Istilah “ekstrem” (barangkali berasal dari bahasa Yunani “ekstremum” atau dari bahasa Inggris “extreme”) kurang lebih berarti yang berada di ujung-ujung, di puncak-puncak atau di tepi-tepi. Masalah tak perlu timbul, jika istilah tersebut diterapkan atas sesuatu yang memang punya ujung, puncak dan tepi – yakni, punya batas-batas semisal seutas tali, sepotong logam, ataupun sepotong tongkat.
Masalah baru timbul, jika ia dihubungkan dengan segala sesuatu yang tak mempunyai atau tak selalu jelas batas-batasnya. Maka, dalam hal-hal seperti itu, istilah ini hampir-hampir tak punya makna. Atau, persisnya, ia baru punya makna jika memang diinginkan demikian sebagai bagian punya dari suatu definisi kerja atau kesepakatan. Maka yang serba tak punya batas itu pun diandaikan berbatas – punya ujung-ujung dan tepi-tepi. Yang berada di tengah pun disebut moderat. Jadilah penerapan istilah-istilah demikian menjadi bersifat sangat relatif. Bukankah batas-batas itu hanyalah pengandaian belaka? Bukankah distansi antara kedua batas atau pangsa (segmen) buatan itu bisa dikerutkan dan dilonggarkan? Dalam hal seperti ini, kesemuanya baru punya makna setelah diperbandingkan dengan wilayah selebihnya di luar batas-batas buatan itu. Yang ekstrem dalam suatu distansi-buatan tertentu bisa jadi moderat dalam distansi buatan yang lain. Dan sebaliknya,
Salah seorang intelektual Muslim, yang biasa dikelompokkan ke dalam kaum modernis dan “kebetulan” lebih bersikap akomodasionis, pernah menyatakan: “Kalau tidak ada A.M. Fatwa (kini almarhum, waktu itu dikenal sebagai penentang rezim Orde Baru dan kemudian dijebloskan ke penjara, red)) barangkali saya sudah ketiban tuduhan sebagai ekstremis”). Dalam kerangka ini, adalah lebih dari sekedar guyon jika kemudian terlontar ungkapan “ekstrem tengah.”
Hal yang sama berlaku bagi istilah “fanatik” yang arti asalnya adalah berteguh pada sesuatu yang jelas-jelas salah. Kalau seseorang ngotot bahwa dua tambah dua adalah lima, atau memustahilkan pendaratan manusia di bulan, tak pelak lagi ia adalah fanatik. Tapi, kalau masalah yang jadi perdebatan termasuk dalam bilangan soal-soal yang bersifat tak pasti atau bukan merupakan kesepakatan – seperti juga pluralitas atau, malah, kontroversi di bidang filsafat, agama, ideologi, dan sebangsanya – maka hilanglah kekuatan istilah ini, dan juga istilah “ekstrem” di atas, sebagai suatu konsep a priori. Penggunaan istilah reaksioner pun mengundang masalah yang kurang lebih sama.
Anak-anak Muda Teladan
Wajah penindasan dalam penggunaan istilah-istilah sejenis ini makin nyata, ketika kesemuanya itu – sebagaimana sering terjadi – dilontarkan secara tidak semena-mena dan tanpa dasar. Persis hal inilah yang tampak pada laporan penelitian Saad Eddin Ibrahim, dosen sosiologi di American University, Kairo, ketika ia meneliti profil sekelompok Muslim Mesir yang menjadi sasaran dakwaan ekstremis dan sebangsanya itu. Sebaliknya dari mendapati orang-orang fanatik, ekstrem atau reaksioner yang serba anomis atau abnormal, ia menyimpulkan bahwa mereka “pantas dianggap sebagai anak-anak muda Mesir teladan.”
Selain mendapati mereka sebagai memiliki motivasi dan kompetensi tinggi – paling tidak di bidang-bidang yang dgeluti oleh jumlah paling besar diantara mereka, yakni ilmu-ilmu kealaman, teknik dan matematika – penelitian Ibrahim juga menunjukan concern kelompok-kelompok ini terhadap kaum dhu’afa (lemah) dan mustadh’afin (yang diperlemah/ditindas) dalam bentuk-bentuk kerja nyata. Sekali lagi, hal ini membuktikan kesalahgunaan sementara orang – yang dilontarkan secara eksplisit maupun implisit – bahwa kelompok-kelompok seperti ini hanya tertarik pada aspek formalistik-legalistik ajaran agama saja. (Yang lebih benar barangkali adalah bahwa tidak seperti rekan-rekan mereka nan institusional-profesional – punya kantor, sarat proposal-proyek dan kaidah-penelitian serta berafiliasi dengan berbagai Lembaga “juru selamat” kaum duafa Dunia Ketiga di mancanegara – kerja nyata mereka ini miskin atau malah menolak publikasi lagi pula bersifat informal).
Ibrahim, berdasarkan pengamatan seperti itu, tampaknya juga cenderung beranggapan bahwa hal yang sama akan dia temukan pada berbagai kelompok sejenis di negeri-negeri lain, seperti di Darul Arqam Malaysia, kelompok pimpinan Erbakan di Turki, sarjana-sarjana belia di Bunyad-e-Mustadh’afin Iran dan kelompok-kelompok sejenis di Aljazair, Nigeria dan lain-lain – kesemuanya, tanpa kecuali adalah kelompok-kelompok yang tertimpa dakwaan yang sama oleh penguasa mereka.
Betapapun kesahihan penelitian Ibrahim masih perlu dipertanyakan, sebagai diakuinya sendiri, namun ia paling tidak memastikan satu hal yang tak kalah menarik – yakni ketidakmautahuan kelompok penguasa, dalam hal ini di Mesir, terhadap kenyataan yang sebenarnya dalam soal ini. Sebagaimana juga diakui oleh Ibrahim sendiri, penelitian yang dibiayai oleh Pusat Nasional Penelitian Sosiologi dan Kriminologi Mesir ini dihentikan dengan tiba-tiba oleh pemerintah negeri itu. Dan tentu tak sepenuhnya salah jika kita menduga bahwa hal itu ada hubungannya dengan hasil penelitian yang pada saat itu, mengisyaratkan hasil yang kurang “menggembirakan,” bagi pihak pemerintah Mesir tentunya. Rasanya tak aneh jika kemudian orang bertanya, dalam kasus seperti ini siapakah yang lebih patut disebut ekstrem, fanatik atau reaksioner?
Bersambung
Penulis: Dr. Haidar Bagir, pengarang, praktisi pendidikan, pembicara pada sejumlah seminar keilmuan khususnya kajian filsafat dan pemikiran Islam modern, dan penceramah keagamaan dan pendidikan. Memperoleh pendidikan dari ITB (S1/Teknologi Industri), Harvard University (S2/Pusat Kajian Timur Tengah) dan Universitas Indonesia (S3/Filsafat).
Sumber: Panji Masyarakat 11 Mei 1986.