Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan sabit. Katakan,”Itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji.” Bukanlah kebajikan bahwa kamu mendatangi rumah dari punggungnya, sebaliknya kebajikan itu orang yang memelihara diri. Datangilah rumah dari pintu-pintunya, dan peliharalah dirimu di hadapan Allah agarkamu berjaya. (Q. 2:189).
Penafsiran di atas sudah sedemikian jelas. Tetapi kemudian, Al-Baidhawi, dan begitu pula banyak mufasir lain, masih berusaha memahami hubungan antara kalimat “Itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji” dengan pertanyaan mereka tentang bulan yang membesar dan mengecil. Berarti, menurut asumsi para mufasir itu, pertanyaan para sahabat tersebut sebenarnya bukan tentang hikmah. Melainkan, tentunya, tentang sebab – alias ‘mengapa’ bulan itu membesar, mengecil, dan seterusnya.
Lalu Baidhawi sendiri menyatakan bahwa orang-orang itu bertanya tentang sesuatu “yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan diri mereka dan tidak berkaitan dengan ilmu kenabian, sementara mereka meninggalkan pertanyaan tentang hal yang berguna bagi mereka dan yang merupakan kekhasan ilmu kenabian.” Betapapun, kepada mereka lalu disodorkan jawaban di atas itu. Jawaban yang tidak klop betul dengan pertanyaannya itu disengaja sebagai pemberian peringatan kepada para sahabat itu bahwa yang patut bagi mereka sebenarnya menanyakan hal-hal seperti yang diberitahukan itu – bukan tentang bagaimana cara bulan berubah-ubah. (Lih. Baidhawi, 1:221-222).
Dalam bahasa Al-Qasimi, jawaban itu merupakan gaya bijak (uslub hakim) Al-Quran. Yakni menyodorkan kepada penanya sesuatu yang tidak dimintanya sebagai pemberian peringatan bahwa yang disodorkan itu lebih cocok untuk dia dan daripada yang dia tanyakan (Jamaluddin al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, 1:130). Atau yang diinginkan dengan pemberian jawaban itu ialah menyedot perhatian mereka terhadap laku mereka sendiri, yang menggeserkan pertanyaan dari hal yang berfaedah kepada yang sebaliknya, dengan memisalkan mereka seperti orang yang tidak mau menggunakan pintu rumah dan malahan masuk dari belakangnya. Makna bagian ayat itu, kemudian, “tidaklah kebajikan akan diperoleh dengan membalikkan masalah-masalah kamu. Sebaliknya kebajikan adalah kebajikan orang yang memelihara diri dari kecenderungan itu dan tidak membangun jembatan ke arah yang seperti itu.”
Di situ, jadinya, kita sampai kepada pokok ketiga dari ayat ini, yakni arti simbolik ayat. Dengan arti itu maka “Datangilah rumah dari pintunya’ akan bermakna, seperti dituliskan Baidhawi, “hadapilah perkara dari wajahnya.” Dan jangan memutar persoalan sehingga tidak membawa penyelesaian. Dan jangan menghindar. (Lih. Baidhawi, 1:222).
“Datangilah rumah dari pintunya bermakna hadapilah perkara dari wajahnya. Jangan memutar persoalan sehingga tidak membawa penyelesaian, dan jangan menghindar.”
Ini ajaran yang bagus sekali. Dan seakan untuk pertama kalinya sebuah ayat “sejak dari sononya” mempunyai arti konkret dan arti simbolik sekaligus. Paling tidak menurut tangkapan banyak mufasir. Sebab, Baidhawi memang bukan cuma satu-satunya yang bilang begitu, dan juga bukan yang pertama. Hampir 150 tahun sebelumnya Abdul Qasim az-Zamakhsyari (w. 538) menyatakan bahwa bagian ayat itu juga bisa merupakan tamsil untuk tindakan mereka yang mengambil pendekatan yang terbalik dalam mengemukakan soal – bahwa permisalan mereka itu adalah seperti orang yang meninggalkan pintu rumah dan memasukkannya dari punggungnya. Jadi, “Bukanlah kebajikan ihwal kamu itu, bahwa kamu mendekati secara terbalik permasalahan kamu. Sebaliknya kebajikan adalah kebajikan orang yang memelihara diri dari hal itu, menghindarinya dan tidak membangun jembatan ke arah yang sepertinya. “Karena itu, katanya, “Datangilah rumah dari pintu-pintunya” mengandung maksud hadapilah, “dari tempat yang memang di situ mestinya kamu menghadapinya, dan jangan menggeserkan pendekatan.” (Zamakhsyari, 1:240).
Bersambung
Penulis: H. Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Majalah Panjimas, 6-19 Februari 2003).