Pada 1997 Syafii diangkat menjadi guru besar dalam bidang filsafat sejarah pada Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial IKIP Yogyakarta. Dalam pidato pengukuhannya pada 4 Januari 1997 berjudul “Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama” ia antara lain menyatakan, mengapa kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia? Persoalannya karena alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya. Ia diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Kemudian turunlah wahyu untuk menolong otak dan persepsi manusia guna memahami fenomena ini. Dan wahyu menyatakan, bahwa alam semesta ini punya awal dan punya ujung. Manusia sendiri tidak bisa mengatakan kapan titik akhir itu menjadi kenyataan. Yang jelas, seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an, seperti dikutip Syafii dalam pidatonya itu, “Segala yang ada di atasnya (bumi dan alam semesta) akan binasa. Tetapi wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan akan abadi.” (Qur’an, surah Ar-Rahman, 26-27).
Lebih jauh Syafii mengungkapkan, bahwa dalam peradaban modern yang sekuler ini, gagasan besar tentang Tuhan sudah lama tertindas sejak 300 tahun yang lalu. Implikasinya, dalam tatanan global dunia cukup dahsyat, khususnya pada sikap moral manusia. “Ukuran baik dan buruk menjadi sangat relatif, konsep moral menjadi situasional, tergantung kepada kepentingan. Sedangkan pada dataran individual, otak sekuler tidak lagi mampu mengintai dan memantau wajah Tuhan pada pergantian siang dan malam, pada perputaran musim, pada kicau murai di pagi hari dan selanjutnya. Otak ini, kata Syafii, hanya menawarkan jawaban misterius, by chance, semua serba kebetulan. Semuanya tidak menunjuk kepada sesuatu di seberang fenomena, sangat kontras dengan jawaban yang diberikan Al-Qur’an, “Ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (Surah Al-Baqarah 115). Di ujung pidatonya Syafii Maarif mengatakan bahwa,
“Agama pada tingkatannya yang murni dan agung menawarkan keamanan ontologis dan sebuah fondasi spiritual yang kokoh kepada sejarah dan filsafat. Wacana sejarah dan filsafat di atas fondasi religius akan memberikan dimensi baru bagi kita dalam cara memandang dunia dan peradaban. Kita rindu melihat lahirnya sebuah peradaban dengan wajah asri, anggun, dan adil, sesuatu yang tak dapat ditawarkan oleh peradaban sekuler. Kerinduan ini adalah kerinduan perenial, kerinduan abadi semua umat manusia.”
Mulai Dikenal di Daerah-daerah
Pada tahun 1985 Syafii diminta Amien Rais aktif di Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Meski pernah dikirim ke Lombok sebagai anak panah Muhammadiyah, dia merasa perlu menyegarkan diri kembali. Tapi sebagai alumnus Mu’allimin dia mengaku tidak sulit untuk menyesuaikan dengan majelis yang menjadi ujung tombak Muhammadiyah ini. Majelis Tabligh sebenarnya bukan kiprah pertamanya di lingkungan Pimpinan Pusat. Ketika bekerja di majalah Suara Muhammadiyah dia pun pernah menjadi anggota Majelis Pustaka pimpinan H.A. Basuni yang juga pimpinan majalah. Hanya saja, seperti diakuinya, majelis ini kurang aktif dalam menjalankan kegiatannya. Bandingkan dengan aktivitas Majelis Tabligh yang setiap pekan mengadakan rapat rutin. Ketika berkiprah di Majelis Tabligh inilah Syafii mulai mengadakan kunjungan ke daerah. Di bawah motor Amien Rais dan Watik Pratiknya, Majelis sangat aktif menjalan misi dakwahnya, bukan hanya secara lisan, tetapi juga penerbitan. Suasana kerja pun menjadi hidup dan menggairahkan, seakan majelis ini PP di dalam PP. Nama Amien Rais pun melambung melalui Majelis Tabligh, sedangkan Syafii Maarif mulai dikenal pula di daerah-daerah.
Benar saja dalam muktamar ke-42 di Yogyakarta, yang secara tragis menyingkirkan nama-nama populer kala itu, seperti seperti Lukman Harun, yang selalu menjadi bintang muktamar dan banyak diburu wartawan, dan Djazman Al-Kindi, yang banyak diberitakan karena berseberangan dengan Lukman, Ahmad Syafii Maarif masuk dalam jajaran PP Muhammadiyah. Yakni nomor 12 dari 13 anggota PP yang terpilih. Di bawahnya alias yang menempati nomor urut 13 adalah ketua terlama PP A.R. Fachruddin yang tidak bersedia lagi jadi ketua. Yang menggantikan posisi Pak A.R. adalah KH Ahmad Azhar Basyir, guru besar filsafat Islam Universitas Gadjah Mada.
Padahal beberapa bulan sebelum muktamar Syafii sudah bertolak ke Malaysia untuk mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia. Syafii mendapat kontrak dua tahun (1990-1992) untuk mengajar di universitas itu. “Sekalipun berada pada angka 12, aku sudah masuk ke dalam jajaran PP Muhammadiyah, sebuah posisi yang tidak selalu mudah dimasuki oleh kader persyarikatan,” kata Syafii dalam otobiografinya.
Kegiatan mengajar di negeri jiran jelas tidak memungkinkan lulusan Chicago ini aktif di PP, dia diberi posisi bendahara, sedangkan seumur-umur dia belum pernah terlibat urusan keuangan organisasi. Posisi ini diberikan kepada Syafii karena fungsi bendahara sehari-hari bisa dijalankan bagian keuangan, tidak tergantung kepada bendahara PP. Sampai dia kembali dari Malaysia, Syafii menjadi bendahara simbol belaka.
Pihak UKM sebenarnya ingin memperpanjang kontrak, tapi Syafii akhirnya memutuskan untuk pulang ke Tanah Air dan kembali memperkuat barisan Muhammadiyah. Sebelumnya ia memang ditelepon Ahmad Watik Pratiknya untuk dijadikan salah seorang wakil Amirul Hajj. Istrinya juga akan turut. Kebetulan pula mereka belum menunaikan rukun Islam ke-5 ini. Maka tidak ada cara lain kecuali pulang ke Tanah Air, dengan tidak memperpanjang kontrak di UKM, walaupun pihak universitas dengan serius terus mendesaknya. Menurut Syafii, setelah beberapa bulan aktif di PP Muhammadiyah, ternyata amanat yang diberikan muktamar kepadanya tidak ringan. Tetapi belum lagi setahun aktif di PP, Syafii mendapat tawaran dari Menteri Agama Munawir Sjadazali untuk mengajar di Universitas McGill, Kanada, selama dua semester, antara tahun 1993-1994.

Meski diliputi perasaan tidak enak kepada koleganya, Syafii ditemani istrinya berangkat juga ke Kanada, untuk memberi kuliah masalah-masalah keislaman, termasuk Islam di Indonesia. Boleh jadi Syafii merasa kurang elok menolak tawaran Munawir. “Hubunganku dengan Pak Munawir demikian akrabnya. Jauh sebelum tawaran ke Kanada itu, melalui jasa Pak Munawir pula sebuah masjid YAMP (Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila) didirikan di perumahan Nogotirto Elok Yogyakarta. Masjid ini diresmikan 8 September 1989 oleh Pak Munawir sendiri sebagai wakil yayasan yang didirikan Presiden Soeharto itu,” katanya. Pendapat Syafii terhadap eksistensi yayasan ini boleh dibilang positif. Dia menyatakan dalam otobiografinya,
“Dana yayasan ini berasal dari potongan gaji pegawai negeri yang beragama Islam, setiap bulan, tidak terasa. Kabarnya sudah hampir 1.000 masjid yang didirikan YAMP ini sampai tahun 2005, sekalipun dana yang masuk dari pegawai sudah dihentikan sejak turunnya Soeharto. Sebenarnya gagasan ini cukup mulia, tetapi karena serba sifat Soeharto akhirnya dihentikan. Sulit bangsa Indonesia berpikir dialektik. Seharusnya yang baik dan positif diteruskan, sekalipun rezim telah berganti, suasana telah berubah.”
Bersambung