Pada 1952 pemerintah mengeluarkan UU No. 19 yang pada dasarnya sama dengan UU No. 35 tahun 1949, di mana pejabat sipil boleh menyebut beberapa nama istri (tapi tidak boleh lebih dari empat) untuk memperoleh uang pensiun suaminya. Pada masa pemerintahan kolonial, seorang pejabat hanya boleh mendaftarkan satu istrinya yang sah untuk memperoleh uang pensiun suaminya – dan otomatis anak-anaknya. Organisasi-organisasi Islam menyetujui, sementara organisasi perempuan yang bertemu di Bandung pada November 1952 untuk Kongres Wanita Indonesia sepakat menolaknya. Mereka menilai bahwa undang-undang ini membenarkan poligami. Memasuki tahun 1953 pemerintah belum juga mau mencabutnya Muncul berbagai demonstrasi yang mendesak agar UU tersebut dicabut. Tapi pemerintah merasa belum saatnya menarik, dan pada Februari baru bersedia membicarakannya dengan organisasi-organisasi yang mendukung (Muslimat Masyumi, Muslimat NU dan GPII Putri) serta kelompok-kelompok yang menentang.
Akan tetapi, di tengah-tengah usaha memperjuangkan undang-undang perkawinan anti- poligami tersebut, gerakan kaum perempuan mendapat tamparan menyusul kabar perkawinan Presiden Soekarno dengan Nyonya Hartini pada Juni 1954. Mereka kecewa dengan Presiden. Bukankah Soekarno dulu yang mengilhami kongres-kongres perempuan dengan sikap yang ditunjukkannya pada masa kolonial? Bukankah pula dia yang mengajar perempuan secara khusus setiap akhir pekan pada masa revolusi di Yogyakarta? Bukankah juga dia menulis Sarinah pada tahun 1947, di mana pada penutup bukunya itu dia menulis “……Dalam masyarakat ini kalian akan bahagia; kalian akan menjadi perempuan merdeka”?
Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno menyatakan: “Tepat di tengah menghangatnya masalah ini, presiden mereka menikahi istrinya yang kedua. Timbul kehebohan. Para perempuan itu, yang merasa kuatir kedudukan istana, mengadakan protes. Sikap militan mereka membuat aku menderita, terutama ketika koran-koran terus menyerangku. Kalau demonstrasi ini dilakukan untuk menentang kebijaksanaan Negara, aku dapat segera mengambil tindakan. Tetapi meski situasinya membuat aku menghadapi kesulitan dan menimbulkan kemarahanku, demonstrasi ini ditujukan kepada pribadiku. Karena itu aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak menyuruh mereka supaya tutup mulut, tetapi aku berusaha, misalnya, untuk menahan perasaan supaya tidak melukai hati mereka selanjutnya.”
Tapi mengapa Bung Karno mengawini Hartini? Apakah dia tidak menyadari bahwa hal itu akan menimbulkan protes dari kaum sebagian kaum perempuan? Dia berkata: “Alasannya sederhana saja. Alasan pokok yang telah berlangsung sejak zaman dulu dan akan tetap berlangsung terus setelah aku tiada lagi: Aku bertemu dengannya. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan begitulah yang terjadi. Tidak lebih dari itu.” Setelah perkawinannya yang kedua ini, Bung Karno menikah lagi dengan beberapa perempuan, di antaranya dengan perempuan asal Jepang yang kemudian dikenal dengan Ny. Dewi Soekarno.
Menurut Soekarno, istrinya Fatmawati marah sekali atas perkawinannya itu. “Seharusnya dia tidak perlu marah. Istriku yang pertama dan kedua ini adalah penganut Islam yang saleh, yang mengetahui benar hukum-hukum agama kami. Dan mereka mengerti. Atau, bagaimanapun, seharusnya mengerti. Tetapi Fatmawati memutuskan pergi dari istana. Itu adalah pilihannya sendiri. Bukan aku,” ujar Bung Karno. Meski memiliki kehidupan masing-masing, Bung Karno tidak menceraikan Fatmawati. “Aku masih menjadi suaminya dan aku menyokong penghidupannya, bukan negara.”
Firasat Menteri Agama
Bung Karno mencapai puncak ketenarannya ketika dia berhasil merebut Irian Barat, melalui konfrontasi bersenjata dan diplomasi. Pada 1964 Bung Karno berkunjung ke provinsi terbesar itu menumpang kapal perang RI, didampingi antara lain oleh Panglima Angkatan Darat Mayjen Ahmad Yani dan Panglima Mandala Mayjen Soeharto. Untuk merayakan kemenangan itu di Jakarta Bung Karno juga mengadakan pesta kecil. Hadir pada jamuan makan siang yang berlangsung di sebuah rumah di Jl Gatot Subroto itu (tempat yang kemudian dijadikan sebuah rumah tahanan bagi Bung Karno pada akhir hayatnya, kini Museum Satria Mandala) antara lain Dr, Subandrio, Chairul Saleh, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Saifuddin Zuhri, dan seorang perempuan muda yang cantik.
Usai pesta, Saifuddin ditahan Bung Karno, sementara tamu lain dipersilahkan pulang kecuali cewek tadi. Menteri Agama Saifuddin Zuhri sudah punya firasat: pasti Bung Karno akan memintanya untuk dikawinkan dengan wanita yang belakangan diketahuinya sebagai Ratna Sari Dewi asal Jepang. Dia pun minta bertemu empat mata dengan Bung Karno.
“Mengapa mesti nikah lagi?” tanya Saifuddin.
“Saya amat cinta kepadanya demikian pula dia kepada saya. Tolonglah, Saudara nikahkan kami”, Bung Karno menjawab seraya memegangi tangan Saifuddin.
“Lha sampai kapan lagi mesti begini?
“Kalau saya tidak nikahi dia, saya takut sekali akibatnya. Dia bakal tidak kuat menderita, dan saya khawatir timbul akibat lebih buruk………”
“Apakah tugas seorang Menteri Agama memang untuk menikh-nikahkan presidennya?”
Toh untuk menghindari konflik dengan presiden, Saifuddin Zuhri akhirnya memenuhi permintaan Bung Karno. Maka siang itu, disaksikan beberapa orang staf Istana, “aku nikahkan Bung Karno dengan Ratna Sari Dewi, dengan mas kawin Rp5,” Saifuddin mengenang. Upacaranya berlangsung sederhana. Pada kesempatan itu kiai NU kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, ini menasihati Dewi (kini lebih dikenal sebagi selebriti dunia dan sering muncul dalam pesta-pesta ekstravaganza) agar menjadi seorang Islam yang baik, dengan mempelajarinya setapak demi setapak. Bung Karno juga dinasihati, terutama mengenai urusan wanita.
Itu yang kedua Saifuddin mengawinkan Bung Karno. Yang pertama kejadiannya pada 1963. Waktu itu Saifuddin minta abolisi kepada Bung Karno untuk Wahib Wahab, anak Rois Aam PB NU KH.A Wahab Chasbullah. Tujuannya untuk melepaskan derita batin Kiai Wahab yang gelisah setelah membaca surat kabar bahawa anaknya itu, setelah divonis oleh pengadilan dengan membayar denda sekarang dikenakan tuduhan baru oleh jaksa. Bung Karno memenuhi permintaan itu. Hanya ada buntutnya.
“Tolong nikahkan saya.”
“Nikahkan? Saifuddin setengah tak percaya.
“Ya nikahkan saya dengan Haryati. Saya harus nikah dengannya. Saya tak mau berbuat serong.” Belum ada jawaban.
“Maukah?” Bung Karno terus mendesak.
“Kapan?
“Nanti, Saudara akan diberi tahu.”
Dalam perjalanan pulang. Saifuddin masih masygul. Dia teringat peristiwa pernikahan Bung Karno dengan Hartini 10 tahun lalu. Peristiwa perkawinan itu mendapat reaksi begitu dahsyat dari kaum wanita, kaum politikus, dan dari berbagai surat kabar. Namun, Bung Karno jalan terus sampai akhirnya gelombang reaksi itu surut.

Tapi lantaran Saifuddin sudah siap menolong karena dia sudah ditolong, dan berbagai pertimbangan politis lainnya, dia pun mengabulkan permintaan Bung Karno. “Maka pada suatu hari, juga pada 1963, lepas magrib, aku sebagai wali hakim menikahkan Bung Karno dengan Nona Haryati, dengan para saksi beberapa staf ajudan. Upacaranya sangat sederhana, mengambil tempat di salah satu paviliun Istana Merdeka. Aku mempergunakan kesempatan untuk memberi nasihat kepada Bung Karno sebagai seorang suami tentang kewajibannya melindungi dan memuliakan martabat kaum wanita,” tulis Saifuddin Zuhri (wafat 25 Febuari 1986) dalam biografinya Berangkat dari Pesantren.