Ads
Cakrawala

Kolom D. Zawawi Imron: Dakwah Biaya Murah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Di kalangan juru dakwah di Pulau Madura, kaliber saya musaih mubaligh kelas teri yang setiap akan tampil ke mimbar, harus menghafal dulu masalah-masalah yang akan disampaikan. Dan ketika saya diundang berceramah ke pulau yang jauhnya 10 jam perjalanan kapal laut, kemudian pulang membawa amplop berisi uang puluhan ribu dan sekian liter madu lebah, maka saya berkesimpulan: bahwa pengajian yang baru saya laksanakan itu termasuk dengan dakwah biaya mahal.

Uang bagi mubalig memang bukan larangan, karena mubalig dan istrinya bukan malaikat, yang tak usah makan dan minum. Uang yang diberikan mubalig tidak dimaksudkan agar sang Mubalig semakin senang berdakwah dan bukan pula dimaksudkan agar kalau diundang lagi mau datang. Terutama bagi mubaligh yang tidak punya penghasilan tetap, pemberian itu kiranya penting.

Kita tidak mengharapkan adanya mubalig yang hanya bagus bicaranya bila berdiri di podium, sementara di belakang, rumah tangganya berantakan dan anak-anaknya kelaparan. Kita membutuhkan mubalig-mubalig yang gagah sekaligus tidak miskin. Artinya kalau mereka menganjurkan bahwa sedekah itu perbuatan baik, mereka tidak termasuk penerima, tapi pemberi, maksudnya biar ada persamaan antara ucapan dan perbuatan.

Dakwah formal yang memakai podium dengan mubaligh jemputan (pinjam istilah Malaysia) yang didatangkan dari jauh, memang cenderung memakan biaya mahal, sehingga kampung-kampung yang rata-rata penduduknya miskin tidak akan mampu mengundang Ustaz Fulan yang karismatik dari kota Anu.

Sebuah pengajian dengan mimbar yang gagah, pembawa acaranya bergaya penyiar televisi, mubalignya pakai Mercy memang kelihatannya semarak dan canggih. Secara lahir menunjukan bahwa umat Islam di tempat itu cukup gagah, syi’ar Islam cerah dan manusia-manusia yang ada di situ pada taqwa.

Berbeda dengan mubaligh yang saya kenal Bernama Pak Supaksa dua puluh tahun yang lalu. Siapa sih, dia? Tentu saja ia ditunjang dengan Nahwu dan Sharaf (gramatika bahasa Arab). Pak Supaksa ketika muda mondok hanya dua  tahun di sebuah pesantren tradisional. Setelah dewasa, di masjid desanya ia bisa jadi imam kalau imam tetapnya Kyai Shaleh kebetulan tidak ada. Ia bisa menjadi muazin kalau tukang azan sedang sakit. Sekaligus Pak Supaksa bisa menyapu lantai masjid dan memperbaiki pagar halaman masjid, kalau anak-anak muda tidak bisa karena sibuk. Sedang pekerjaan Pak Supaksa sehari-hari berjualan sabit, pisau, kapak, linggis, dan benda-benda tajam lainnya dengan dipikul dan dijajakan dari kampung ke kampung di Pulau Poteran.

Suatu saat, saya yang bekas guru putranya  di madrasah, mendapat undangan menghadiri pesta perkawinan seorang haji berjas hitam. “Pak Supaksa sering bermalam di rumah saya.

Dahulu saya ini hidup tak karuan, tetapi setelah beliau sering menginap di rumah, beliau mulai membelai hati saya agar saya mengenal agama dengan benar. Enam bulan kemudian saya sudah mau mengerjakan salat berkat ajakannya. Pokoknya, di tiap kampung tempat beliau menginap, selalu ada orang yang berhasil di ajak ke jalan Allah.”

Setelah saya selidiki, tidak seberapa banyak orang-orang yang kena pancaran dakwah Pak Supaksa. Tapi perlu juga kita pertanyakan, seberapa banyak pula orang yang bisa terjaring oleh sebuah perayaan Islam yang dilaksanakan secara resmi di sebuah kantor dengan biaya mahal?

Dakwah model Pak Supaksa itu nyaris tanpa biaya. Setiap orang bisa melakukannya asal mengerti tentang agama. Bayangkan, kalau setiap abituren  madrasah tsanawiyah dan aliyah serta pondok pesantren yang sekarang sudah menjadi petani, pedagang, pegawai negeri, seniman dan lain-lain punya gairah dakwah seperti Pak Supaksa. Barangkali dakwah jenis murah ini bisa jadi penentu pula bagi perspektif Islam di negeri kita. Berbicara agama kan tidak harus di masjid atau di surau saja. Ketika duduk jagongan sambal minum kopi tubruk pun selalu terbuka kesempatan untuk menyelingi pembicaraan dengan ajakan halus agar kawan bicara (bukan lawan bicara) mau menghargai nilai-nilai agama.

Tapi ini mungkin hanya sebuah mimpi indah, karena masalah dakwah mungkin tidak sederhana itu. Tapi agaknya perlu dicatat, bahwa dakwah murah dan tidak formal macam gaya Pak Supaksa itu tidak hanya Verbalisme dengan sekian rumus halalnya api neraka. Mungkinkah Pak Supaksa hanya bahasa lain? Aku punya senyum yang terbit dari keikhlasan hati Nurani sehingga kata-kata yang diucapkannya mampu mengetuk sanubari orang lain?

Pada saat yang lain, sehabis salat tarawih di musala Ustadz Abd. Kadir AS di sudut Kota Sumenep, Madura, ketika omong-omong dengan para jamaah, seorang tukang becak sahabat saya, bilang kepada saya: “Bulan ini ada dua orang tukang becak dari desa bapak yang mau saya ajak mengerjakan salat.”

Fantastis menang. Tapi nyata. Dalam perjalanan pulang, saya tak habis pikir, metode dakwah yang bagaimana yang telah dipakai mubalig yang pekerjaan sehari-harinya tukang becak itu. Ia mungkin tidak banyak berbeda dengan Pak Supaksa. Dakwahnya jenis dakwah murah. Tanpa podium, tanpa dekorasi, tanpa deretan kursi, tanpa pengeras suara, tanpa belajar metode dan bahkan tak banyak kata-kata. Dakwah barangkali tidak selalu membutuhkan sekarung kalimat obrolan yang diselingi dengan nukilan dari berbagai kitab. Kefasihan menuntut sesuatu yang lain, apakah itu keikhlasan, kesederhanaan, atau yang sejenis dengan itu.

Itulah dakwah biaya murah. Tapi tidak murahan.

 Sumber: Panji Masyarakat, 21 Agustus 1986.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading