Ads
Ibadah Haji

Haji sebagai Jalan Suci

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Seorang yang baru saja selesai menunaikan ibadah haji datang kepada Imam Junaid Al-Bagdadi, seorang sufi agung.

“Saya baru saja melaksanakan ibadah haji di kota suci.” Kata orang itu

“ketika pertama kali berjalan dari rumah, apakah Anda juga telah meninggalkan semua dosa? Imam Junaid bertanya.

“Tidak.”

“Berarti anda tidak membuat perjalanan. Ketika singgah di Arafah, apakah anda telah singgah sebentar dalam musyahadah kepada Tuhan?”

“Tidak.”

“Berarti Anda tidak singgah di Arafah. Ketika thawaf mengelilingi Ka’bah, apakah anda sudah memandang keindahan non-material Tuhan di tempat suci?”

“Berarti Anda tidak melakukan thawaf. Ketika sa’I, lari antara Shafa dan Marwah, apakah anda telah mencapai peringkat kesucian (Shafa) dan kebajikan (muruwwat)?”

“Tidak.”

“Berarti Anda tidak melakukan sa’i.  Ketika tiba di Mina, apakah semua keinginan Anda sirna?

“Tidaki.”

“Berarti Anda belum mengunjungi Mina. Ketika melemparkan batu-batu ke jumrah, apakah anda telah melemparkan semua hawa nafsu?”

“Tidak.”

“Berarti Anda belum melempar Jumrah, dan Anda belum melaksanakan Ibadah Haji. Kembalilah untuk menunaikan Ibadah Haji lagi!”

Pernyataan-pernyataan Imam Junaid di atas menegaskan bahwa ibadah haji, merupakan medium untuk membangun karakter manusia yang kamil dan berkualitas; tidak saja secara ruhani, tetapi juga etik-sosial. Itu sebabnya nilai Ibadah haji yang sesungguhnya tidak hanya ditentukan oleh pelaksanaan ritualnya. Integritas kedirianya dan etik-sosial yang terpantul dan perilaku jamaah sekembali dari Mekah jauh lebih penting.

Di sini internalisasi nilai ketakwaan di setiap gerak kehidupan menjadi acuan keberhasilan ibadah haji. Segala bentuk prosesi dalam ibadah haji dengan demikian bukanlah sebagai tujuan, tetapi hanyalah sarana penyadaran diri menuju karakter yang berkualitas tadi. Itu sebabnya, para sufi, seperti Imam Junaid, memberikan makna-makna simbolik dari prosesi suci itu.

Berpakaian ihram yang sederhana dan berwarna putih, adalah simbol dari kesadaran akan kesetaraan manusia di hadapan Tuhan; bahwa hanya kualitas ketakwaan diri yang membedakannya. Karena itu, sifar-sifat nafsuistik mesti ditanggalkan. Simbol-simbol keduniawian yang bersifat profan dan artifisial tidak lagi penting. Pujian-pujian manusia tidak lagi bermakna.

Prosesi thawaf mengandung makna bahwa seorang mesti mempunyai kesadaran tentang adanya keindahan non-material, yakni Tuhan. Ka’bah sebagai pusat rotasi dalam thawaf, berarti seseorang harus menjadikan diri-Nya. Sebagai pusat orientasi dalam segala gerak hidupnya di dunia. Lari kecil (sa’i) antara Shafa dan Marwah, menyandarkan manusia tentang keharusan usaha mencapai peringkat kesucian (shafa) dan kebajikan (muruwwat). Dan dengan melempar (Jumrah) seseorang disadarkan tentang kemestian melemparlkan kepentingan-kepentingan hedonis dan pikiran kotor.

Makna-makna di atas, jika terinternalisasi dalam diri, akan mampu menanggalkan segala atribut-atribut keduniawian dan sifat nafsuitik yang profan, sehingga mengantarkan manusia dalam proses liminal. Yakni, proses yang merujuk pada pengalaman dasar manusia yang bebas struktur. Suasana liminal ini akan mampu membentuk manusia yang berkualitas, yang di dalam dirinya telah terjadi internalisasi karakter ketakwaan, seperti semangat egaliter, kesamaan dan solidaritas sosial. Sementara keakuan dirinya lebur dalam kemahahadiran dan kemahaagungan Tuhan.

Dengan demikian, menunaiukan ibadah haji, sebagai panggilan Tuhan yang suci itu, tidak cukup dicapai hanya diwujudkan dengan pergi ke Mekah. Kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia adalah hal yang juga penting untuk diwujudkan, karena inti panggilan Tuhan menuju ke kesucian itu adalah tuntutan pada manusia untuk kembali ke fitrah kediriannya yaitu sebagai hamba Tuhan (tunduk kepada Tuhan) dan sebagai khalifah-Nya (menebar damai dan cinta di dunia).

Kembali ke fitrah semacam ini, kata Ibnu Sina, akan melahirkan manusia yang kreatif, yang selalu aktif di dunia, memelihara kedamaian manusia, menjaga keharmonisan alam, menyebarkan berkah, dan selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan. Ia juga mampu memberikan kesejukan, kecintaan, kebenaran, dan keadilan sejati. Individu macam ini akan selalu berbuat indah, baik, benar, dan adil. Mencari yang indah akan melahirkan seni, mencari yang baik akan melahirkan etika, mencari yang benar akan melahirkan ilmu, dan mencari yang adil akan melahirkan kesejahteraan dan ketenangan bagi umat manusia di bumi.

Sosok tersebut juga bersedia melihat yang baik sebagai kebaikan, yang benar sebagai kebenaran, yang jelek sebagai kejelekan, dan yang salah sebagai kesalahan. Keadilan dan kebenaran dipandangnya sebagai suatu yang harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya (QS. 4: 135). Bahkan kepada orang yang membenci pun keadilan harus tetap ditegakkan (QS. 5: 8).

Seseorang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Mekah, tapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilai-nilai religious-korupsi, menindas, mengeksploitasi orang lain, tetap menjadi rutinitasnya sehari-hari-itu artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan dengan benar. Proses kesungguhannya ke Mekah belum memberikan bekas dalam laku kehidupannya sehari-hari.

Sebab, haji yang sejati akan mampu menebarkan kedamaian, kebaikan, dan keadilan di bumi. Itulah haji mabrur.  

Penulis: Islah Gusmian, alumni Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sumber: Majalah Panjimas, 6-10 Februari 2003

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading