Kita tidak tahu secara pasti, apakah kini, dunia politik kita ditentukan oleh mereka yang disebut politisi, ataupun bukan, sama halnya seperti kita tidak mengetahui, apakah politisi itu tidak lebih mirip pegawai swasta yang dinegerikan. Yang agak pasti, terkadang, dalam konteks politik di negeri kita, dan dalam sosok politisi kita sekarang ini, pikiran-pikiran yang agak menyimpang tentang mereka, perlu pula kita ketengahkan.
Tapi siapa politisi itu?
Dalam keadaan dunia politik kita seperti ini, konsep politisi jarang tersepakati secara tunggal. Tapi kita bisa menyebutkan seorang anggota DPR, atau pejabat sebuah partai sebagai politisi. Kita juga bisa menyebutkan bahwa orang-orang yang terlibat dalam organisasi semi-politis, seperti AMPI atau KNPI sebagai politisi. Mereka, khususnya yang pertama, kedudukan atau fungsinya sebagai politisi telah diformalkan. Merekalah yang secara resmi disebut politisi.
Tapi janganlah bertanya tentang apa yang mereka usahakan dengan permainan kekuasaan. Kekuasaan, dalam perspektif ini seakan-akan harus dibicarakan secara terpisah dengan mereka. Cap formal yang mereka miliki, bahkan juga terpisah dengan diri mereka sendiri, sebagai pribadi. Mereka bukanlah pemain-pemain kekuasaan. Mereka adalah “mainan” kekuasaan.
Lalu, siapakah yang menjadi aktor kekuasaan?
Sekali lagi, terhadap pertanyaan itu, tidak ada jawaban yang tunggal – betapa pun ketunggalan telah menjadi pembicaraan politik sehari-hari.
Toh, secara serampangan, kita bisa menjawab dengan mudah: actor kekuasaan di negeri kita adalah “politisi jenis lain”. Jenis lain?
Ini jawaban yang mungkin terasa aneh. Tapi percayalah, ditengah-tengah hirup pikuk upacara formal – yang bahkan telah menjadi tradisi di tengah-tengah kita – alur kekuasaan di negeri kita justru ditentukan oleh mereka yang secara “tidak formal” berfungsi sebagai politisi. Mereka inilah yang bisa kita sebut sebagai “politisi jenis lain”.
Lalu, kalau begini, apa arti calon-calon politisi formal, yang sedang diramaikan kini?
Kita tidak tahu, apakah dengan pertanyaan ini mengungkapkan rasa putus harapan terhadap mereka. Tapi, kalau pertanyaan itu ditujukan kepada diri kita sendiri, jawaban apologis apakah yang harus kita berikan?
Maka kalau calon-calon anggota DPR atau DPRD – dengan demikian calon-calon politisi formal – tidak kita harapkan lagi memberikan jawaban yang apologis, maka peranan mereka setidak-tidaknya menyangkut partisipasi dari kita juga. Kitalah yang berusaha mempengaruhi mereka, agar bertindak pada jalan yang kita idealisasikan.
Tapi kalau begitu, bagaimana kalau kita sendiri yang menggantikan fungsi mereka?
Wah. Kita bisa jadi “politisi jenis lain”.
Penulis: Fachry Ali, peneliti senior dan pengamat sosial, politik dan budaya. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 21 Januari 1987.