Pemilihan presiden atau pilpres masih 2 tahun lagi, namun partai sudah sibuk mengancang-ancang mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Karena ada ketentuan partai yang bisa mengajukan calon presiden yang memenuhi syarat 20 persen kursi di DPR maka partai yang tidak memenuhi ketentuan terrsebut barus berkoalisi atau bergabung dengan partai lain agar ambang batas itu bisa dipenuhi.
Namun, yang menarik adalah setiap pilpres diadakan hampir setiap partai tidak memiliki calon yang dinilai pantas untuk ditampilkan. Kalaupun ada calon biasanya mereka bukan murni kader partai, tapi berasal dari non-partai yang punya kinerja bagus. Selain itu, ada ketua umum partai tapi tidak bersedia maju, mungkin faktor usia dan lainnya. Ada ketua umum partai yang bersedia maju, namun elektabilitasnya rendah dan partainya tidak yakin menyodorkannya. Karena itu tidak heran masalah calon pilpres ini menunjukkan partai gagal melahirkan kader yang berkualitas sekelas pemimpin tertinggi negara.
Kemudian ada keanehan dalam memunculkan calon presiden di Indonesia. Yaitu orang tersebut harus populer dan dikenal namanya, namun ini biasanya bukan karena faktor prestasi dan jejak rekam atau track record, melainkan karena faktor pemberitaan dirinya yang sering dimunculkan media. Jadi, popularitas seorang di masyakat dan tingkat elektabilitasnya yang tinggi karena namanya sering diberitakan. Jadi dukungan media ini sangat besar pengaruhnya.
Seorang tokoh meskipun memiliki prestasi bagus, kalau jarang muncul di media biasanya bisa kalah oleh calon yang tidak berprestasi, tapi selalu ditampilkan media.
Kemudian seorang calon dikenal luas di masyarakat dan memiliki ketertarikan padanya karena faktor opini yang dibentuk lembaga survei. Sebab, lembaga survei ini menurut pengamat tidak selamanya bekerja objektif dan independen , lembaga survei terkadang menjadi konsultan politik sehingga bekerja untuk mensukseskan calon atau figur tertentu yang menjadi kliennya.
Melihat partai yang kebingungan mencari kandidat saat musim pilpres, sudah saatnya partai mempersiapkan kadernya dengan baik, sehingga tidak kelabakan mencari orang setiap pilpres terjadi. Untuk itu diperlukan beberapa kebijakan dalam partai agar mampu melahirkan kader yang baik.
Pertama, sudah saatnya setiap partai dalam lima tahun sekali mampu menghasilkan kader yang berkualitas yang sengaja disiapkan untuk berkompetisi di ajang pilpres. Kader yang siap itu dalam arti mampu secara kompetensi, keahlian, kepemimpinan, integritas dan bersikap kenegarawanan.
Kedua, kader yang sudah dinilai mampu tersebut dipromosikan dengan jabatan yang banyak berhubungan dengan masyarakat. Ia diharapkan mampu berkarya dan mengabdi pada masyarakat dengan karya atau kerja yang masyarakat bisa merasakan manfaatnya. Ini juga dimaksudkan kader tersebut mampu berempati dan merasakan persoalan dan beban penderitaan masyarakat, sehingga waktu menjadi pemimpin dan pejabat ia berfikir untuk mensejahterakan rakyat.
Ketiga, kader tersebut harus dijauhkan dari perbuatan tercela, korupsi, akhlak yang buruk dan perbuatan jahat lainnya. Sebab, sekali saja nama sudah cacat maka trust dan kepercayaan masyarakat akan hilang.
Keempat, calon pemimpin tersebut adalah figur yang berjiwa nasionalis, berjiwa kebangsaan yang mampu berlaku adil buat semua rakyat tanpa memandang dan berpihak pada suku, agama, golongan, kaya, miskin dan lainnya
Kelima, calon pemimpin tersebut tidak alergi dengan kritik dan saran, serta pemikiran dan masukan dari luar. Semua masukan dan pemikiran harus dianggap sebagai bagian dari suara dan aspirasi rakyat yang mesti dipertimbangkan.
Bila setiap partai melaksanakan konsep seperti ini maka tidak ada lagi kebingungan dan ribut soal capres dan cawapres pada setiap pilpres–dan konsep ini juga bisa dipakai untuk calon pilkada–. sebab, calon pemimpin sudah ready atau siap. Selalu standby untuk dikontestasikan.
Persoalan capres dan cawapres saat ini selalu suka meributkan siapa yang layak ditampilkan,bagaimana elektabilitasnya dan kelayakannya. Kita lihat betapa partai bingung dan kalang kabut, akhirnya menimbulkan lobi-lobi yang memunculkan koalisi. Terkadang kita lihat ada partai yang tidak punya kader untuk dimajukan dan hanya mendukung calon lain. Ini jelas suatu yang ironis, bagaimana partai tidak percaya diri, tidak punya stok pemimpin. Padahal, fungsi partai menurut undang-undang yang berhak mencalonkan pemimpin mulai daerah tingkat 1, tingkat 2 dan presiden.
Inilah sebenarnya Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi kita. Ke depan seharusnya partai sudah memikirkan hal ini. Jadi, bukan alasan yang masuk akal kalau partai tidak punya kader pemimpin dan hanya mengekor partai lain yang punya calon.