jarang terjadi perselisihan di antara penyokong-penyokong aliran-aliran tersebut.
Di tanah Minangkabau sendiri, tempat di mana Buya Hamka dibesarkan, berbagai aliran tasawuf, terutama tarekat Naqsabandiah telah berkembang pesat. Sekalipun ulama-ulama yang jeleknya diikuti oleh Hamka, seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan ayahnya sendiri Dr. Abdul Karim Amrullah dikenal sebagai tokoh-tokoh yang keras menantang amalan-amalan tarekat Naqsabandiah terutama tentang me-rabithah-kan guru (menghadirkan guru dalam ingatan seketika akan memulai tawajuh), tidaklah menyebabkan Hamka menolak keseluruhan ajaran yang dikembangkan oleh kaum sufi.
Perselisihan pandangan tentang berbagai masalah keagamaan sering menyebabkan Hamka untuk bertindak kritis, ia tak mudah dengan begitu saja mengikuti pandangan tokoh-tokoh, sebelum ia sendiri terjun untuk menyelidiki soal-soal yang diperdebatkan itu Dalam banyak kasus, sering pula Hamka tampil sebagai penengah. Demikian halnya dengan filsafat yang ditolak ulama-ulama tradisional, Hamka menyelidiki filsafat dan mencoba menghidupkan kembali berfilsafat di kalangan kaum muslimin. Tentang tasawuf pun ia berbuat serupa. Diselidiknya tasawuf yang banyak ditentang oleh kaum modernis, dan ia berupaya keras untuk menghidupkan dengan jalan mengembalikan jalan tasawuf itu kepada sumbernya yang asal yaitu Al-Qur’an, sunah Nabi dan tradisi sahabat Rasulullah.
Penyelidikannya yang seksama tentang perkembangan tasawuf yang dituangkan Hamka dalam karyanya Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad yang dicetak berulang kali baik di negeri kita maupun di Malaysia. Dengan bahasa yang mudah, Hamka memaparkan sebagai gagasan pokok tokoh-tokoh tasawuf. Terkadang ia mengkritik dan mengecamnya, terkadang ia menyokong pendirian-pendirian tertentu yang dipandangnya dapat diterima. Dalam penyelidikannya itu, Hamka berkeyakinan bahwa kehidupan kerohanian yang dituntut kaum sufi adalah berdasarkan kepada ajaran-ajaran Islam. Ia tak menolak adanya pengaruh berbagai tradisi seperti tradisi kebiaraan Nasrani, filsafat mistik Neo Platonisme, mistik Persia dan gagasan panteistis kaum Brahmana telah turut memberikan warna kepada berbagai aliran tasawuf sepanjang sejarah pertumbuhannya. Tetapi, dengan penyelidikan yang cermat, semua pengaruh asing ini harus dibuang, hingga bertasawuf, tetap dalam batas-batas yang diajarkan Islam.
Kritik terpokok dari Hamka terhadap ajaran kaum sufi, ialah gagasan tentang wihdatul wujud (panteisme) bagi aliran-aliran tertentu yang mengartikannya benar-benar secara harfiah. Dasar paham wihdatul wujud itu, menurut Hamka, adalah tak lain daripada kecintaan hamba kepada Tuhannya. Cinta adalah salah satu tema yang menjadi sorotan kaum sufi baik dalam syair-syair antara cinta dan kesedihan Rabi’ah al Adawiyah maupun ketertenggelaman dalam kesejatian cinta Jalaludin Rumi dengan Tuhannya.
Rasa cinta kepada Tuhan (hubbullah), menurut Hamka, memang berasal dari pokok ajaran Tauhid. Tetapi perasaan cinta itu, kata Hamka, lama-kelamaan dapat menjadi berlarut-larut sehingga berubah menjadi penderitaan (dalam bahasa Minangkabau disebut sansei). Demikianlah, cinta kepada Tuhan sering menyebabkan seorang sufi merasa dirinya tiada berjarak dengan Tuhannya. Inilah yang menjadi dasar mazhab Hulul: La ana illa huwa (taka da lagi aku, melainkan hanya Dia).
Akhirnya segala yang maujud, seperti dianut kaum Brahmana, semuanya lebur di dalam Tuhan. Semuanya tiada, melainkan wujud Tuhan sendiri. Jika ini terjadi, menurut Hamka, tak lain tak bukan yang berkembang melainkan paham syirik yang di tentang oleh Islam. Namun di lain pihak sehubungan dengan kontroversi tentang ajaran Al Hallaj seperti yang dikenal dalam legenda Syekh Siti Jenar di Jawa, Hamka berusaha untuk menetralisir pandangannya dengan menyatakan bahasa kaum sufi – wihdatul wujud – tak dapat diartikan sebagai maknawi sebagaimana bahasa kaum awam. Kata-kata itu harus ditangkap makna secara simbolisnya, yakni ungkapan dari seorang hamba yang tenggelam dalam kecintaan yang sesungguhnya kepada Tuhannya. Hamka kemudian mengutip kata-kata Al Halljaj sendiri yang mengkafirkan setiap orang yang menyangka bahwa dzat Tuhan melebur ke dalam dzat insan. Dengan mengutip Rumi dan Al-Ghazali. Hamka nampak tak menyalahkan Al Hallaj dengan wihdatul wujud-nya.
Kritik Hamka ditujukan pula kepada penghormatan yang berlebihan terhadap waliyullah yang seringkali dijadikan sebagai pokok ajaran dalam berbagai aliran tarikat kesufian. Ajaran tauhid yang sebenarnya, menurut Hamka yang , mengakui adanya waliyullah itu seperti disebutkan dalam Al-Quran surah Yunus ayat 62: “Ketahuilah, bahwasannya waliyullah itu, tidaklah ia merasa takut dan merasa duka kita”. Menurut Hamka yang dimaksud dengan waliyullah dalam ayat ini adalah “orang-orang yang karena kesungguhannya mengadakan mujahadah dengan hawa nafsunya, orang yang berlatih riyadhah, orang yang memperbanyak zikir, yang taubat, yang tawakal, ikhlas dan sabar. Yang imannya dibuktikan dengan amal yang saleh. Orang-orang itu setelah menempuh beberapa perjuangan hidup, akan diberikan Allah ‘immuniteit’, yakni kekebalan jiwa. Orang-orang itu adalah siapa saja, tidak pilih bulu, sebab agama Islam adalah buat semua orang. Semua orang bisa saja menjadi waliyullah!”
Dengan mengutip Al-Quran, “Katakanlah (Hai Muhammad), jika benar-benar kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah pun akan mencintaimu”, maka Hamka mengatakan, rasa cinta Hamka dengan Tuhannya itu hanya akan terlaksana dengan mengikuti tradisi yang di contohkan Nabi. Rasa putus asa seorang murid yang mengikuti ajaran tasawuf karena tidak mampu mencontoh apa yang dilakukan sang guru diam berhubungan dengan Tuhannya, sering menyebabkan sang murid menjadikan sang guru atau sang pendiri aliran-aliran tarekat tertentu sebagai perantara (tawasul, wasilah dan rabithah) dalam hubungan dengan Tuhannya. Gagasan tentang tawasul, wasilah dan rabithah ini kemudian dilembagakan sebagai suatu keharusan dalam tarekat. Kesemua paham ini, menurut Hamka, tak lain kecuali kesesatan belaka. Guru dipuja ketika hidup dan kuburnya disembah ketika mati!
Hamka ikut pula memberikan kritik kepada anggapan sementara sufi, bahwa apabila beberapa maqam (tingkatan) dalam perjalanan kesufian telah dijalani, maka maqam yang lain harus ditinggalkan. Apabila seorang telah tiba kepada ma’rifat, maka segala perintah sya’riah tak berlaku lagi. Dalam kaitan ini, Hamka mengutip pandangan Ibnu Hazm, tokoh mazhab Az-Zahiri, yang mengkafirkan anggapan-anggapan demikian. Ada kesamaan pandangan antara hamka dengan Syed Husein Nasr, bahwa tariqah sebagai jalan batin tak mungkin dilepaskan dari syariah sebagai jalan zahar, sebagaimana ruh manusia barulah bermakna selama ia menyatu dengan tubuh manusia. Dari sudut pandangan ini, Hamka berusaha untuk menjadi penengah antara kaum sufi yang lebih menekankan aspek-aspek ruhaniah, dengan ulama-ulama fiqih yang lebih menekankan aspek-aspek tehnis dan lahirlah dalam pengalaman agama. Aspek-aspek lahirlah dari sya’riah memang harus diperhalus dengan penghayatan batin yang sungguh-sungguh. Dengan cara inilah, agama benar-benar akan bersifat fungsional bagi manusia.
Arti Tasawuf bagi Hamka
Dalam upayanya yang sungguh-sungguh dalam menyelidiki tasawuf untuk mengembalikannya kepada sumber-sumber ajaran Islam yang sebenarnya, Hamka berkeyakinan, bahwa pengajaran tasawuf akan mampu untuk menjawab kegelisahan-kegelisahan rohani manusia masa kini. Ketika kehidupan telah semakin menduniawi dan kekayaan lahirlah semakin banyak diperoleh, maka manusia mulai merindukan kekayaan batin. Aspek terpokok dari tasawuf bahwa benda dan kemegahan duniawi janganlah membawa manusia menjadi terlena dan lupa pada hakikat dan tujuan hidup yang sebenarnya, adalah aspek terpenting untuk diungkapan ditengah-tengah arus perubahan zaman yang terjadi.
Bertasawuf bagi Hamka, bukanlah bermaksud untuk membebani pikiran dan hati manusia dengan persoalan-persoalan metafisik yang memberatkan manusia. Bukan pula bertasawuf akan mengajak manusia meninggalkan kehidupan ramai dan mengajak mereka membangun tempat-tempat pertapaan. Tetapi, bertasawuf adalah membersihkan batin, mempertinggi iman dan taqwa untuk selanjutnya terjun ke tengah-tengah gelanggang masyarakat. Itulah arti tasawuf dalam pemikiran Hamka.

Penulis: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, kini Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang. Ketika artikel ini ditulis, Yusril menjadi research scholar di Universitas Punjab, Pakistan, dan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 21 Agustus 1286