Lamun sira munggah kaji,
maring Mekah thuke ana apa,
hya Mekah pan tilas bae,
Nabi Ibrahim kruhun,
ingkang yasa kang ponang mesjid,
miwah tilase Ka’bah,
kang arupa watu,
gumantung tanpa canthelan,
apa iku kang sedya sira bekteni,
dadi mangan brahala
Tembang yang didendangkan dalam irama Dandanggula ini adalah petikan dari “Suluk Ling-lung Sunan Kalijaga” Bab IV bait I. Suluk ini dikarang oleh seorang pujangga wanita cucu R.Ng. Ronggowarsito, yaitu Iman Anom, pada tahun 1884M. Jadi lebih 300 tahun setelah masa kehidupan Sunan Kalijaga itu sendiri.
Suluk ini mengisahkan perjalanan batin Sunan Kalijaga dalam menempuh jalan Allah, mencari hakikat menuju makrifat. Hampir sejalan dengan pengembaraan Bima serta dialognya dengan Dewa Ruci (Serat Dewa Ruci), Suluk Ling-lung menceritakan dialog Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir. Sebagaimana ilmu hakikat, mempelajari suluk Ling-Lung tidak bisa hanya berdasarkan kata serta kalimat yang tersurat semata, apalagi sepotong-sepotong, melainkan harus menyelami makna yang tersirat.
Bait di atas misalkan, jika diterjemahkan secara tersurat dan sepenggal itu saja, bisa menimbulkan salah tafsir, seolah-olah melarang pergi haji.
Mari kita coba terjemahkan kurang lebih sebagai berikut :
Jika engkau hendak pergi haji
ke Mekah, apa hasilnya?
bukankah Mekah itu hanya sebuah petilasan (peninggalan sejarah)
dari yang mulia Nabi Ibrahim
yang membangun masjid
serta petilasan yang disebut Ka’bah
yang berupa batu
tergantung tanpa gantungan
apa seperti itu yang hendak engkau sembah
menjadi makan berhala.
Demikianlah, ilmu hakikat mengajarkan, jika kita pergi haji hanya untuk secara lahiriah berkhidmat terhadap bangunan batu yang disebut Ka’bah, maka itu tak ubahnya bagai menyembah berhala. Jika kita pergi ke Mekah tanpa menyelami makna dan hakikatnya, maka itu justru tak lebih dari sekedar berpesiar mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
Hal itu sejalan dengan faham di kalangan penganut tasawuf, yang berpendapat, dengan menunaikan ibadah haji dan bertawaf mengelilingi Ka’bah, diharapkan kita bisa membangun Ka’bah yang sejati di dalam diri kita. Hakikat dari Ka’bah bukanlah bangunan batu sebagaimana yang kita kenal selama ini di Mekah, melainkan rumah Allah yang ada di hati setiap manusia. (Mark R.Woodward, Islam Jawa, LKiS 1999).
Mengunjungi rumah Allah di Tanah Suci, adalah juga untuk mengingat kembali serta merenungkan tujuan Gusti Allah menciptakan kita, sekaligus memperbarui ikrar kita menjelang ruh kita ditiupkan ke janin, yaitu sebagai khalifah fil ard, sebagai pengemban amanah Allah di muka bumi, guna menegakkan rahmat bagi alam semesta dan segenap isinya, dengan senantiasa taat kepada Gusti Allah dan Rasulullah dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Karena itu tujuan utama pergi haji bukanlah untuk mencari surga, melainkan memperbaiki ikrar keberhambaan dan meningkatkan amal saleh.
Pendek, namun luas maknanya. Mudah diucapkan, namun tidak mudah mewujudkannya. Amar ma’ruf, banyak orang termasuk anak kecil bisa melakukan. Namun mencegah apalagi melawan kemungkaran, tak banyak orang yang mampu melaksanakan. Padahal dalam kaidah fikih, mencegah keburukan ataupun kemungkaran itu harus lebih diutamakan dibanding mengerjakan kebaikan. Mencegah keburukan itu sendiri, pada hakikatnya adalah juga mengerjakan kebaikan. Oleh sebab itu pula orang yang dianggap sukses menunaikan ibadah haji disebut haji mabrur, yakni perilakunya berubah menjadi atau semakin baik, sesuai dengan ikrar yang baru diperbaruinya. Dan bukan karena ia telah berhasil mencium hajar aswad, atau pun melempar dengan telak simbol setan “tiang jumrah” di Mina.
Dengan ukuran, makna dan hakikat itu, maka kita bisa menilai seperti apatah haji kita?
Sahabatku, marilah kita senantiasa bertekad dan berusaha memahami makna serta hakikat dalam menghadapi sesuatu, khususnya dalam menempuh jalan Allah, termasuk menunaikan ibadah haji.
Semoga.
Sumber: Orang Jawa Mencari Gusti Allah