Perlunya suksesi kekuasaan nasional yang digulirkan Amien Rais pada tahun 1993, lima tahun kemudian menjadi kenyataan. Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh “bibit” Muhammadiyah, seperti dinyatakan Soeharto sendiri dalam pidato pembukaan Muktamar Muhammadiyah Banda Aceh, akhirnya runtuh juga. Getaran kuatnya, kata Syafii Maarif, berkat M. Amien Rais, sangat dirasakan oleh warga Muhammadiyah. Sebagai sebuah sekrup kecil di Muhammadiyah, Syafii mengaku sangat diusik oleh getaran itu. Pada tanggal 19 Mei 1998, dua hari sebelum Suharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Syafii diminta Amien Rais segera terbang ke Jakarta untuk membantunya membaca peta perkembangan politik. Tidak syak lagi, karena faktor Amien Rais, dalam bilangan bulan, Muhammadiyah secara tidak langsung telah terlibat dalam pusaran politik. Ada yang sulit dipahami oleh Syafii Maarif, yakni sikap Amien Rais yang terlalu kritikal terhadap Habibie setelah beberapa bulan menjadi presiden. Bukankah semula kedua tokoh ini begitu akrab? Karena kalkulasi politik masing-masing, hubungan antara keduanya semakin hari semakin memburuk dan renggang. “Aku sangat menyayangkan mengapa hal itu harus terjadi.”
Dalam pandangan Syafii Maarif, Habibie punya niat luhur untuk memulihkan kedaulatan rakyat yang selama ini diabaikan oleh “daulat tuanku”. Karena upaya beraninya ini, Syafii menyebut Habibie sebagai Bapak Demokrasi Kedua sesudah Hatta. Hanya saja, kran demokrasi yang dibukanya terlalu lebar, sehingga yang berjalan bukan demokrasi yang sehat dan bertanggung jawab tetapi ultrademokrasi yang penuh euforia. Keadaan sukar sekali dikontrol, masyarakat menjadi liar. Keadaan ini, kata dia, dimanfaatkan oleh kaum elite yang berseberangan dengan Habibie untuk mancing di air keruh. Dan Amien Rais turut mengkritik Habibie dengan keras, sesuatu yang menurut Syafii tidak seharusnya. “Tampak di sini Amien Rais juga kurang sabar dalam membaca peta persoalan yang sedang berkembang.”
Perkembangan politik yang sangat cepat setelah Soeharto, yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu, mengundurkan diri pada tanggal 22 Mei 1998. Situasi ini sangat berpengaruh terhadap dinamika internal di Muhammadiyah. Hal ini tentu saja karena faktor Amien yang telah memainkan peranan kunci bagi keruntuhan rezim. Maka pada minggu terakhir di bulan Mei itu juga, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar rapat pleno, khusus membicarakan perkembangan politik. Sebagian peserta rapat menghendaki Amien Rais segera balik kandang, kembali berkhidmat di persyarikatan, karena toh tugas utamanya yaitu menggulingkan Soeharto sudah usai. Hanya Ahmad Syafii Maarif dan Ahmad Watik Pratiknya yang berpendapat lain. Kedua Ahmad ini justru ingin Amien Rais maju terus. Kalau mandi, jangan kepalang basah, atau dalam versi dangdut almarhum Meggi Zakaria, “terlanjur basah, ya sudah mandi sekali.”
Setelah itu, lewat rapat pleno yang diperluas bulan berikutnya, Amien Rais diberi mandat penuh untuk merumuskan langkah-langkah politiknya. Pertanyaannya siapa yang akan memimpin jika langkah politik itu kemudian mengarah ke pembentukan partai baru. Syafii yang sejak awal menginginkan Amien Rais yang maju, bukan yang lain, melihat Amien Rais mulai-mulai ragu, dan bahkan menyebut Syafii yang akan menjadi ketua partai baru itu. Tak pelak lagi, Syafii pun menjadi buruan wartawan, dan terus mengulang jawabannya bahwa politik bukan dunianya. Dia pun segera cabut ke Yogya seusai rapat, untuk memberi sinyal kuat bahwa dirinya tidak mau terlibat dalam permainan politik. ”Toh peminat politik di kalangan Muhammadiyah cukup tersedia, untuk maksud baik atau sebaliknya,” Syafii menegaskan.
Meski begitu, dari Juni sampai Agustus 1998, Syafii Maarif ikut sibuk melakukan lobi guna mencari format yang pas bagi kendaraan politik yang akan dibentuk itu. Hasilnya, berdirilah Partai Amanat Nasional (PAN) yang dideklarasikan pada 20 Agustus 1998 dengan Ketua Umum Mohammad Amien Rais. Lalu siapa yang akan menggantikan kedudukan Amien Rais sebagai Pj. Ketua Muhammadiyah sebelum ditentukan oleh Tanwir berikutnya? Kecuali K.H. Djamaluddin Amien, ketua PMW Sulawesi Selatan, yang menghendaki Amien Rais rangkap jabatan, Amien Rais dan peserta lainnya memilih Buya Haji Ahmad Syafii Maarif. Bagaimana sikap jiwa Safii Maarif, bekas anak kampung yang sekarang menjadi orang nomor satu di persyarikatan? Dia menyatakan,
“Setelah bola mulai terpegang di tanganku sebagai pejabat ketua PP, aku semula merasa agak gamang juga. Alasannya sederhana saja. Aku menggantikan posisi seorang yang sedang berada di atas angin. Namanya disebut di mana-mana. Semua wartawan berduyun-duyun mengejarnya. Ini tidak mengherankan, karena debut politiknya secara lebih mengarah sudah dimulai sejak Tanwir Surabaya. Inilah sosok yang aku gantikan. Repot bukan? Memang repot! Salah-salah melangkah aku tenggelam. Muhammadiyah juga akan kurang diperhitungkan orang. Tidak seperti di bawah pimpinan Amien Rais yang telah membawa Muhammadiyah bersinar terang, sekalipun bukan tanpa masalah di lapangan. Mungkin kritik Lukman Harun kepadaku ada unsur kebenarannya. Aku tidak terlatih menjadi orang pertama, bahkan tidak di tingkat ranting atau cabang. Sekarang tahu-tahu sudah berada di pucuk pimpinan Muhammadiyah, orang Minang kedua sesudah A.R. Sutan Mansur. Tokoh piawai inilah yang batinnya ditaklukkan Dahlan untuk menceburkan diri ke Muhammadiyah. Dan panggilan batin itu dilakukannya dengan sepenuh hati. Tokoh inilah yang senantiasa mengarahkan Hamka untuk tetap istiqamah dalam hidup. Tokoh ini pulalah dulu yang sering menasihati Soekarno agar pandai-pandai menjaga amanah kekuasaan. Aku bukanlah sosok yang sepiawai itu.”

Pada Sidang Tanwir di Bandung, Desember 1998, Ahmad Syafii Maarif akhirnya ditetapkan menjadi ketua definitif. Selama setahun dia memangku jabatan itu, seperti diakuinya, dia harus belajar banyak tentang bagaimana sebaiknya dia melangkah. Orang pun menilai, setahun pertama dalam kepemimpinannya dia masih berada di bawah bayang-bayang Amien Rais. Dia pun berseloroh, “Bagiku hal ini baik saja, sebab masih ada bayang-bayang yang melindungi bukan?”
Bersambung