Ads
Uncategorized

Pembangunan Pancasilais Dari Masa ke Masa(2) : Mengentaskan Kemiskinan Tanpa Bicara SARA

Avatar photo
Ditulis oleh B.Wiwoho

Menyambut Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945:

Acuan perubahan besar dalam strategi pembangunan pasca kerusuhan besar yang dikenal sebagai “Peristiwa Malari 1974”,  tiada lain adalah Pancasila, yang merupakan dasar filsafat negara yang mengandung nilai-nilai dasar ketuhanan yang mengajarkan keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Kelima sila itu menjadi acuan serta diperjuangkan menjadi pondasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sekaligus menjadi cita-cita yang harus  terus-menerus diwujudkan mengikuti perkembangan zaman.

Dalam sejarah pasca kemerdekaan tahun 1945 kita mencatat timbulnya pergolakan bangsa yang cukup besar yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan ekstrem kiri dalam hal ini komunisme — berupa Peristiwa Madiun 1948 dan G30S – PKI 1965, serta gerakan ekstrem kanan berupa pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta. Sementara itu teknologi yang berkembang amat pesat di negara-negara maju pasca Perang Dunia II,  menunjukkan tanda-tanda akan menjadi semakin mengecilnya “jarak dan waktu” antar negara. Kecenderungan terjadinya globalisasi gelombang kedua semakin menguat  bahkan sudah di depan mata – kini sudah terbukti. Selain itu, di beberapa negara berkembang, muncul gerakan-gerakan radikalisme, yang meski latar belakang kemunculannya sangat debatebel, namun pergerakannya mengkuatirkan terutama bagi negara-negara yang multi ras, agama atau mazhab agama dan terutama negeri kepulauan seperti Indonesia.

Sekadar pengingat,  gelombang globalisasi pertama terjadi sebagai dampak Revolusi Industri II  tahun 1870 yang ditandai dengan teknologi industri massal sehingga terbangun perekonomian yang terbuka terhadap aliran-aliran barang, jasa, modal dan bisnis dari berbagai negara ,yang kemudian mengintegrasikan pasar-pasar  secara global, mendunia.

Pancasila Sebagai Asas dan Acuan Strategi

Demi mengantisipasi perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia serta kemungkinannya merambah ke Indonesia, maka dalam rangka menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara 1978 – 1981, upaya untuk mengintegrasikan butir-butir strategi pembangunan dalam pengamalan Pancasila, yang didukung oleh ketetapan MPR yang menegaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dilakukan. Pengamalan Pancasila dalam bidang ekonomi dan pembangunan harus didukung oleh stabilitas politik dan keamanan yang juga berasaskan Pancasila.

 Upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan sumber panduan cahaya perjuangan bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan  tidak serta merta  memperoleh dukungan dari masyarakat termasuk dari organisasi-organisasi keagamaan. Maka dalam Sidang MPR tahun 1978, upaya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal ditolak, dan Pemerintah tidak memaksakan untuk voting, melainkan memilih surut dan  menangguhkan.

https://muslimlifefair.com/

Meskipun demikian upaya itu tidak sia-sia sama sekali. MPR membuat  dua ketetapan tentang Pancasila. Pertama, ketetapan no II tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan bukan sebagai asas tunggal. Kedua, ketetapan no IX Tahun 1978, yang mengukuhkan serta menyatakan perlunya penyempurnaan Tap MPR no V tahun 1973, demi menanamkan penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan  yang demokratis konstitusional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kita bisa berdebat tentang cara dan metode pendidikan P4, juga terhadap materinya yang dominan dengan ungkapan-ungkapan Jawa, tapi harus jujur mengakui ada semangat  yang cukup baik. Penulis termasuk dalam golongan tersebut, menolak ikut, padahal sudah masuk daftar untuk ikut penataran gelombang pertama bersama pejabat-pejabat penting di lingkungan Istana dan Bina Graha. Sebagai alasan menghindar, penulis minta alih tugas dari peliputan kegiatan-kegiatan istana dan kepresidenan.

Upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal semakin mendesak tatkala pada akhir 1970-an sampai awal 1980-an, muncul berbagai gejolak keamanan yang ditengarai bercorak ekstrem dan radikal. Sementara itu kesenjangan sosial ekonomi di negeri  maritim dengan 17.500an pulau yang dihuni lebih 300 suku bangsa dan multi agama, juga belum berhasil diatasi sepenuhnya. Agar hal-hal tersebut bisa diredam dan tidak muncul berkelindan apalagi dengan nuansa SARA, maka pada 1982, RUU Asas Tunggal Pancasila kembali digulirkan.

 Lagi-lagi, upaya tersebut  mendapat penolakan dari semua organisasi keagamaan. Namun dengan lobi dan pendekatan yang intensif, akhirnya setelah memakan waktu cukup panjang, pada tanggal 19 Februari tahun 1985 berhasil dibuat UU no.3/1985 tentang Pancasila sebagai asas Partai Politik serta UU no. 8/1985 tanggal 17 Juni 1985 tentang Pancasila sebagai asas Organisasi Kemasyarakatan.

Berbagai tokoh masyarakat dan pemuka agama pada akhirnya justru menyambut baik kedua UU tersebut. Ketua PP Muhammadiyah, A.R. Fachruddin misalkan, dalam sambutan pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Solo 7 Desember 1985 menyatakan,  berasas Pancasila  ibarat peraturan lalulintas yang mewajibkan pengguna helm dalam bersepeda motor. “Menggunakan helm adalah bagian dari ketaatan terhadap peraturan tanpa harus kehilangan identitas dan kepribadiannya.” (B.Wiwoho, buku 2 Tonggak-Tonggak Orde Baru : 83 – 117, 202 – 206, penerbit Elmatera).

Mengenal Program-Program Pro Rakyat.

 Pasca disahkannya UU Pancasila sebagai asas tunggal, situasi politik dan keamanan dalam negeri menjadi cukup kondusif. Sedangkan dalam masalah pembangunan, semakin dimantapkan program-program pelaksanaan dari Pancasila, terutama pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, lebih khusus lagi kesehatan masyarakat, keluarga berencana, pendidikan dan kebudayaan serta suasana kerukunan beragama.

Meski program-program pembangunan pedesaan dan keluarga berencana telah menunjukkan hasil-hasil yang positif, jumlah penduduk miskin masih tetap puluhan juta. Problemnya, bagaimana mengentaskan kemiskinan tanpa bicara masalah SARA. Dengan memahami bahwa mayoritas penduduk terutama lapisan miskin adalah muslim, maka pembangunan ekonomi difokuskan pada kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak dan rakyat miskin (pro poor pro people), yang tentu saja mayoritasnya adalah muslim tanpa bicara soal SARA.

 Maka dilancarkan program-program pengentasan kemiskinan, kebijakan pengembangan sub-kontrakting dalam bisnis dan industri dengan mendorong usaha-usaha besar menjadi bagaikan lokomotif yang menarik gerbong-gerbong usaha menengah – koperasi – usaha kecil, menggunakan 5 % dari keuntungan BUMN sebagai proyek percontohan dan pendorong pertumbuhan ekonomi rakyat khususnya di berbagai pedesaan dan pelosok tanah air; serta menggalang para pengusaha besar membentuk perusahaan-perusahaan sarana ventura di setiap propinsi yang bertugas mengembangkan usaha-usaha kecil dan koperasi di masing-masing propinsi, termasuk membantu ekspor produk-produk mereka khususnya produk-produk ketrampilan, seni dan kerajinan rakyat.

 Demikian pula di bidang pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pemerintah dan BUMN, prioritas diberikan kepada buatan dalam negeri terutama produk dari usaha menengah, koperasi dan usaha kecil.

Berbagai kebijakan pro rakyat sekaligus pemerataan pembangunan ke segenap pelosok tanah air, pada tahun 1990an diperkuat dengan diluncurkannya program Inpres Desa Tertinggal, yang kebetulan dimotori antara lain oleh dua pakar dari UGM yaitu Prof.Dr. Mubyarto dan Dr.Gunawan Sumodiningrat.

Program-program pembangunan pro poor pro people itu memperoleh dukungan kuat dan aktif dari tokoh pembauran Junus Jahja (Lauw Chuan Tho) dan Kristoforus Sindhunata (Ong Tjong Hay), yang sering bersama penulis tampil dalam berbagai kegiatan terkait. Bahkan dalam mensyukuri ulang tahun Junus Jahja yang ke 70, diterbitkanlah buku Pribumi Kuat Kunci Pembauran (editor Riyanto D.Wahono, penerbit Bina Rena Pariwara, 1997), yang menguraikan pandangan dan sikapnya tersebut.

Kelemahan dan Godaan.

 Berbagai kebijakan nasional yang membuat perekonomian selama periode 1988 – 1996, tumbuh rata-rata 7.27% setahun, menjadikan Indonesia sebagai “Macan Asia” yang disegani sekaligus dikuatirkan dan ditakuti negara-negara lain.

Keberhasilan itu meninabobokkan Pemerintah terutama Pimpinan Nasional, yang secara politik telah mengulang kesalahan Presiden Soekarno, yakni memusatkan kekuasaan pada satu tangan, bahkan membuat Presiden selaku Mandataris MPR “berkuasa penuh” atas pengangkatan anggota-anggota lembaga yang akan memberikannya mandat. Pemusatan kekuasaan tersebut juga mendorong ambisi untuk terus-menerus memperpanjang masa berkuasa, tentu saja dengan berbagai dalih. Inilah yang dalam sejarah di berbagai belahan dunia, dikenal sebagai akar serta landasan pembangunan  dinasti dan otoritarian.

Situasi yang seperti itu mendorong semakin berkembangnya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme),  dan kroni-kroni penguasa – pengusaha yang menggangu pelaksanaan strategi serta kebijakan pembangunan, yang sudah diperbaiki menyesuaikan dengan sila-sila dalam Pancasila. Pada buku 1 Tonggak-Tonggak Orde Baru : 219 – 240,  hal itu penulis ibaratkan bagai halaman yang terus disapu sekaligus dikotori. Jika Indonesia diibaratkan sebuah rumah gadang yang memiliki halaman luas, pengurus rumah tangga di rumah nan besar itu terus sibuk menyapu lantai rumah  dan halaman, sementara para penghuninya juga kerap kali memakan kacang dan aneka santapan lainnya, seraya langsung membuang kulit kacang serta berbagai bungkus makanannya ke lantai dan halaman rumah.      Tak pelak lagi, penyimpangan-penyimpangan tadi membangkitkan perlawanan yang berkelindan dengan kejenuhan, yang bertemu dengan krisis moneter dan kekuatiran negara-negara lain atas kemajuan dan kekuatan Indonesia, sehingga memuncak menjadi kerusuhan Mei 1998, yang memacu kejatuhan Presiden Soeharto. (Bersambung: 3 CENGKERAMAN KEKUATAN ASING)

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda