Negeri kita nyaris tak pernah sepi dari kompleksitas kegaduhan isu seputar ulama atau perilaku ulama sebagai bagian anak bangsa. Bagaimanapun, kompleksitas itu berandil mendewasakan Indonesia sebagai bangsa yang multietnis-multireligi. Diakui, ulama menduduki posisi penting dan sentral dalam denyut keseharian masyarakat. Namun, rentan juga diputarbalikkan pada episentrum kriminal dan politik, maka muncul isu kriminalisasi ulama serta politisasi ulama.
Konon, ada ulama pengurus MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mestinya menjadi embun penyejuk, justru terindikasi terorisme. Pada kasus lain, ulama ditengarai terseret intrik politik di jalur online dengan dalih dakwah amar makruf nahi mungkar, modusnya membekingi sosok tokoh pemerintahan berpengaruh. Terdapat aroma politis yang sulit ditutup-tutupi.
Pada zaman kekinian, ulama yang benar-benar sejati sungguh sulit ditemukan. Siapa ulama sejati itu? Mereka adalah sosok yang mumpuni dalam ilmu agama dan peduli menyelamatkan umat menuju jalan yang haq (lurus). Mereka juga menguasai sederet ilmu seperti tajwid, nahwu-shorof, fiqih, ilmu tafsir, ilmu bahasa (Arab), ilmu ushul (asbab), ilmu tasawuf, juga ilmu hadits. Jika seseorang menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik, maka baru pantas disebut ulama.
Di era yang serba online sekarang ini, serta merta orang belajar keagamaan melalui jalur tersebut. Pada gilirannya, ia merasa cukup percaya diri walau tanpa guru, tanpa robithoh, tak berafiliasi pada mursid alias otodidak. Setelah merasa bisa menguasai ilmu keagamaan tersebut, lalu meniti jalan dakwah. Misalnya lewat aplikasi YouTube. Boleh jadi, penguasaan ilmunya masih sedikit, tetapi karena piawai berkomunikasi, berdiskusi, serta berdiplomasi dalam dakwahnya itu maka ia dijuluki ustadz bahkan kiai. Muncullah sebutan “ustadz online”, “ustadz Youtube”, atau “mendadak ustadz” karena ditengarai belajar keagamaan mendadak kilat melalui jalur pintas internet itu. Tanpa sosok guru, tanpa menimba ilmu dalam pendidikan khusus seperti pesantren dan semacamnya.
Seleksi
Lembaga keagamaan MUI (Majelis Ulama Indonesia) kurang transparan dalam penyeleksian anggota atau pengurus, baik di tingkat daerah (provinsi) maupun pusat. Ulama yang bagaimana yang direkrut menjadi anggota, juga kurang jelas. Ironis jika perekrutan didasarkan pada profil atau sosok yang kelihatan ulama dari segi penampilan, tetapi sejatinya bukan ulama. Publik terbelalak saat ada pengurus MUI ditengarai terpapar paham teroris.
Ketika sosok yang disebut sebagai ulama dinilai suka mengumbar ujaran kebencian, menyinyir bukan mengkritik, bahkan dibumbui emosi yang berkobar, maka layak dipertanyakan kredibilitasnya sebagai ulama. Namun, ketika ulama model ini tersangkut kasus hukum setelah dilaporkan pihak tertentu kepada yang berwajib, maka mengemuka tuduhan kriminalisasi ulama.
Kriminalisasi ulama menjadi top isu pendiskreditan pada pemerintah. Nuansa politik diolah sebagai representasi (oposisi) sudut pandang yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Gejala ini amat terasa dan terus memanas menyongsong tibanya tahun politik 2024. Politik identitas dengan mengedepankan isu keagamaan pun kian sulit diantisipasi. Permasalahan agama (moral akhlaqul karimah) yang sejatinya menjadi fokus perhatian utama ulama, menjadi terpinggirkan karena tercampur intrik politik.
Kasus Ahok terkait penistaan agama beberapa tahun lalu, hingga kini menyisakan residu bau politik yang sulit terbantahkan. MUI andil menyetempel sehingga kasus tersebut dibawa ke ranah hukum setelah didesak sejumlah pihak yang memaksa agar Ahok diseret ke meja hijau. Ahok harus dibui adalah prinsip harga mati. Realitas pun berjalan sesuai skenario, Ahok diadili dan dipenjara. Diakui atau tidak, disadari atau tak disadari, stempel MUI yang bernuansa politis itu bertuah.
Independensi MUI terus diuji, dan waktulah yang akan menjawab sejauh mana tingkat independensinya. Kredibilitas sebagai lembaga keagamaan di level atas, terus dipertaruhkan di tengah publik. Publik pun heboh ketika seorang pengurus penting MUI ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Pihak yang tak sependapat dengan penangkapan tersebut, spontan mengatakan itu kriminalisasi ulama. Dampaknya sungguh ironis, di dunia medsos (media sosial) berlangsung perang sengit antara wacana (usulan) ‘Pembubaran Densus 88’ dan ‘Pembubaran MUI’.
Berkait isu kriminalisasi ulama, Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono menegaskan, “Tindakan kepolisian yang dilakukan Densus bukan merupakan kriminalisasi terhadap siapa pun, sekali lagi saya tegaskan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror tidak ada upaya-upaya untuk melakukan kriminalisasi kepada siapa pun.” (detik.com – Rabu, 17 November 2021)
Sungguh disayangkan, isu bernuansa politis itu membawa nama ulama. Jika saja ulama mumpuni menunjukkan kesejatiannya, niscaya takkan terjadi isu menghebohkan dan memalukan itu. Ulama yang tak bertendensi apa pun kecuali memperjuangkan agama dan keselamatan umat, itulah yang dibutuhkan. Bukan pemanis lisan, tapi diwujudkan nyata dalam tindakan. Tidak sebatas slogan amar makruf nahi mungkar.
Ahli Waris Nabi
Ulama (sejati) termaktub dalam sebuah hadits: “Al ulama’u warotsatul anbiya” (ulama adalah ahli waris Nabi). Ini suratan yang ditakdirkan Ilahi. Menjadi ahli waris Nabi menyiratkan tanggung jawab moral menjaga umat dalam koridor akhlaqul karimah (pekerti yang mulia). Bukan mewarisi pangkat atau kedudukan, bukan pula harta materi. Nabi tak mewariskan itu, tapi budi pekerti yang mulia yang didasarkan pada ilmu agama (dinul-islam). Artinya mereka yang mendapat warisan Nabi seyogianya berakhlak mulia dan berilmu.
Mereka pantas dijuluki siraj al-ummah (lampu/penerang umat), qiwan al-ummah (pilar umat), atau manar al-bilad (menara/mercusuar negara). Ahli ilmu tafsir M Quraish Shihab mengatakan, bahwa ulama ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun quraniyah, dan mengantarkan kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, takwa, dan takut kepada-Nya. Sedangkan menurut tafsir Ibnu Katsir, ulama tidak lain orang yang merasa takut kepada Allah, ulama yang telah mencapai makrifat, yaitu mengenal Tuhan menilik hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya.
Masyarakat awam terheran-heran, sebutan ulama kini mudah disematkan pada mereka yang bermodal mengutip beberapa ayat atau hadits, dan hanya mengedepankan keberanian berkoar mengatasnamakan umat beragama. Sekadar komparasi, andai saja posisi seperti ini tersemat pada orang yang tahu tentang ilmu kedokteran tapi ia bukan dokter lalu mengaku sebagai dokter, pastilah ia sudah ditangkap pihak yang berwajib. Atau ia mengaku sebagai tentara padahal bukan personel TNI, pastilah orang yang mengaku-ngaku tersebut akan berhadapan dengan kepolisian.
Dalam ihwal kesengkarutan yang membawa nama ulama tersebut, pengambilan langkah bijak merupakan solusi cerdas. Sungguh indah jika ada majelis satu meja untuk berdiskusi secara mendalam perihal perulamaan, yang melibatkan ulama sejati (benar-benar ulama), unsur pemerintah, pihak keamanan, anggota dewan (legislator), pakar atau akademisi, dan pengamat yang netral. Kemudian hasil dari diskusi tersebut dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga tak menimbulkan kecurigaan (fitnah). Masyarakat juga dilibatkan dengan cara diberi ruang untuk berpendapat. Dengan demikian, masyarakat luas tak merasa didustai atau dipandang sebelah mata.