Buya Hamka (1908-1981) dikenal oleh masyarakat sebagai ulama dan pujangga. Selama hidupnya ia menulis lebih dari 113 buku dan ratusan artikel yang membahas maslah-masalah keagamaan, kesusasteran, sejarah dan soal-soal kemasyarakatan lainnya. Lebih jauh dari itu, Hamka juga mempunyai minat yang besar kepada filsafat dan tasawuf, seperti tercermin dalam beberapa karyanya: Filsafat Ketuhanan; Filsafat Hidup; Lembaga Budi; Tasauf Moderen; Tasauf dari abad ke Abad dan mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya di Indonesia.
Namun demikian, pemikiran Hamka tentang filsafat dan tasawuf tidaklah terbatas pada buku-buku di atas. Dalam hampir keseluruhan karyanya, ia selalu bertolak dari suatu pandangan filsafat yang di anutnya. Bahkan dalam karya-karya sastra seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, secara tersirat hamka berupaya untuk merefleksikan gagasan-gagasan filosofis dan sufismenya. Hal semacam ini memang lazim terjadi di dunia filsafat. Baik Ibnu Tafail di masa lalu, ataupun Jean Paul Sartre dalam filsafat kontemporer, sering menyampaikan gagasan filosofisnya melalui karya-karya sastra.
Sampai sejauh ini belum terlihat adanya upaya intelektual untuk memahami Hamka baik dalam karya-karya filsafat dan tawawufnya, maupun dalam pemikiran keagamaannya secara keseluruhan, sekalipun banyak keseluruhan, sekalipun banyak pihak yang menyadari arti dan peranan yang telah disumbangkan Hamka dalam memperbarui suasana kehidupan keislaman di negeri kita dan negeri-negeri tetangga. Upaya ini masih menunggi datangnya hasrat dari kalangan muda yang mempunyai minat sungguh-sungguh dalam kajian Keislaman di Indonesia.
Buya Hamka: Penganjur Filsafat
Dalam kajian keislaman di negeri kita sejak abad-abad yang lalu, perhatian kaum ulama lebih terfokus kepada fiqih, tauhid, pramasastra arab, tafsir dan tasawuf. Penelitian van den Berg pada akhir abad yang lalu, menunjukkan tak adanya literatur filsafat berbahasa Arab yang beredar di negeri kita.
Fenomena ini tentu berkaitan erat dengan terjadinya kemunduran semangat intelektual di pusat-pusat kebidayaan Islam yang menandai zaman ketika gelombang-gelombang besar Islam yang menandai zaman ketika gelombang-gelombang besar Islamisasi mulai terjadi di Asia Tenggara. Faktor ini mungkin sekali menjadi penyebab mengapa begitu lemahnya semangat intelektualisme Islam di negeri kit aini, suatu gejala yang tetap dirasakan sampai sekarang ini.
Kecaman-kecaman terhadap filsafat sering kali dirasakan idak adil, karena kaum ulama di masa yang lampau, memang tidak berkesempatan untuk menelaah karya-karya falsafi yang ditinggalkan oleh filsuf-filsuf islam di masa lalu. Satu-satunya argument yang sering kali diajukan untuk menolak filsafat adalah karya Al-Ghazali Takhafatul Falasifah dan Almunqidz Minadz-Dzalal – Kekacauan Pemikiran Para Filsuf dan Pembebasan Dari Kesesatan), tanpa ada usaha sungguh-sungguh untuk meletakannya dalam perspektif sejarah. Bahkan seringkali karya Al Ghazali itu hanya sekedar sebutan saja, tanpa pernah membacanya sama sekali. Dalam lapangan fiqih pun hal serupa terjadi pula, yakni walaupun ulama-ulama menyatakan berpegang kepada mazhab Syafi’I seperti Al-Umm dan Ar-Risalah, setidaknya sampai awal abad ini hanya dikenal orang namanya saja. Paling kurang kedua buku itu tidak termasuk ke dalam buku yang diajarkan di pesantren hingga akhir abad yang lalu, entahlah sekarang ini.
Akibat dari kecaman-kecaman apriori dalam menolak filsafat itu, kita menyaksikan kemunduran semangat berpikir bebas di dunia Islam setidaknya lima abad terakhir. Faktor ini pulalah yang agaknya mendorong Abduh untuk membuka kembali kuliah-kiliah filsafat ai Al-Azhar pada permulaan abad ini. Pada abad ini, kita hanya menyaksikan Iqbal sebagai satu-satunya pengkaji filsafat yang serius di dunia Islam.
Dalam kaitan Inilah, Hamka teramat berjasa untuk merangsang minat kepada filsafat. Walaupun ia tidak meninggalkan karya filsafat yang monumental seperti yang dilakukan Iqbal dengan Reconstruction of Religious Thought in Islam tetapi Hamka telah berbuat sesuatu. Keterbatasan Hamka dalam menguasai bahasa asing selain bahasa Arab dapatlah dikatakan sebagai penyebab mengapa kajian filsafatnya menjadi tidak begitu mendalam. Tetapi secara keseluruhan, filsafat tidaklah asing bagi dirinya.
Abdurrahman Wahid tampak telah keliru memahami Hamka dalam kaitannya dengan filsafat. Dalam buku pengantar Buya Hamka di Mata Hati Ummat, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Hamka, karena ia seorang pengikut aliran Kaum Muda yang mengajak orang untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, maka filsafat menjadi asing baginya, karena aliran Kaum muda, ini berlebih-lebihan menolak filsafat. Hamka memang salah seorang tokoh Kaum Muda Minangkabau, tetapi ia tidak seluruhnya mengikuti jejak kaum Wahabi yang menolak filsafat dan semata-mata berhujah dengan nash seperti tercermin dalam Kitab At-Tauhid karya Abdul Wahab sendiri. Hamka tampak mengikuti jejak Abduh, yang mengajak orang kembali kepada sumber Islam, tetapi menghargai pemikiran filosofis seperti terlihat dalam karyanya Risalah Tauhid, buku yang banyak dijadikan bacaan oleh Kaum Muda.
Bersambung

Penulis: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, kini Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang. Ketika artikel ini ditulis, Yusril menjadi researchscholar di Universitas Punjab, Pakistan, dan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 21 Agustus 1286