Para penulis modern, yang orientalis maupun bukan, sering melukiskan Muhammad, bukan saja sebagai pemimpin keagamaan. tapi juga seorang Kepala Negara, Panglima, seorang “nation builder”, ideolog, atau seorang pembaharu sosial, di samping tentu saja, seorang manusia beasa yang sederhana, walaupun agung. Bangsa Arab sekarang yang nonmuslim, apabila tidak mempercayai Muhammad sebagai Nabi dan Rasulullah, tentu masih menilainya paling tidak sebagai seorang pemimpin, bahkan pemimpin terbesar berkaliber mondial yang pernah dilahirkan di kalangan bangsa Arab. Dan para pemikir Barat yang jujur, seperti Goethe, Thomas Carlyle atau Arnold Toynbee, pada dasarnya berpendapat demikian juga.
Sebuah buku yang ditulis secara jujur oleh seorang ahli sejarah bernama W. Montgomery Watt berjudul Muhammad at Madina, memang melukiskan riwayat Nabi Kita itu di Madinah sebagai seorang pembina sebuah bangsa dan pembentuk sebuah negara dalam pengertian modern, lengkap dengan kode etik dan hukum dan konstitusi yang sama sekali baru. Dan dalam suatu analisa mikro, seorang penulis lain, Maxime Rodinson ia sebenarnya seorang yang menyimpan rasa benci yang mendalam, namun tak bisa menahan rasa kagumnya terhadap pribadi Nabi kita) menggambarkan Muhammad sebagai seorang “‘politisi”, “mampu mengendalikan perasaannya dan tidak mengizinkan perasaannya itu keluar sampai datang saatnya yang tepat: mampu menunggu untuk jangka waktu yang lama tapi pada saatnya yang tepat dengan cepatnya bergerak secara mengejutkan”.
Rodinson (sebagai seorang Yahudi, ia nampak tidak rela melihat tindakan Nabi kepada orang-orang Yahudi pada waktu itu) juga melukiskan Muhammad sebagai seorang “jenderal” yang luar biasa hebatnya, dalam arti “mampu merencanakan perang dan secara cerdas melakukan kampanye serta mengambil langkah yang tepat dalam setiap peperangan”, Lebih lanjut Rodinson juga menilai bahwa Muhammad adalah seorang yang berpikiran sehat, terus terang dalam mengemukakan pendapat, memiliki kepribadian yang seimbang, berpikir matang sebelum mengambil tindakan, melakukan kegiatan pribadi maupun kemasyarakatan secara efektif, mampu memilih tindakan yang tepat untuk menjamin keberhasilan rencananya, seorang yang memiliki keberanian yang Cukup untuk memberinya kewibawaan memimpin dalam peperangan, dan juga seorang “‘diplomat?” yang cakap, disertai dengan penalaran, kejernihan berpikir serta kelancaran dalam berbicara.
Semua lukisan pribadi dari luar itu (bukan sebagai orang yang percaya bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasulullah) mungkin saja banyak mengandung kebenaran. Semua penilaian itu juga lumrah, sebab Muhammad sebagai pemimpin dunia dan pemimpin Zaman, harus dihadapkan kepada sejarah, yaitu apakah ia memang seorang Nabi dan Rasulullah. Sorotan yang kritis, suka atau tidak suka, pasti akan diarahkan kepadanya, hingga kepada tindakan-tindakannya yang sekecil-kecilnya pun. Tapi riwayat Muhammad adalah sebuah lembaran terbuka. Tak ada seorang Nabi atau tokoh apapun yang pernah lahir, dicatat secara begitu teliti dan demikian lengkap seperti sejarah hidup Muhammad.
Dari lukisan pribadi yang analitis, seperti dilakukan oleh Watt, orang tidak dapat menarik kesimpulan logis, bahwa Muhammad memang seorang yang memiliki kemampuan serta karakteristik kepribadian yang sempurna yang mungkin dicapai oleh manusia untuk mendapatkan sukses. Secara fisik, ia adalah seorang yang gagah dan rupawan. Sifat sifatnya Menimbulkan kecintaan orang kepadanya, entah dari yang tua, anak-anak, wanita maupun dari orang yang sebayanya. Tingkah laku dan pandangannya mendatangkan kepercayaan anggota masyarakat kepadanya sehingga melahirkan gelar “Al Amin baginya. Ketika ia telah kawin dengan seorang janda kaya, ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang yang kaya, bukan semata-mata karena harta yang mungkin diperolehnya, tetapi juga karena kecakapannya dalam berdagang. la malah pernah ditawari untuk bisa memperoleh kekayaan apabila itu yang ia kehendaki. Tidak itu saja, kepemimpinan suku Ouraisy pun ditawarkan kepadanya, asalkan ia mau melepaskan gagasannya untuk menyebarkan keyakinan baru. Tapi kesempatan untuk memperoleh sukses duniawi itu ia tolak. Malahan, ia memilih menghadapi resiko permusuhan yang amat keras dari lingkungannya. Kekerasan yang diterimanya menyebabkan ia terusir dari kota kelahirannya. Dalam perjalanannya mengungsi itu, ia hampir mengalami nasib serupa dengan yang diterima oleh Nabi Isa as, pembunuhan.
Tapi berbeda dengan nasib Isa, Muhammad berhasil membangun komunitas. Rangkaian perang yang panjang ia alami. Ada kalanya menang, berkali-kali pula “kalah”?, setidak- tidaknya terpukul dengan kerasnya. Dan akhirnya, lebih dengan cara politik dan diplomasi daripada secara perang, Muhammad pun akhirnya berhasil mencapai kemenangan besar dengan takluknya kekuasaan Mekah. Hampir seluruh suku-suku dan kelompok-kelompok masyarakat di jazirah Arabia berhasil dihimpunnya dalam suatu komunitas “‘bangsa’ dan kekuasaan “negara” baru. Menurut Watt, kekuasaan yang berhasil ditegakkan oleh Muhammad itu didukung oleh suatu “‘kerangka ideologi'” fideological framework), kelembagaan sosial (social institutions) yang dihasilkan oleh suatu strategi politik dan pembaharuan kemasyarakatan (social reform) yang berpandangan jauh, serta didukung oleh kelompok orang-orang yang dibinanya menjadi administrator yang cakap dan tangguh guna mendukung pemerintahan baru.
Oleh Watt, Muhammad diberinya gelar “‘One of the greatest of the sons of Adam”, salah seorang yang teragung di antara anak-anak Adam. Itu semua adalah berkat apa yang disebut oleh Watt,”great gift” atau bakat besar yang melekat padanya.
Tapi, dari catatan Sejarah, kita dapat membaca saksi tertulis, bahwa Muhammad tidak pernah mengangkat dirinya menjadi “Panglima Perang” tertinggi ataupun “Kepala Negara”. Dalam surat-suratnya kepada para raja, pangeran atau kepala-kepala suku, ia hanya menyebut dirinya ”Muhammad, Utusan Allah”. Yang ia serukan hanyalah, agar manusia percaya kepada Allah. Sebab, dengan percaya kepada Allah, manusia akan selamat, dan memperoleh kebahagiaan.
Muhammad tidak membangun satu istana pun baginya, walaupun ia lebih dari mampu untuk melakukan hal itu. Bahkan ia tidak meninggalkan suatu warisan pun kepada putrinya yang masih hidup ketika ja meninggal dunia. Suatu hari, Fatimah, putrinya itu, pernah menginginkan suatu tanah di Fadak dan Khaibar, karena menurut hematnya, tanah itu adalah peninggalan Nabi. la mengajukan permintaan itu kepada Abu Bakar, sahabat terdekat dan mertua Nabi yang ketika itu, sebagai Khalifah, memiliki kekuasaan besar untuk berbuat apa saja. Tapi Abu Bakar menjawab dengan mengingatkan kata-kata Nabi sendiri: “Kami, para Nabi tidak mewariskan apa-apa. Yang kami tinggalkan, buat sedekah”. Abu Bakar juga bertanya, apakah Nabi pernah berpesan kepada Fatimah, ternyata Fatimah menjawab bahwa Nabi memang tidak mewariskan apa-apa.
Ketika masih hidup, Nabi juga punya kesempatan untuk menjadi kaya. Tapi ia tak sedikit pun menghendaki harta, padahal ia bisa berdagang atau mendapatkan rampasan perang. Bahkan ia melarang keluarganya menerima uang zakat. Karena itu, menjelang wafat, Nabi hanya memiliki uang sebesar 7 dirham. Itu pun tidak diberikan kepada putrinya atau istrinya. Malahan uang itu dimintanya dari Aisyah untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Muhammad, telah membuktikan dirinya sebagai Nabi dan Rasulullah.

Penulis: M. Dawam Rahardjo (1942-2018), akademisi, aktivis dan cendekiawan muslim. Sumber: Panji Masyarakat, No. 386, 21 Januari 1982