Pemikiran Filsafatnya
Keseluruhan perbincangan Hamka tentang filsafat adalah terbatas dalam lapangan bersifat agama. Apakah Hamka dapat digolongkan sebagai seorang filsuf, masih diperlukan adanya kajian yang mendalam atas seluruh karyanya. Kontroversi seperti pernah ditujukan kepada Iqbal: adakah ia seorang filsuf ataukah – dalam istilah – Barat – ia hanya seorang teolog semata-mata? Dalam kaitan ini Dr. Jamila Khatoon mengemukan banyak alasan untuk menyebut Iqbal sebagai filsuf dalam disertasinya yang menyoroti secara tematik pemikiran-pemikirannya. Disertai Jamila Khatoon itu berjudul The Place of God, Man and Nature In the Pholosophic System of Iqbal. Hal serupa tentu dapat pula dilakukan untuk menelaah pemikiran Hamka.
Dalam sejarah filsafat barat, memang, dibedakan antara filsuf dengan teolog. Pemikiran filsafat berhajat kepada radikalisme, yakni filsafat tidak tidak mengikatkan dirinya kepada pemikiran mapan termasuk pula di dalamnya keyakinan keagamaan. Seorang teolog adalah orang yang mencari pengertian dalam menguraikan keyakinannya. Tentu saja ia dapat menggunakan filsafat dalam menyokong keyakinan agamanya itu. Oleh karena itu, tak mengherankan, mengapa sebabnya Prof. Drijarkara menyebut Iqbal hanya seorang “teolog” bukan filsuf?!
Di atas segala-galanya, penulis ini berhipotesis bahwa Hamka adalah seorang filsuf dalam batas-batas filsafat agama. Berusaha sungguh-sungguh dalam mempelajari agama sebagai fenomena faktual, arti agama bagi manusia, koherensinya dengan rasio dan sebagainya. hal serupa telah dilakukan pula oleh filsuf Prancis Maurice Blondel dan H. Dumery, dalam kaitan dengan agama Kristen.
Beberapa Sambangan Pemikirannya
Setidaknya, Hamka telah ikut memberikan sumbangan untuk membangkitkan kembali minat terhadap filsafat, atau sekurang-kurangnya ia telah mencoba membahas soal-soal fundamental dalam agama dengan menggunakan kerangka pemikiran falsafi. Bukunya Filsafat Ketuhanan yang diterbitkan tersendiri sebagai bagian dari bukunya Pelajaran Agama Islam telah memberikan gambaran tentang usaha-usaha itu. Tanpa khawatir dituduh sesat karena menggunakan filsafat, Hamka dengan leluasa mambahas soal-soal ketuhanan secara falsafi untuk menyokong dasar-dasar keimanan dalam Islam.
Kalau kalangan tradisional menganggap bahwa filsafat hanya akan menggoyahkan iman, Hamka malah berpikir sebaliknya, dalam beberapa segi, aspek-aspek keimanan justru menghendaki penjelasan filosofis agar ia dapat mengerti. Keimanan yang kokoh, dalam pandangannya, adalah apabila keyakinan di dalam hati itu disokong oleh pembenaran-pembenaran yang rasional. Dengan demikian, iman akan menjadi hidup, karena ia bertumpu pada basis intelektual yang memadai. Salah satu penyebab mengapa soal-soal keagamaan tidak menarik minat mereka yang telah menyerap Pendidikan Barat, menurut Hamka, adalah karena dikenakan kelemahan penguasaan falsafi terhadap masalah-masalah keagamaan itu.
Untuk menopang iman terhadap Allah, hanya menguraikan beberapa argumen klasik yang telah dikenal dalam sejarah filsafat agama dalam bahasa Hamka sendiri. Dengan caranya sendiri, Hamka menguraikan argument kosmologi, ontologi, teleologi dan seterusnya. Berbeda dengan Iqbal yang mengkritik habis keseluruhan argument-argumen klasik ini, dan kemudian mengajukan argumen pengalaman agama (religious experience) yang dianggapnya sebagai argumen terkuat, Hamka nampak tidak memberikan kritik terhadapnya. Dari segi argumentasi tentang adanya Tuhan, Hamka nampak tidak memberikan kontribusi yang berarti, selain daripada usahanya untuk mengembangkan argumen kesadaran batin manusia secara fitrah, mengakui adanya Tuhan.
Dalam bukunya Falsafah Hidup, yang ditulis sebagai persembahan kepada gurunya A.R. Sutan Mansur, Hamka berupaya untuk menjelaskan kedudukan akal di dalam agama, hakikat, makna dan tujuan hidup serta membahas pula aspek yang berkenaan dengan etika kehidupan. Sekalipun buku ini memakai judul filsafat, tetapi tidak keseluruhan isinya merupakan refleksi filosofis. Patut disadari, bahwa buku ini ditulis Hamka ketika ia berusia 32 tahun. Suatu usaha di mana ia sedang mencari bentuk untuk memantap dasar-dasar pemikirannya. Walaupun isinya sederhana, tetapi sebagai penuntun bagi orang awam dalam mencapai ketinggian dalam mencapai ketinggian budi dan akhlak, Falsafah Hidup karya Hamka cukup memadai untuk menjadi bahan renungan filosofis dalam menetap kehidupan ini. Ujung pemikiran Hamka dalam buku ini adalah untuk mempertinggi taraf kesadaran batin manusia dalam memberikan perspektif terhadap kehidupan. “Sebab itu maka hendaklah kita penuh percaya dan iman, dan baik sangka kepada Tuhan. Itulah filsafat hidup,” katanya.
Kutipan-kutipan Hamka di atas, akan segera mengingatkan kita bahwa tak selamanya Hamka mengertikan filsafat sebagai kegiatan pemikiran. Dalam hal-hal tertentu, Hamka mengartikannya sebagai pandangan hidup, sebagai weltanschausung, bagi manusia. Tetapi atas segala-galanya, Hamka telah mewariskan sesuatu bagi kita. Ia seorang penganjur, yang menggiatkan kembali penyelidikan filsafat dalam memahami dan menopang agama. Di antara deretan nama-nama tokoh kita, hanya sedikit yang benar-benar menaruh minat kepada filsafat. Hamka, Agus Salim Natsir, Rasjidi adalah sedikit contoh untuk itu. Bagaimanapun, mereka telah memulai. Kini, tugas kitalah melanjutkannya.
Bersambung

Penulis: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, kini Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang. Ketika artikel ini ditulis, Yusril menjadi research scholar di Universitas Punjab, Pakistan, dan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 21 Agustus 1986