Hubungan antara agama dan politik, serta sebagai konflik yang dilahirkannya, tetaplah merupakan masalah yang berlanjut. Untuk Sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga, bahkan interaksi agama dan politik lebih merupakan masalah yang riil dari pada yang teoritikal. Betapapun sekularisasi, westernisasi – yang dengan halus disebut – modernisasi – telah berlangsung meluas di negara-negara tersebut, namun dalam setiap peristiwa-peristiwa besar dalam politik, pasti akan mengedepankan persoalan agama ini.
Persoalannya memang bukan terletak pada resistensi terhadap westernisasi atau modernisasi. Westernisasi atau modernisasi bisa berlanjut terus. Bahkan cenderung semakin meluas. Akan tetapi, latar belakang sejarah agama yang panjang dalam masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga, telah mengakibatkan agama dan nilai-nilai yang dikandungnya terus actual ditengah-tengah masyarakat. Sementara segelintir kaum elite telah terkosmopolitankan, sementara itu pula agama semakin berjangkit. Kosmopolitanisme, soalnya, hanya merupakan barang yang asung, justru semakin mendorong masyarakat banyak kembali meneguhkan identifikasinya yang semula: masyarakat agama. Sebab, bukankah justru pula; masyarakat yang telah terkosmopolitankan itu, semakin berbondong-bondong lari ke dalam pelukan agama, walau dalam bentuk yang masih artifisial?
Maka, ketika peristiwa-peristiwa politik besar pada skala nasional bakal muncul, di situ pula, masyarakat yang tersosialisasikah dalam agama-agama yang mempersoalkannya dari perspektif agama – setidak-tidaknya secara implisit.
Tapi, memang benar juga, dunia agama bisa dipisahkan dengan dunia politik. Dan dunia agama itu sendiri, kendati tetap tunggal, bisa terefleksi dalam wujud yang berbeda ketika ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat tertentu. Agama dalam masyarakat kota – demikianlah, seperti dapat kita lihat di Indonesia – tampak lebih pragmatis. Buka. Karena memang sifat dasar mereka yang pragmatis, melainkan – karena pengalaman-pengalamannya yang relatif luas – pengenalannya terhadap dunia politik yang lebih memadai. Mereka, melihat politik tidak lebih dari salah Satu permainan kehidupan – kurang lebih, tidak sakral.
Sementara, agama dalam masyarakat desa, mungkin tampak lebih integral. Kenyataan-kenyataan kehidupan yang kompleks – meminjam kategori kebudayaan Geertz – lebih bisa disederhanakan lewat pandangan agama. Karena itu, integralisme agama dan politik lebih merefleksikan rasa ketidakmampuan untuk memahami kompleksitas dunia politik. Dan dalam konteks Indonesia, kuatnya kaitan politik dalam membentuk sejarah agama, sosial dan budaya turut memberikan andil dalam resistensi terhadap pemisahan antara agama dan politik.
Inilah mungkin yang menyebabkan masyarakat agama yang awam mengalami kebingungan, ketika para kiai mereka di pedesaan berusaha membahasakan agama dan politik dengan kecenderungan-kecenderungan depolitisasi agama. Kebingungan ini, bukan saja karena mereka begitu tunduk pada sang kiai, atau bukan saja karena sejarah politik di negeri kita telah lebih banyak diwarnai oleh semangat keagamaan, tetapi juga karena Sebagian besar dari kiai-kiai itu dahulu, telah memberikan hukum wajib untuk memilih partai tertentu.
Wajib dan haram selama ini telah merupakan terma teknis keagamaan. Tapi dalam proses politisasi agama – yang terefleksi dalam usaha depolitisasi agama – telah menjadi terma politik. Suatu dunia yang dirasakan sangat kompleks oleh masyarakat desa yang awam.
Maka, sebuah surat dari seorang kiai menengah di pedesaan Jawa dilayangkan kepada anaknya di Jakarta. Dalam surat itu dia bertanya, “Saya harus memilih apa?”

Penulis : Fachry Ali, pengamat sosial politik dan komunikasi kelahiran Susoh Aceh Barat Daya. Ilmuwan LIPI ini juga pernah menjabat sebagai direktur Direktur pada Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LPSEU) Indonesia.
Sumber: Panji Masyarakat, 11 Agustus 1986