Belum lama ini, setelah beberapa bulan tergabung di sebuah group whatsapp, beranggotakan sejumlah kawan yang pernah bekerja di suatu lembaga kemanusiaan, entah siapa yang megawali, menyebut diri group whatsapp itu Almamater Kemanusiaan. Penyebutan itu amat beralasan, semua “secara aklamasi” setuju – setidaknya sampai artikel ini saya tulis, atas penamaan group whatsapp itu. Sangat kebetulan pula, muncul usulan simpatik dan inspiratif untuk saling menyimbang artikel yang targetnya dalam kurun waktu tertentu akan dibukukan.
Audit: Statement yang Menguatkan
Satu dua orang mengamini. Ada yang dengan bersemangat mengunggah komentarnya di wall whatsapp group itu. Salah satunya, mantan karyawan perbankan lalu hijrah beberapa tahun terus berkarier menjadi entrepreneur dan bidang konsultan. Menurut dia, sejatinya lembaga filantropi harus punya tujuh hal ini.
Pertama, mengedepankan unsur menjaga amanah dana masyarakat sebagaimana layaknya perbankan. Kedua, mengedepankan keimanan sebagai landasan dalam aktifitas, yang berbanding lurus dengan integritas. Ketiga, menerapkan GCG (Good Corporate Governance), dengan tetap mengedepankan kecepatan dan ketepatan implementasi program dan menyalurkan bantuan. Keempat, menjaga dana masyarakat, seperti menjaga dana milik sendiri, dengan prinsip kehati-hatian. Kelima, mematuhi aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh regulator, juga prinsip dan dasar aturan agama dan norma dalam masyarakat. Keenam, menjaga profesionalisme dalam menjalankan aktivitas dan melayani masyarakat. Dan ketujuh, memilih dan membentuk SDM unggul berakhlak dan budipekerti yang mulia, dengan kecakapan dan integritas yang mumpuni, terlebih amanah yang diemban adalah amanah dunia dan akhirat. Ketujuh hal ini menjadi pilar penting kepribadian filantropis, orang-orang yang berani mengambil tanggungjawab atas amanah langit yang tanpa diminta, berani menjadi tanggungjawabnya. Untuk tanggungjawab itu filantrop – dengan strategi yang dijalankannya, diatur secara moril. Kalau yang ia gunakan itu dana zakat, sebesar-besarnya untuknya cukup 2,5 persen sebagai hak amil. Seiring perkembangan, justru atas fatsoen filantrop sendiri, diaturlah, untuk dana masyarakat – tidak 2,5 persen lagi, kalau benar sebesar itu alangkah besarnya. Bagaikana jika hak amil, atau hak lembaga pengelola 2,5 persen dari Rp100 juta? 2,5 persen dari Rp1 miliar? Pertanyaan ini bermain di domain etik filantropi.
Begitu mudah tergiurnya seseorang untuk memanfaatkan “dana dari langit” ini. Filantropi, kerapkalai digalang dengan modal narasi menarik, menggugah, menghiba. Dalam istilah Erie Sudewo, mantan pimpinan Dompet Dhuafa – sebuah lembaga zakat cukup fenomenal pada zamannya, jurnalisme air mata. Narasi yang menyentuh kepedulian publik atau khalayak sehingga terharu, tersentuh dan berdonasi. “Kian kuat sebuah narasi menyentuh hati, kian dalam jurnalis ‘merogoh kantong Anda’,” demikian ungkapan filantrop. Dari narasi menuju donasi. Dalam ungkapan yang lebih elegan, kekuatan narasi harus bisa dibahasakan menjadi program. Tanpa program, aktivitas apapun menjadi bukan apa-apa. Kata orang program, narasi yang tidak menjual, tidak ada duitnya, jangan disampaikan ke publik. Sebab narasi dikatakan “tidak menjual” atau “tidak menggerakkan donasi”: Pertama, narasi itu tidak memberi efek kebermanfaatan untuk beneficiaries. Kedua, mungkin secara manfaat, publik memandang ada unsur kebermanfaatan, namun how to secara teknis tidak dilihat maked sense (kurang masuk akal) Perlu intervensi “nama besar” atau “figur publik” untuk menjadi “dalih pemantas” sebuah program bisa disebut “menjual”. Ketiga, program yang digagas disampaikan pada momentum yang tepat. Perlu timing untuk memastikan sebuah program. Misalnya: hari besar keagamaan (seperti kesulitan ekonomi menjadi “dalih pembenar” untuk mengajak publik berdonasi; pasca lebaran menjadi momentum berbagi keriangan, atau musim ajaran baru menjadi dalih tepat untuk berbagi, dan sebagainya).

Ranjau-ranjau “Penggoda”
Pengelola lembaga sosial dihadapkan pada fakta menggiurkan: ketersediaan anggaran yang “tidak diduga” bisa menstimulasi “syahwat materialis” pengelola lembaga sosial. Untuk mengatakan ini, sebenarnya berat. Namun kadang satu dua orang jadi tergoda. Ada saat tertentu, publik tergerak berdonasi, karena secara faktual memang “menjadi perhatian utama” masyarakat/khalayak. Saat itu di blasting (dipublikasikan), publik tergerak membantu.
Ketergodaan fase pertama: tergoda untuk benar-benar membantu. Bukan menyasar materi, tapi menggoda hati. Rasa jumawa yang digoda. Secara material, memang tidak mengganggu atau mengusik duit yang digalang. Sebatas mengusi keikhlasan. Godaan fase kedua, langsung pada material yang sudah terhimpun. Jumlah yang banyak, nyaris tidak dikontrol, merangsang “rasa memiliki”. Dana yang sudah digalang, salah satunya melalui media sosial, kerap tidak “bernama”. Dana yang “dari langit” teronggok di depan mata, pasti menggoda. Kali ini, bukan sekadar “keikhlasan” yang digoda, tapi juga “rasa memiliki” yang digoda. Tanpa pengawasan ketat, pengelola atau pemimpin organisasi “tergoda” untuk mendayagunakan “dana gratis” yang sudah diperoleh tanpa kesulitan terlalu berarti.
Azas good corporate governance/GCG (mengedepankan kecepatan dan ketepatan implementasi program dan menyalurkan bantuan), bisa saja dilanggar. Ini membuat pengelola lembaga sosial bertindak menyeleweng. Apakah karena “tak ada pengawasan” maka pihak pengelola bisa menyelewengkan dana masyarakat? Pada sejumlah organisasi sosial, “pengawas”, biasanya dewan syari’ah cukup intens memantau lembaga yang berada di bawah pengawasannya, dengan minta report berkala. Yang bagus memang pengelola melaporkan penggunaan dananya tanpa diminta. “Audit syari’ah” terjadi secara otomatis. Untuk proses ini publik sebagai “pemilik sah” dana memperoleh laporan penggunaan dana yang dilaporkan sebagai bagian standart operational procedure (SOP) sebagai paket pertanggungjawaban. Yang agak umum, audit financia kerap menjadi sesuatu yang penting pada laporan keuangan, Bahkan beberapa lembaga sosial secara berkala melaporkan audit keuangannya sebagai bentuk transparansi mereka.
Azas Pembuktian
Secara finansial, seluruh rangkaian organisasi itu dituntut transparan. Ada istilah di pengelola lembaga sosial,”kecil atau besar dana sebuah lembaga sosial, tetap diaudit: audit internal dan audit eksternal”, maksudnya, sebelum diaudit oleh akuntan publik independent, pihak lembaga sosial mengaudit keuangannya sendiri. Audit finansial itu piranti esensial dalam manajemen lembaga nirlaba. Tidak cukup audit finansial, audit non-finansial: audit komunikasi lembaga sosial, bagaimana proses komunikasi yang dilakukan lembaga sosial dilakukan untuk memapar publik. Secara substantif, dalam berkomunikasi, semua yang disampaikan jernih, bersih dari kebohongan publik. Sebaik apa lembaga sosial melangsungkan proses komunikasinya. Dan yang tak kalah pentingnya, audit program sosialnya sebaik apa. “Sebaik apa” ini harus diterjemahkan menjadi langkah operatif. Istilah teknisnya, kaji dampak. Sebaik apa dampak sebuah program dilakukan: dari proses penyampaian program, implementasi program sampai dampak programnya terhadap masyarakat sasaran program. Biasanya, sejumlah lembaga sosial menyertakan di dalamnya pendamping program. Bukan saja sebagai eleman pemasti program itu berjalan, tetapi juga menjadi mediator sasaran penerima program dengan stakeholder.
Sejumlah pendamping program biasanya menjadi inisiator program di lembaga sosial di mana ia bekerja. Penghayatan dan feeling seorang pendamping biasanya kian terasah sehingga pembelajaran dari dunia praktis mengantarkannya pada jenjang piawai sebagai pengampu program. Dalam banyak kasus, lembaga sosial memiliki program tanpa pendamping program. Pada tahap awal, banyak hal dilakukan peimpinan lembaga. Seiring membesarnya lembaga, melibatkan pendamping program terlatih amat diperlukan. Sebagai garansi lembaga sosial itu serius menjalankan programnya.
Rangkaian logis sejak perencanaan, pendampingan (mempertemukan komunitas sasaran program dengan stakeholders), mengkaji dampak programnya, akhirnya menjadi penguat lembaga sosial itu. Ada kesungguhan dalam mendesain dan mendeliver program serta melihat dampak (kemaslahatannya) di tengah masyarakat. Publik dibuat memahami proses, “terlibat secara kognitif” sadar proses, sehingga rangkaian proses itu lambat namun pasti menguatkan pembuktian lembaga sosial itu. Ada dana sosial dari masyarakat (publik) yang digunakan, ada gagasan yang menggerakkan kepedulian dan digunakan untuk membiayai program, proses komunikasinya diaudit, dan program hyang digagas dan dilaksanakan untuk masyarakat sasaran program dikaji dampak dan kemaslahatannya. Secara ringkas, demikian yang seharusnya terjadi dan berlaku di lembaga pemanfaat dana publik. Inilah hakikat filantropi: adalah audit dari pangkal hingga ujungnya. Itulah wujud pertanggungjawaban, sebagaimana pertanggungjawaban kita sebagai hamba Allah yang mendapat mandat berupa panca indera kita, sumberdaya kehidupan berupa harta (sebagai tangible asset), kesanggupan fisik kita (intangible asset). Wallahu a’lam bish-shawwab.