Cakrawala

Mengaji Politik kepada Imam Al-Ghazali

action blur bulb dark
Written by Panji Masyarakat

Tuhan menganugerahi raja, pemimpin,   dengan “kekuatan dan cahaya ilahi” Dengan anugerah yang dimilikinya itu, sang pemimpin  memiliki misi yang sama dengan para nabi yang mendapat wahyu. Yakni  mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana halnya ada paralelisme antara nabi dan raja, antara wahyu dan “anugerah cahaya Ilahi”, Al-Ghazali melihat adanya hubungan simbiotik antara agama dan politik.

Kita mengenal Imam Al-Ghazali terutama lewat  karyanya monumentalnya Ihya Ulumuddin. Kitab yang sampai sekarang tak habis-habisnya dibaca dan dan dipelajari kaum muslimin di seluruh dunia. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (1058 M/450 H – 1111 M/505 H). Ath-Thusi mengacu kepada tempat asalnya, Thus, di Iran sekarang. Sedangkan laqab Asy-Syafi’i di ujung namanya, tak lain merujuk kepada bahwa dia pengikut mazhab Imam Syafi’i.  Meskipun sekarang Al-Ghazali lebih identik dengan tasawuf, ia banyak juga mengupas aspek-aspek ajaran Islam lainnya.  Termasuk siyasah atau politik. Hal ini ia tuangkan antara lain dalam karyanya Siyasat Nameh, Nizam al-Mulk,  dan Nasihat al-Mulk, bahkan dalam Al-Ihya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui pemikiran politik dan negara tokoh yang bergelar Hujjatul Islam ini, serta mengambil relevansinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang.

Al-Ghazali mendukung pendapat yang mewajibkan adanya khilafah atau kepemimpinan negara. Ia lalu merinci penjelasan tentang sifat kepemimpinan dan tugas yang melekat padanya. Ia memiliki pandangan yang khas karena telah berusaha memadukan antara pendekatan filsafat dan rujukan-rujukannya pada ayat-ayat Al-Qur’an.

Dalam kitabnya  Nasihat al-Mulk Al-Ghazali menyatakan, Tuhan telah memilih raja dan menganugerahinya dengan “kekuatan dan cahaya ilahi” (farri-i-Izadi). Dengan anugerah yang dimilikinya itu, raja memiliki misi yang sama dengan para nabi yang mendapat wahyu, yaitu mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana halnya ada paralelisme antara nabi dan raja, antara wahyu dan “anugerah cahaya Ilahi”, Al-Ghazali melihat adanya hubungan simbiotik antara agama dan politik. Bahkan dalam kitabnya Siyasah Nameh ia menyatakan bahwa agama dan kerajaan merupakan dua saudara kembar yang berasal dari ibu yang sama. Karena itu menurut dia raja-raja harus dipatuhi dan diikuti. Hal ini sesuai dengan perintah Allah sebagaimana termaktub dalam Q.S. 5: 49: “Patuhlah kepada Allah, Rasul, dan mereka yang berkuasa di antara kamu.”   

Al-Ghazali memang merujuk Al-Qur’an untuk membangun argumennya mengenai kepatuhan kepada raja atau sultan atau penguasa. Namun demikian, ia tidak menggunakan landasan syariah untuk menjustifikasi realitas  politik yang ada. Hal ini karena ia dipengaruhi oleh pemikiran falsafahnya  yang bersifat metafisik tadi, selain persentuhannya dengan budaya Iran pra-Islam. Hal ini tampak dalam kitabnya Nasihat al-Mulk, yang menyamakan peran raja-raja dan para nabi tadi. Seperti dikatakan Din Syamsuddin (2001), Al-Ghazali tampaknya mengambil posisi tengah-tengah dua titik spektrum. Yakni antara yang menjadikan syariah sebagai sumber utama  dan yang sama sekali tidak menggunakannya sebagai sumber legitimasi politik. Bagi dia, yang terpenting penguasa harus berupaya sejauh mungkin memenuhi kepuasan rakyatnya, tapi jangan bertentangan dengan syariat.    

https://muslimlifefair.com/

Tapi mengapa dalam dua kitabnya itu Al-Ghazali tidak menggunakan imamah atau khilafah, melainkan mulk alias kerajaan? Ini tampaknya tidak terlepas dari konteks atau latar belakang kehidupan sosial politik, yang waktu itu dikuasai oleh sultan-sultan Bani Saljuk. Karena itu ia cenderung menghindar dari pembelaan pelestarian khilafah secara historis. Namun demikian, tak berarti khilafah itu tidak perlu. Ia tetap diperlukan. Hanya saja, pertimbangannya bukan hanya syariah sebagaimana sering dikemukakan para fuqaha, ulama fikih,  sebelum dia. Melainkan juga atas pertimbangan rasional-filosofis. Oleh karena itu pula, yang terpenting bagi Al-Ghazali adalah mengetahui kewajiban praktis dari penguasa dan menyediakan ajaran-ajaran moral untuk diterapkan dalam kehidupan politik.  

Secara teknis, kaum Muslim yang bersepakat memberi wewenang pada lembaga kekhalifahan mengacu pada persetujuan (konsensus) atau ijmak  para sahabat Nabi SAW di Madinah  untuk mendirikan “kekhalifahan”. Para penerus kepemimpinan Rasulullah ini disebut “Khulafaur Rasyidin”, yang mengacu kepada Khalifah yang Empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Ungkapan “konsensus umat” bisa ambigu karena bisa memasukkan konsensus generasi yang lain. Namun, konsensus ini  sebenarnya bukan proses legislasi, tetapi hanya sebuah bukti bahwa apa yang telah disetujui oleh masyarakat sebenarnya diatur dalam syariah. Dengan begitu, terlepas dari rincian hukumnya, Al-Ghazali menyodorkan tawaran bahwa otoritas lembaga kekhalifahan berasal dari “kesepakatan” kaum muslimin. Dalam perilaku politik modern, hal ini tak ubahnya seperti “demokrasi” saja.

Pada saat Al-Ghazali mengajukan teori politiknya itu, konsensus atau  ijmak mengenai khilafah umat dianggap sebagai sumber syariat. Karena sudah menjadi ijmak, maka hal  itu harus diteruskan. Meskipun  disadari  pula bahwa hal itu merupakan prinsip yang dinamis yang mengungkapkan kesinambungan historis komunitas-komunitas Islam. Berbeda dengan para fuqaha Sunni umumnya yang pemikiran politiknya didasarkan atas syariah dan praktik masyarakat muslim awal, pemikiran politik Al-Ghazali itu lebih mengedepankan kewajiban-kewajiban moral politik biasa yang didasarkan atas tuntutan politik praktis.

Namun demikian, seperti telah ditegaskan, Al-Ghazali termasuk di antara ulama yang mewajibkan adanya pemimpin di tengah umat. Dan ia menginginkan berdiri tegaknya suatu kekhalifahan, meskipun hal itu bukan merupakan kesinambungan khilafah historis. Dan basis dari dua hal itu adalah kebutuhan logis dan konsensus masyarakat. Hal-hal terkait dengan pandangannya atas syariat atau hukum Islam yang mengatur tata laksana pemerintahan di dalamnya adalah variabel berikutnya yang memang mesti dirumuskan sesuai dengan kegunaannya bagi rakyat.

Sebagai seorang yang beriman, Al-Ghazali juga menegaskan pendapat politiknya dengan mempertanyakan: apa yang akan terjadi dengan semua fenomena agama, sosial, ekonomi dan politik yang diatur oleh syariah jika tidak ada khilafah? Menurutnya, tanpa keberadaan kekhalifahan maka tidak akan ada penilaian hukum seorang qadi, hakim,  tidak ada kontrak, tidak ada wasiat yang sah dan seterusnya. Dalam hal ini, Ghazali berarti mengakui bahwa kekuatan para qadi dan pejabat pemerintah berasal dari khalifah. Implikasi lainnya bahwa secara teori, pemerintahan Islam cenderung terpusat pada kekuasaan si khalifah. Wewenang yang dimiliki setiap individu qadi sepenuhnya berasal dari khalifah, dan bukan dari tugas yang ia lakukan, seperti halnya kasus otoritas si khalifah itu sendiri.

Secara teoretis Al-Ghazali menyifati kekhalifahan yang ditawarkan dengan: (a) Kekhalifahan memahami kekuatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pemeliharaan ketertiban. (b) Kekhalifahan mewakili atau melambangkan kesatuan kolektif umat muslim dan kontinuitas historisnya. (c) Khalifah memperoleh otoritas fungsional dan institusionalnya dari syariah di masyarakat serta simbol bimbingan Ilahi dari masyarakat berdasarkan kepatuhannya terhadap syariah. Untuk seorang khalifah, Imam Ghazali tampak tak berbeda dengan Al-Mawardi dalam memberikan kualifikasi. Seperti, harus tanpa cacat fisik maupun mental; harus terhormat, cakap, berani, bijaksana dan seterusnya.

Bukankah ini pula pemimpin dan kepemimpinan  yang kita inginkan sekarang?

Penulis : Arsul Sani, Wakil Ketua MPR-RI 2019-2024, Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda