Masalah khilafah kembali menjadi perbincangan publik menyusul viralnya pawai sekelompok orang di beberapa daerah yang membawa bendera bertuliskan “Khalifatul Muslimin”. Lalu ditindaklanjuti pihak dengan penangkapan sang pemimpin Abdul Qadir Hasan Baraja dan sejumlah pemimpin Khalifatul Muslimin lainnya. Mereka dituduh melakukan makar dan menyebarluaskan berita bohong.
Khalifatul Muslimin didirikan pada 1997 oleh sejumlah bekas narapidana yang terkait dengan Negara Islam Indonesia (NII). Abdul Qadir, misalnya, pernah dua kali ditangkap dalam kasus yang disebut Komando Jihad. Yakni pada 1979 karena terlibat kasus teror Warman, dan pada 1985 atas tuduhan terlibat dalam kasus pemboman candi Borobudur. Organisasi ini menuarakan pemberlakuan syariat Islam melalui sistem khilafah atau pemerintahan Islam atau kaum Muslim sesuai dengan namanya (Khalifattul Muslimin). Yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka baru ditangkap sekarang? Apakah orrsasi punya cukup kekuatan untuk mengganti sebuah pemerintahan?
Biarlah jawaban atas pertanyaan itu nanti terungkap melalui proses penyidikan pihak kepolisian dan persidangan di pengadilan. Yang ingin diungkap kolom ini adalah soal khilafah tampaknya akan tetap menjadi persoalan aktual dalam pemikiran politik kaum Muslim, termasuk di Tanah Air.
Khilafah boleh dibilang topik yang menyita banyak perhatian ketika orang membincangkan pemikiran politik Islam. Dari dulu sampai sekarang. Persoalan kepemimpinan politik atau imamah ini pertama kali muncul setelah Nabi wafat. Ya, karena memang tidak ada petunjuk baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang terkait dengan siapa yang mesti meneruskan kepemimpinan beliau. Atau bagaimana tata laksana penggantian atau suksesi kepemimpinan tersebut. Lalu muncullah ijmak atau kesepakatan di antara para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai penerus kepemimpinan beliau. Dan digelari khalifatu rasulillah alias suksesor (kepemimpinan) Rasulullah. Penggantinya Abu Bakar yaitu Umar ibn Al-Khattab, disebut khalifatu Abi Bakr khalifaatu Rasulilillah. Yakni penerus Abu Bakar yang meneruskan Rasulullah, dan seterusnya sampai Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib – yang semuanya disebut sebagai Al-khulafaur Rasyidun. Lantaran terlalu panjang, maka sebutan mereka diringkas menjadi khalifah. Gelar ini kemudian digunakan oleh penguasa dari Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah dan seterusnya sampai para penguasa Turki Usmani (Ottoman).
Dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat yang membicarakan khilafah maupun khalifah. Misalnya, yang sering dikutip, adalah surah Al-Baqarah ayat 30 dan surah Shad ayat 28. Kedua ayat ini dianggap yang paling memungkinkan dibanding ayat-ayat lainnya seperti QS 6:165; QS 7: 69,74); QS 10: 14,73, QS 27: 62, dan Q. 35:39. Namun, menurut sejumlah mufasir ayat-ayat itu tidak mengindikasikan adanya perintah untuk membangun sebuah sistem politik di dalam Islam. Seperti dikemukakan Buya Syafii Maarif, yang berpulang ke rahmatullah beberapa waktu lalu, apa yang disebut oleh pemikiran politik Islam tentang khilafah atau imamah pada abad pertengahan, hanyalah punya sedikit hubungan atau malah tidak sama sekali dengan Al-Quran dan sunah Nabi. Jadi apa yang sekarang sering disebut-sebut sebagai khilafah Islamiyah itu sesungguhnya merupakan hasil kesepakatan atau ijmak para sahabat sepeninggal Rasulullah. Ijmak memang bisa digunakan sebagai sumber pengambilan hukum di dalam Islam. Tapi, seperti dikatakan Abed Al-Jabiri, hujjah atau rumusan argumen rasional-keagamaan mengenai khilafah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan otoritas kekuasaan.
Berdasarkan argumen sebagaimana telah dikemukakan, sebagian kalangan Islam berpendapat bahwa khilafah sebagai sebuah sistem politik atau pemerintahan bukan berasal dari syariat Islam karena tidak ada rujukannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Dengan demikian, khilafah Islamiyah merupakan produk sejarah, yang lahir dan berjalan mengikuti perkembangan sejarah. Oleh karena itu, seperti diingatkan oleh Said Al-Asymawi, kaum Muslim harus dapat membedakan antara Islam sebagai ajaran dan sejarah Islam itu sendiri. Bukankah apa yang disebut khilafah itu dalam praktek berbeda dari satu penguasa ke penguasa lain, dan dari dinasti satu ke dinasti lain?
Penulis tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa khilafah atau pemerintahan Islam, sebagaimana terutama dipraktikkan pada masa Khulafaur Rasyidin, sebagai sesuatu yang tidak islami, apalagi berlawanan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Sekali lagi, khilafah adalah merupakan respons kaum Muslim terhadap tantangan yang mereka mengenai kepemimpinan umat setelah Nabi wafat, dan setelah khalifah yang menggantikan Nabi wafat, dan seterusnya, sesuai dengan tantangan zamannya.
Tak bisa diingkari, memang, sebagian kalangan di dunia Islam yang menganggap keberadaan sebuah daulah islamiyah (negara Islam) ) sebagai sebuah perintah agama. Argumennya adalah negara Islam diperlukan agar ajaran Allah bisa dilaksanakan secara kaffah alias total. Mereka meyakini bahwa Kota Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah, apalagi kemudian setelah mampu menundukkan sejumlah kekuatan dan kerajaan kuat di masa itu, adalah sebuah negara (daulah). Kehancuran kekhalifahan Usmani (Ottoman) di Turki di paruh pertama abad ke-20 juga merupakan cerita romantis yang sering dikembangkan untuk melegitimasi adrenalin umat Islam untuk segera membentuk khilafah Islam. Inilah yang kemudian dilakukan oleh An-Nabhani dengan mendirikan Hizbut Tahrir atau Abu Bakar Al-Baghdadi, dengan ISIS-nya di Suriah dan Irak. Dan di tingkat lokal, ya Khilafatul Muslimin itu.
Dalam pemikiran Al-Baghdadi, kelahiran khilafah diawali dari sebuah negara yang kuat dan terus memperluas pengaruhnya melalui jalan penaklukan sehingga ia memiliki kekuasaan lintas-negara atau trans-nasional. Bila tak ingin diperangi, negeri-negeri muslim lemah, termasuk negara-negara nonmuslim, diwajibkan untuk bergabung dengan daulah kuat dan besar. Setelah itu, mereka wajib berbaiat.
Maka, dari daulah yang kuat itu lahirlah kekuatan kaum Muslim yang menyatu pada satu tangan kekhalifahan. Negeri-negeri non-Muslim di bawah khilafah Islam diperbolehkan menjalankan agama sesuai keyakinan mereka, tapi diwajibkan membayar upeti, jizyah, semacam pajak sebagai imbalan atas perlindungan yang diberikan khalifah. Demikian pemahaman konsep khilafah Islam yang sering dipahami kaum muslimin.
Itulah sebabnya, untuk menegakkan negara yang ingin dibangunnya pemimpin ISIS yang mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah yatu Abu Bakar Al-Baghdadi, dan pasukannya, membangun pemerintahan sendiri di wilayah yang mereka duduki, yaitu di Irak dan Suriah. Tidak mudah karena dia harus berhadapan dengan pemerintah yang sah di kedua negara itu. Karena itu, ia pun melancarkan serangkaian kekerasan, yang bahkan di luar perikemanusiaan. Dalam angan-angan Al-Baghdadi dengan ISIS-nya, maka ia berharap mendapat dukungan atau bahkan baiat dari warga Muslim lainnya di pelbagai penjuru dunia. Di Tanah Air ada juga yang berbait ke Al-Baghdadi.
Di Indonesia, khilafah disebarluaskan oleh cabang HT yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HT masuk Indonesia pada tahun 1970-an melalui Australia. Pusatnya berada di Bogor, di mana mereka mempertahankan kehadiran yang kuat sampai hari ini. Dari tahun 1980-an hingga reformasi, kelompok ini adalah organisasi klandestin. Barulah pada tahun 2000 mereka menjadi organisasi terbuka dan relatif telah berkembang pesat sejak itu.
Hizbut Tahrir Indonesia juga telah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan nasional dan internasional mulai dari Rapat Pawai Akbar dan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta pada tahun 2000 dan 2007. Pada tahun 2017 pemerintah secara resmi telah melarang HTI karena kegiatan-kegiatan dinilai berlawanan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan menimbulkan benturan di masyarakat. Dan setelah agak lama tidak terdengar, isu khilafah muncul kembali. Kali ini bukan HTI, melainkan oleh Khilafatul Muslimin di bawah Abdul Qadir Hasan tadi.
Menurut Syafii Maarif, gagasan khilafah bukanlah ide menarik, dan merupakan pendekatan terlalu jauh dari suasana zaman sekarang. Ia bahkan menyebut bahwa khilafah Islam bersifat ahistoris, dan secara teoritik tidak pernah satu, kecuali sampai masa Khalifah Utsman bin Affan, dan itu pun kemudian terjadi perpecahan. Dalam sebuah wawancara dengan Panjimas dia menegaskan, “Saya rasa sistem kita sekarang jauh lebih baik, karena partisipasi masyarakat lebih dimungkinkan tanpa memandang asal-usul. Dalam sistem khilafah, di luar khilafah ar-rasyidah (kekhalifahan yang bijak), soal partisipasi mesti melihat berbagai kategori, misalnya soal latar belakang Quraisy, soal Ahlul Bait (kekerabatan dengan Nabi). Sistem semacam itu, menurut saya, berlawanan dengan semangat Al-Qur’an yang menempatkan manusia dalam posisi yang sama di hadapan Tuhan.”
Pada zaman sekarang di mana setiap individu, apalagi sebuah bangsa dan negara, memiliki hak penuh untuk menentukan nasibnya sendiri, berhak mengontrol dan dikontrol, model khilafah Islam mungkin tidak tepat, atau harus dilakukan modifikasi sesuai semangat zaman. Sementara itu, negara-negara di dunia terbentuk mengikuti “sunnatullah” negara-bangsa (nation–state). Dalam konteks inilah Yusuf Qardhawi, ulama terkemuka dari Timur Tengah, mengusulkan khilafah Islam harus bersifat perwakilan, wakil dari umat Islam di seluruh dunia. Bukan dalam bentuk negara. Kalau begitu, bukankah sekarang ada Organisasi Kerja Sama Islam (Munadzamah at-Ta’awun al-Islami, Organization of Islamic Cooperation/OIC) yag dulu bernama Organisasi Konferensi Islam yang sama-sama disingkat OKI?
Adapun masih akan tetap munculnya organisasi seperti Khilafatul Muslimin yang mencita-citakan pemerintahan Islam semesta, kemungkinan itu tidak bisa dinafikan. Tapi tidak lebih hanya riak di tengah gelombang besar. Dan karena itu, tidak perlu dicemaskan secara berlebihan.

Penulis : Arsul Sani, politikus wakil ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia