Di setiap musim haji, hampir selalu terdengar orang medoakan mereka yang berangkat menunaikan ibadah haji agar mendapatkan haji mabrur. Bukan hanya mendoakan orang lain, bahkan dianjurkan pula supaya yang menunaikan ibadah haji pun berdoa bagi dirinya sendiri agar mabrur. Kadang-kadang, dengan seringnya terucapkan, tanpa disadari, doa mabrur itu berubah menjadi sekedar basi-basi saja. Akhirnya, keikhlasan yang harus terkandung pada setiap doa, lenyap. Padahal doa bagi haji mabrur adalah permohonan serius kepada Tuhan, apalagi ia menyangkut perubahan sikap seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih bersifat positif, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Memang tak mudah mengetahui secara pasti apakah seseorang itu hajinya mabrur atau tidak. Namun yang bersangkutan bisa saja mengukur-ukur sejauh mana ibadah yang dilakukannya di tanah suci mempengaruhi sikap dan perbuatannya setelah kembali ke tanah air. Hanya yang berjiwa kasarlah yang tidak merasakan pengaruh itu. Bayangkan. Sejak menjelang keberangkatan saja ia telah terlatih untuk banyak-banyak berdzikir. Ditambah dengan sikap pasrah kepada Tuhan ketika ia mengucapkan talbiyah. Kemudian hari-harinya di tanah suci diisi dengan dengan rangkaian ibadah disertai doa-doa mohon ampunan kepada Tuhan yang sering disertai cucuran air mata. Ketika tawaf, atau di saat munajat di multazam atau di waktu wukuf di Arafah, sampai di kala ia berziarah ke makam Rasulullah dan shalat di Raudah, tak henti-hentinya ia berusaha mendekatkan jiwanya ke Sang Khalik.
Yang maha mengetahui kemabruran haji seseorang tentu hanya Allah SWT saja. Namun, secara lahiriah, kemabruran itu akan Nampak dari sikap dan tingkah laku yang bersangkutan setelah pulang dari haji. Misalnya, kalau sebelum haji ia jarang melaksanakan salat sunat, setelah haji ia lebih sering melaksanakannya. Kalau selama ini penampilannya kasar, maka setelah haji ia lebih tenang dan rendh hati. Kalau sebelum haji ia alergi dengan kritik, setelah menjadi haji ia justru butuh dikritik. Orang-orang yang selama ini dianggapnya lawan dan perlu di bungkam, sepulangnya dari haji dijadikannya sahabat yang mendatangkan manfaat bagi diri dan wawasan pemikirannya. Bukankah janggal kedengarannya, seorang haji masih memelihara dendam?
Perubahan-perubahan itu bisa jadi merupakan salah satu bentuk dari usahanya agar selalu senantiasa taqarrub kepada Allah. Keakraban hubungan dengan Sang Pengampun selama ditanah suci dirasakannya sebagai kenikmatan yang luar biasa. Maka ia tak mau merusak hubungan mesranya dengan Sang Kekasih.
“Bagi haji yang mabrur itu tiada ganjarannya kecuali surga.” Demikian bunyi sebuah hadis. Tak dapat diragukan lagi bahwa haji yang mabrur itu memiliki kekayaan batin yang tak ternilai harganya. Betapa tidak. Seluruh dosanya diampuni Tuhan, sementara pahalanya berlipat ganda. Maka dengan sendirinya, pribadi yang demikian itu akan memiliki fikiran yang jernih, lebih terbuka, tidak sombong, tak mau memaksakan kehendak, tidak hipokrit, cenderung pemaaf, lebih arif dan sebagainya.
Tiba-tiba kita semua jadi sadar, ternyata kita memang sedang membutuhkan kehadiran haji mabrur di tengah-tengah lingkungan kita saat ini. Sejak lingkup yang paling kecil sampai lingkup yang paling besar. Kita butuh kehadiran haji mabrur di dalam diri kita. Kita butuh kehadiran haji mabrur di dalam keluarga kita. Di saat kita menyaksikan dunia penuh dengan perselisihan serta permusuhan dan ketika intrik telah menjurus dendam kesumat, lalu kita mengharapkan kedamaian segera muncul dengan tampilnya pribadi-pribadi haji yang mabrur. Sebab haji yang mabrur akan memberikan dampak positif bagi lingkungannya.

Penulis: Afif Amrullah (H. Afif Hamka), Ketua Pusat Studi Buya Hamka, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta.