Hal Ekstrem sesuai Syariat
Tapi, tentu saja segala paparan di atas tak lantas sama sekali memustahilkan fenomena ekstremitas yang jadi persoalan. Yusuf Qardhawi, Doktor (cum laude) lulusan Al-Azhar dan seorang (bekas) tokoh Ikhwanul Muslimin di Mesir, barangkali adalah yang pertama kali menganalisis gejala ini secara komprehensif – betapapun mungkin tidak bersifat kuantitatif dan mengikuti kaidah penelitian ilmiah sebagaimana Ibrahim. Salah satu hasil analisisnya, yang barangkali paling penting – setelah sebelumnya dan membatasi segala gejala ektremitas ini hingga skala dan volume yang jauh lebih kecil dari yang diandaikan oleh “suatu kelompok kepentingan tertentu” – adalah bahwa ekstremitas di bidang keagamaan sering kali bersumber pada kedangkalan pemahaman ajaran agama. Qardhawi, dalam hal ini, sejak pagi-pagi sekali telah menyatakan: “Pada kenyataannya, banyak hal yang dianggap sebagai perbuatan ‘fanatik’ dan ‘ekstrem’ yang dituduhkan pada diri kaum muda tertentu, justru adalah perbuatan sesuai dengan dasar syariat yang tercantum dalam fikih dan peninggalan sebagian ulama kita. “Lalu, Qardhawi pun menunjuk beberapa contoh perbuatan yang dimaksudkannya – memakai kerudung penutup kepala dan bahkan cadar penutup muka oleh sementara wanita muslimah tertentu, atau merumuskan konsepsi-konsepsi-alternatif Islami.
Yang jelas, yang sebaliknya dari gejala di atas tentu saja tidak selalu benar – yakni, bahwa sikap moderat selalu timbul dari kedalaman pemahaman ajaran agama. Sikap moderat (atau seolah-olah moderat) bisa juga timbul dari sikap sekuler, atau akomodasionis, atau kompromistis atau apatis, ataupun oportunistis. Sikap moderat juga bukan padanan kejahilan (ignorance), meski kejahilan seolah-olah bisa juga tampak sebagai sikap moderat. Karena, kalau tidak, maka Abul A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Murtadha Mutahhari dan sederet ulama besar lainnya – yang tegas-tegas mewajibkan perbuatan-perbuatan “ekstrem” tersebut di atas – mau tidak mau mesti kita masukan ke dalam kelompok ekstrem yang sama. Padahal, siapa yang berani mengatakan bahwa pemahaman keagamaan para ulama terkemuka ini – lepas dari silang pendapat kita tentangnya – lebih dangkal dari, misalnya, sembarang mahasiswa IAIN (sekarang UIN/Universitas Islam Negeri, red)?
Sikap Ngemong Pihak Penguasa
Suatu – atau malah mungkin satu-satunya – yang tidak akan sulit kita sepakati, adalah penisbahan sifat ekstrem pada setiap orang atau kelompok yang ingin memaksakan pendapat atau kehendak diri atau kelompoknya, seraya merampas hak orang atau kelompok lain, untuk juga mengungkapkan dan memperjuangkan pendapatnya. Namun, tidak semua yang tampak sebagai tindakan pemaksaan kehendak, mesti diartikan sebagai ekstremitas, kalau ia hanya merupakan reaksi belaka atas (apa yang dianggap lebih pantas disebut sebagai) ekstremitas terdahulu.
Jika mulut-mulut rasanya sudah dibungkam, otak-otak di cuci dan hati nurani dimanipulasi, maka kita tidak boleh kaget jika kemudian ada sekelompok orang yang tak lagi percaya pada dialog dan musyawarah. Tak ada lagi bahasa yang bisa dimengerti kecuali kekerasan. Juga tidak aneh jika kemudian mereka merasa telah menangkap isyarat Al-Quran: “jika salahsatu dari kedua golongan yang (yang bertikai) menindas golongan yang lain, maka perangilah (terlebih dulu) golongan yang menindas itu sehingga ia kembali kepada aturan-aturan Allah.” (Al-Hujarat, ayat 9). Masih bagus jika pelakunya tetap sadar untuk berhenti persis pada sumbat-sumbat telah dibuka, jebol atau berhasil dijebolnya.
Apa jadinya jika trauma penindasan yang dialaminya sudah terlanjur membentuk sikap tegar seterusnya mewarnai tindak-tindaknya? Lanjutan langsung ayat AL-Quran yang dikutip diatas, adalah: “Jika golongan itu telah kembali (kepada aturan-aturan Allah), maka damaikanlah keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah (yakni, jangan kemudian kita sendiri yang giliran menindas). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Hal ini seolah-olah juga mengisyaratkan kemungkinan timbulnya bahaya ekstremitas yang merupakan ketelanjuran seperti itu.
Akhirnya, adalah suatu pertanyaan besar: Bagaimana memecahkan segala kemusykilan ini? Melawan gejala seperti ini dengan kekerasan lebih jauh pasti tidak dinasihatkan. Karena, kalaupun tidak semakin menimbulkan ekstremitas lebih jauh (bukankah kekerasan seperti ini jugalah yang tadinya menjadi sumber segalanya?), paling-paling hal itu hanya akan menunda pemecahan masalah yang malah seperti memelihara “api dalam sekam.”
Demikian pula, melontarkan dakwaan yang memojokkan – apalagi jika tak cukup berdasar – tak punya akibat lain kecuali main buruknya keadaan. Dalam keadaan seperti ini, hanya saling pengertian – yang dilambari oleh pengamatan yang cermat dan tulus atas kenyataan sebenarnya – sajalah yang akan menuntun ke arah penyelesaian. Meski diakui sulit, inisiatif mau tak mau harus timbul dari pihak yang paling punya peluang untuk jadi atau diangap sebagai penindas – artinya kelompok penguasa (kata orang, power tends to corrupt). Atau, diungkapkan secara lebih positif, dari pihak yang lebih punya potensi untuk bersikap ngemong. Sebelum segalanya terlambat! Lagi pula, bukankah mereka memang anak-anak negeri kita juga?

Penulis: Dr. Haidar Bagir, pengarang, praktisi pendidikan, pembicara pada sejumlah seminar keilmuan khususnya kajian filsafat dan pemikiran Islam modern, dan penceramah keagamaan dan pendidikan. Memperoleh pendidikan dari ITB (S1/Teknologi Industri), Harvard University (S2/Pusat Kajian Timur Tengah) dan Universitas Indonesia (S3/Filsafat).
Sumber: Panji Masyarakat 11 Mei 1986.