Menyambut Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945:
Masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, ditandai dengan perang ideologi antara dua kelompok. Kelompok pertama adalah Partai Komunis Indonesia beserta para pendukungnya. Sedangkan kelompok kedua, yang berseberangan, adalah penentangnya yang dimotori oleh para budayawan yang tergabung dalam Manifesto Kebudayaan, para wartawan dan politisi yang bergerak dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme serta TNI AD yang antara lain membentuk organisasi-organisasi massa tandingan organ-organ PKI, misalkan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).
Kelompok pertama yang pro komunis, dikenal dengan golongan kiri – yang menyebut dirinya Progresif Revolusioner, Pancasialis Sejati. Lawannya dicap kanan, reaksioner, kontra revolusioner dan anti Pancasila.
Pergolakan dan pembelahan ideologi semenjak Proklamasi Kemerdekaan, dilanjutkan perjuangan Tri Komando Rakyat untuk merebut Irian Barat (Papua Barat) dari cengkeraman Belanda, disambung konfrontasi dengan Malaysia, membuat pembangunan untuk menyejahterakan rakyat menjadi tersisihkan. Akibatnya kehidupan masyarakat sehari-hari sangat berat. Terjadi kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok, dan orang harus mengantri untuk mendapatkannya. Perekonomian nasional ditandai dengan ketidakseimbangan yang amat sangat antara pengeluaran dan penerimaan negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengalami defisit luar biasa. (B.Wiwoho, Tonggak-Tonggak Orde Baru buku 1 : Jatuh Bangun Strategi Pembangunan dan buku 3: Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa).
Di tengah situasi yang seperti itu berlangsung apa yang kita kenal sebagai Peristiwa G30S, yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan munculnya Orde Baru. Orde Baru mengawali pemerintahan dalam suasana kehidupan masyarakat yang sangat berat di tengah laju inflasi yang menggila (650%).

Menurut Frans Seda, secara cepat pemerintahan baru berhasil mengendalikan situasi serta mewujudkan stabilisasi, dengan kemampuannya mengkombinasikan lima aspek yang menjadi modal kekuatan yaitu :
(1) keahlian dalam analisa dan menyusun konsep-konsep operasional;
(2) keberanian moral untuk mengambil keputusan;
(3) konsekuen dalam pelaksanaan;
(4) tim kerja dalam penataan serta
(5) pragmatisme dalam pelaksanaan,
Pemerintah Orde Baru menggariskan kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi politik-keamanan dan ekonomi, yang bertumpu pada stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, yang kemudian dikenal sebagai Trilogi Pembangunan. (Jatuh Bangun Strategi Pembangunan : 81)
Sayangnya, pemerataan yang berfungsi menyejahterakan masyarakat luas, menjadi nomer buntut, karena alasan tak mungkin ada pemerataan jika tidak ada hasil pertumbuhan yang harus di bagi merata. Strategi pertumbuhan dimaksudkan untuk lebih dulu menciptakan kue pertumbuhan, sesudah ada kue yang cukup, baru dilakukan pemerataan, sesuai apa yang dikenal sebagai trickle down effect, strategi menetes ke bawah. Tumbuh makmur dulu baru dibagi secara adil.
Pragmatisme menggiring penganutnya untuk mengutamakan hasil. Walhasil, banyak nyerempet ke sikap tujuan menghalalkan cara. Sejalan dengan itu dibuka berbagai fasilitas penanaman modal asing maupun dalam negeri, yang ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan Multi National Corporation (MNC), yang membawa modal serta melakukan investasi secara besar-besaran dan leluasa di Indonesia akhir 1960an, dengan segala perlakuan istimewanya.
Akibatnya usaha-usaha kecil, industri rakyat, industri rumahtangga nyaris lumat tergilas oleh bisnis dan industri besar MNC. Strategi pertumbuhan yang seperti itu secara cepat dan kasat mata mempertontonkan ketidakadilan di dalam masyarakat, dan bertentangan dengan tata nilai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai gotongroyong dan kebersamaan, dengan pedoman kehidupan antara lain “mangan ora mangan sing penting ngumpul (makan atau tidak yang penting tetap berkumpul bersama)” atau juga “tuno satak bati sanak (tidak apa-apa rugi materi yang penting beruntung menambah persaudaraan)”.
Perdebatan tentang strategi pembangunan berkembang seru dan meluas. Pembangunan yang menganut strategi menetes ke bawah, dianggap muskil. Bahkan dampak yang menonjol dalam keseharian di samping terjadi ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi – sehingga tidak sesuai dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia — adalah mulai maraknya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) serta terjadinya persekongkolan antara kekuatan modal (pengusaha) dengan penguasa. Sementara tumbuh perilaku yang cenderung ke materialis dan mengejar pesona dunia.
Tak kurang dari Proklamator Kemerdekaan Bung Hatta ikut mengkritisi strategi pembangunan yang seperti itu ; dan tak pelak lagi, muncul perlawanan serta gerakan-gerakan masyarakat khususnya para mahasiswa, dengan puncak peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa Malari, 15 -16 Januari 1974.
Pembangunan Untuk Rakyat.
Meskipun marah besar atas peristiwa Malari, Presiden Soeharto mengakomodasi berbagai tuntutan mahasiswa, dengan memperbaiki strategi pembangunan, dengan membalikkan trilogi pembangunan, yang menjadikan masalah pemeratan sebagai prioritas utama.
Urutan trilogi pasca Peristiwa Malari menjadi:
(1) Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat;
(2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
(3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Maka dikeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas sampai di tingkat pedesaan, serta berbagai insentif untuk pengembangan usaha rakyat kecil. Dibuat berbagai proyek pembangunan yang kemudian dikenal sebagai proyek Inpres (Instruksi Presiden). Ada Sekolah Dasar Inpres, ada Inpres Kesehatan dengan pembangunan Puskesmas, ada Inpres Desa untuk pembangunan infrastruktur pedesaan. Juga ada program Kredit Candak Kulak untuk membantu bakul-bakul atau pedagang kecil eceran di pasar tradisional, ada Kredit Usaha Kecil, Kredit Modal Kerja Permanen dan Kredit Investasi Kecil. Demikian pula dikembangkan pola hidup sederhana .
Dalam hal investasi, prioritas diberikan pada sektor-sektor pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan utama masyarakat luas seperti pangan, sandang dan papan, serta ditetapkan jenis-jenis usaha yang hanya boleh untuk usaha kecil, menengah dan koperasi.
Lima tahun berikutnya (1979/1980) langkah-langkah tadi dipertegas dengan kebijakan “ Delapan Jalur Pemerataan” yang terdiri dari:
(1).Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan, sandang dan papan;
(2).Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
(3). Pemerataan pembagian pendapatan;
(4).Pemerataan kesempatan kerja;
(5).Pemerataan kesempatan berusaha;
(6).Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
(7).Pemerataan penyebaran pembangunan di wilayah tanah air;
(8).Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Berbagai program pembangunan bagi kepentingan masyarakat luas itu didukung sejumlah kebijakan yang bertumpu pada semangat dari – oleh dan untuk rakyat, antara lain dengan menggalang gerakan menabung dan perpajakan nasional. Jika sebelum itu masyarakat yang tergolong mampu menyimpan uangnya dalam bentuk emas perhiasan dan menyimpan uangnya di rumah, di dalam bantal, kasur atau tabungan bambu dan tanah liat, kemudian diajak menabung di bank dengan memperkenalkan aneka bentuk tabungan masyarakat yang memikat seperti Tabanas, Taska dan deposito berjangka.
Dalam hal pembiayaan anggaran negara dan pembangunan nasional, agar berakar serta bertumpu kuat di masyarakat, maka UU dan peraturan-peraturan perpajakan yang masih berlaku semenjak zaman penjajahan, pada tahun 1983, diganti total dengan paket UU perpajakan yang baru sama sekali, yang dijiwai semangat pajak dari, oleh dan untuk rakyat. Kebutuhan untuk menggarap masalah perpajakan sebetulnya sudah muncul sejak awal Orde Baru. Namun mengingat pengalaman di tanah air sebelumnya bahkan juga di berbagai negara lain, masalah perpajakan amat peka dan mudah menyulut pergolakan sosial politik serta keamanan, maka baru pada 1983 – setelah 38 tahun kemerdekaan Indonesia — pemerintah dengan secara hati-hati berani menyentuh program perpajakan. Itu pun sesudah melakukan pengkajian yang cukup panjang lagi mendalam, serta melakukan studi banding ke berbagai negara. Program ini dikenal sebagai Reformasi atau Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional.
(Bersambung: Mengentaskan Kemiskinan Tanpa Bicara SARA)