Ingin Mati di Tanah Suci boleh-boleh saja asal tidak diniatkan. Banyak orang tua yang kepingin “dimatikan” Allah saat melakukan ibadah haji dengan macam-macam alasan. Buat apa?
Alangkah Bahagia hamba jika Engkau, ya, Allah, berkenan mencabut nyawa hamba sekarang juga, di Tanah Suci ini. Matikan hamba ya, Allah…”
Itu adalah petikan doa Haji Danarto, seperti ditulis dalam catatan perjalanan hajinya, beberapa tahun lalu. Mungkin, masih banyak lagi yang berdoa seperti itu. Danarto sendiri yakin, ia tidak sendirian. “Tentu ribuan jamaah yang lain punya keinginan seperti saya,” katanya.
Danarto betul. Kenyataannya, banyak – terutama orang tua yang kepingin dimatikan” di Tanah Suci. Seperti dua tanah haram (Mekah, Madinah) yang dianggap suci, mereka beranggapan, mati di Tanah Suci, lebih-lebih saat ibadah haji, adalah mati suci pula. Dan hajinya mabrur.
Yang mati di Tanah Suci saat melaksanakan ibadah haji, atau karena kecelakaan di perjalanan, tidak hanya ditangisi keluarganya karena kehilangan. Di balik kesedihan itu, mereka sekaligus menyimpan kebahagiaan, karena “almarhum” bakal dianggap syahid dan berhak langsung ke surga.
Cerita tentang ingin meninggal di Tanah Suci sudah popular, terutama di Jawa. Keinginan itu kerap di ungkapkan kepada keluarga “calon almarhum”, saat sebelum ia berangkat. Ada pesan dan wasiat, laiknya yang akan meninggal. Ada yang di obrolkan kepada teman sekemah, saat wuquf di Arafah. Ada yang ketahuan, setelah si “calon Almarhum” betul-betul tiada. Seperti diceritakan seorang ibu di Kuningan kepada Panjimas, “Bapak sejak semula memang kepingin mati di Mekkah. Itu dikatakannya berulang-ulang kepada ibu dan anak-anak. Seperti betulan mau mati di Mekkah. Dalam Iring-iringan di jalan yang padat di kota Mekkah, Bapak keseruduk mobil dan meninggal dan langsung meninggal.” Sang ibu pun menangis, mengingat “jalan cerita” itu. Namun, ia iri, karena hanya suaminya yang meninggal. “Gusti, alangkah bahagianya bapak di sisi Allah,” lanjutnya sambil menyusut alamatnya.
Daripada Berdosa Lagi
Mengapa ingin mati? Jawabannya tentu bermacam-macam. Setidaknya, seperti doa Haji Danarto, yang suka ngelucu itu: “Ibadah ifrad (Haji) yang ditempuh adalah jalan menuju penyatuan itu, matikan hamba, ya , Allah. Tidak ada yang perlu hamba pertahankan di dunia ini, suatu tempat yang tidak cocok, suatu tempat yang bikin gerah. Peluh dan air mata berlelehan. Dunia adalah suatu cita-cita yang tidak tercapai. Apa yang perlu hamba pertahankan terhadap suatu tempat yang sesungguhnya asing, tak pernah kami kenalan sebelumnya. Ya, Allah, hanya kematian yang dapat menenteramkan jiwa hamba yang rusuh lagi sepulang dari haji? Mungkin. Tapi, orang tua mengatakan, “Daripada pulang berbuat dosa lagi,” lebih baik mati di Tanah Suci. Ada yang karena. Ada yang karena semata-mata ingin mati syahid. Bagi orang tua yang tidak bergairah hidup lagi, mati di Tanah Suci lebih baik daripada mati di tanahnya sendiri. Namun, kematian beberapa ulama kita di Tanah suci, karena pilihan mereka sendiri hijrah ke lingkungan Ka’bah untuk menghabiskan sisa hidupnya di sana, menjadi teladan beberapa kalangan, khususnya yang pernah mengecap udara di pesantren.
Imam Nawawi Banten memilih mengakhiri hidupnya di Mekkah. Subchan ZE dan Bung Tomo dianggap Danarto “berhasil” meninggal di Tanah Suci, meski, mungkin karena tidak direncanakan. Seperti almarhum Subchan, meninggal karena kecelakaan, atau Bung Tomo karena sakit. Danarto, sang seniman, yang kepingin mati, menganggap kematian mereka “tak sengaja” itu berhasil. Ia yang berdoa “mati-matian juga. K.H. Abdus Salam Jailani, mubaligh ibukota, di depan mahasiswa Fakultas Adab IAIN Jakarta, berulang-ulang menyatakan keinginan mengakhiri hayatnya di Masjidil Haram sambal mengajar. “Ane kepingin banget mati di sono” katanya. Tapi kemudian bukannya meninggal di kawasan yang diinginkan malahan beliau meninggal di Jakarta karena sakit. Konon, K.H. Bisri Syansuri (Pimpinan NU) berkali-kali memohon mati di Tanah Suci, ketika beberapa kali menunaikan ibadah haji. Namun, beliau malah meninggal di Jombang, tanah airnya sendiri.
Bersambung

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat. Sumber: Panji Masyarakat, 1 Agustus 1986