Aktualita

24 Tahun Reformasi (1) KH Ali Yafie : Reformasi Tak Sesuai Tuntutan dan Semaunya Sendiri

Avatar photo
Written by B.Wiwoho

Enam tuntutan Reformasi yang digelorakan masyarakat Mei 1998 telah “memaksa” Presiden Soeharto untuk lengser keprabon, mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Kini Reformasi telah berusia 24 tahun, jika diibaratkan bayi manusia, ia sudah tumbuh menjadi orang dewasa yang produktif dan patut dibanggakan. Tapi benarkah demikian? Apakah Reformasi itu sudah sesuai tuntutan. Tokoh penting yang secara terbuka menyampaikan agar pak Harto mengundurkan diri, yaitu Prof.K.H.Ali Yafie, menyatakan: tidak.

Senin malam tanggal 18 Mei 1998, Kyai Ali Yafie menerima telpon dari Probosutedjo, memberitahu Selasa jam sembilan pagi 19 Mei 1998, Pak Harto ingin bertemu dengannya beserta sejumlah tokoh lain. Untuk itu pagi-pagi Pak Probo akan menjemput Pak Kyai dan mengantar ke Istana.

Begitulah, Selasa bakda subuh, Kyai Ali Yafie sudah siap dijemput oleh Probosutedjo, singgah sarapan pagi di rumahnya baru kemudian di antar ke Istana, tiba pukul 08.45.

Ulama sepuh ini, mengisahkan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan 9 ulama yang dimulai pukul 09.00 di ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta. Presiden Soeharto mengatakan, “Silahkan bapak-bapak, saya mengundang ke sini untuk mendengar bapak-bapak semua. Saya ingin tahu pandangan bapak-bapak tentang situasi. Bicara apa adanya saja, apa pendapat anda. Saya jamin tidak akan terjadi… apa namanya… jangan takut.” Kisah ini diungkapkan ekslusif dalam buku 3 trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru,  Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa, karya Pemimpin Umum Panji Masyarakat, B.Wiwoho.

Pak Harto menurut Kyai Ali Yafie, memberikan isyarat kepadanya yang duduk di sebelah kanan Nurcholish Majid, tapi Pak Kyai memberitahu Cak Nur yang lain dulu, nanti ia yang terakhir. Maka para ulama berbicara menggambarkan situasi yang terjadi, termasuk tuntutan reformasi yang pada hari-hari itu dikumandangkan para demonstran yang menduduki gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998.

Adapun yang dimaksud reformasi adalah, pertama, tegakkan supremasi hukum. Kedua, pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketiga, mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Keempat, amandemen konstitusi terutama yang membatasi jabatan presiden. Kelima pencabutan dwifungsi ABRI, dan yang terakhir atau keenam adalah, pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya..

Tiba gilirannya sebagai pembicara terakhir, Kyai Ali Yafie menyampaikan rasa syukur atas pembicaraan  yang berlangsung di Istana dalam suasana terbuka satu sama lain, dan akrab. Pengertian reformasi, katanya, ada dua. Pertama sebagaimana tadi sudah banyak disinggung pembicara lain, termasuk yang juga sudah berjalan dari dulu terutama dalam setiap Sidang Umum MPR dengan meninjau dan memperbarui GBHN. Intinya perubahan sistem. Kedua, menurut masyarakat dan mahasiswa yang berdemo dan menduduki  DPR/MPR, pengertiannya cuma satu yaitu Presiden harus mundur.

Soal Pak Harto harus mundur, Kyai Ali Yafie mengatakan: “Ini mungkin sangat pahit bagi Pak Harto,” tapi Pak Harto menjawab, “Tidak, tidak pahit, saya sudah kapok jadi presiden.”  Pak Harto dengan tenang menambahkan, “Saya paham Kyai, saya paham. Cuma saya tidak mau ini inkonstitusional.’

“Kalau begitu mari kita bicarakan, “ ujar Prof Ali Yafie. Soeharto pun setuju dan kemudian memanggil Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk bergabung membahasnya. Lalu berembuglah mereka soal bagaimana caranya supaya tidak inkonstitusional. Ada tentang bagaimana jika dilakukan perombakan kabinet, sesudah itu pelimpahan kekuasaan ke Wakil Presiden, atau membentuk komite reformasi.

Pertemuan yang berlangsung hampir satu setengah jam itu dilanjutkan dengan keterangan pers oleh Presiden Soeharto didampingi para tamu. Prof Kyai Ali Yafie  menuturkan kembali jalannya pertemuan itu melalui dan dicatat oleh kedua puteranya yaitu Helmy Ali dan Badrut Tamam Ali, yang kemudian penulis konfirmasi dalam silaturahmi khusus, bersama Jack  Yanda Z Ishak Phd., 10 Maret 2021.

Presiden mengatakan, akan membentuk Komite Reformasi yang anggota-anggotanya terdiri atas unsur masyarakat, perguruan tinggi dan para pakar. Komite bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli dan UU Antikorupsi sesuai keinginan masyarakat.

Di samping itu Presiden akan melakukan perombakan kabinet yang akan menjadi Kabinet Reformasi. Pak Harto juga berjanji akan mengadakan pemilu secepatnya dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden.

Besoknya, pemberitaan di televisi ramai melaporkan kedatangan tokoh-tokoh agama tersebut. Nurcholish Madjid sebagai juru bicara menyampaikan telah bertemu Soeharto dan menyampaikan perkembangan situasi genting secara, meminjam istilah Nurcholish, “detik per detik.”

“Bahkan Kiai Ali Yafie, ulama dari Sulawesi Selatan, meminta agar Pak Harto turun,” kata Nurcholish. Riwayat di atas senada dengan kesaksikan Malik Fadjar yang juga mengatakan Ali Yafie-lah satu-satunya tokoh yang mengemukakan dengan lugas bahwa demonstrasi mahasiswa 1998 menginginkan Soeharto lengser. “Menurut Malik, para tamu yang lain diam, kecuali Ali Yafie yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa saat itu sebenarnya meminta Soeharto untuk turun,” tulis CNN dalam artikel “Cerita Malik Fadjar Saat Soeharto Merapuh di Ujung Orde Baru”.

“Bisa dipahami ketika yang berani bicara terus terang adalah Ali Yafie. Latar belakang sebagai orang Makassar yang lazim berbicara blak-blakan pasti memengaruhinya. Umur Ali Yafie yang waktu itu sudah 72 tidak memengaruhi sifat bicaranya yang apa adanya, sama seperti ketika ia berseberangan dengan Gus Dur di NU. Meskipun hanya beberapa patah kata, betapa penting dan bersejarah seorang ulama menyatakan Soeharto sebaiknya mundur langsung di depan mukanya. Dua hari kemudian Soeharto benar-benar lengser.” Demikian Hamzah Sahal, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU.

Berita-berita yang mengutip permintaan Kyai Ali Yafie agar Pak Harto mengundurkan diri, belakangan hari menimbulkan isu bahwa Keluarga Pak Harto tidak senang atas hal tersebut.  Bagaimana reaksi Kyai Ali Yafie? “Saya tidak punya beban apa-apa, baik sewaktu menyampaikan atau pun sesudahnya. Saya tidak pernah minta apa-apa kepada Pak Harto.” Seperti sering ia nasihatkan kepada penulis, “Kita apa adanya saja, dan jangan mengada-ada.”

Beberapa bulan kemudian, isu itu dibantah dengan kedatangan Probosutedjo menemui Kyai Ali Yafie di rumahnya pada suatu Minggu siang bulan September 1998. Ia mengaku diutus keluarga besar Soeharto guna menegaskan isu-isu tadi tidak benar. “Tidak ada hal yang membuat keluarga besar Soeharto kecil hati ataupun kecewa,” kata Probosutedjo.

KH Ali Yafie saat jalan-jalan dan mencari udara pagi yang segar di Pantai Ancol

Reformasi Tidak Sesuai Tuntutan

Kini tahun 2022, reformasi sudah berjalan 24 tahun.  Bagaimana menurut penilaian ulama yang dalam nilai-nilai orang Jawa tempo dulu sudah mencapai tingkatan “topo ngrame”, bertapa di tengah keramaian kehidupan sehari-hari itu?

Reformasi sekarang tidak sesuai dengan yang dulu dibicarakan dan diharapkan, jawabnya. Semua maunya sendiri-sendiri. Mestinya ada  semacam panitia atau komite yang merumuskan bagaimana memenuhi tuntutan-tuntutan reformasi, mulai dari Undang-undang sampai mengawasi pelaksanaannya. Bagaimana UU Pemilu, UU Antimonopoli, UU Anti KKN dan lain sebagainya.

Pada hematnya, dua tuntutan yang dikemukakan 9 ulama pada waktu pertemuan dengan Pak Harto 19 Mei 1998 itu, yang satu dipenuhi oleh Pak Harto dengan ia mengundurkan diri dari jabatan Presiden, namun yang satu lagi tidak berhasil mewujudkan perubahan sistem yang disebut dengan reformasi tadi.

Melihat kenyataan itu, lebih-lebih setelah pada tahun 2002 UUD 1945 diamandemen, ulama sepuh kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah 1 September 1926 ini, ikut aktif dalam berbagai kegiatan dan gerakan bersama tokoh-tokoh senior seperti mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Surjadi Soedirdja, Saiful Sulun, Hariman Siregar, Prof.Mubyarto, Prof.Sofian Effendi, Monang Siburian, Lily Wahid, Djoko Moeljono dan  B.Wiwoho, untuk memperjuangkan antara lain agar UUD yang telah diamandemen, dikembalikan ke UUD 1945 Asli, selanjutnya dikaji ulang dan disempurnakan dengan cara adendum. Penyempurnaan harus menjamin agar pasal-pasal dalam batang tubuh UUD, sungguh-sungguh dijiwai oleh Pancasila. Sedangkan cara adendum yang tidak menghapus naskah UUD yang asli, akan dan harus menjamin adanya kesinambungan sejarah perjuangan bangsa. Naskah asli UUD 1945 adalah dokumen historis yang tidak boleh dimusnahkan seperti itu, meskipun pasal-pasalnya terus berkembang melalui adendum demi adendum. Mengapa Pak Kyai aktif memperjuangkan itu, padahal sudah sepuh? “Karena itu yang saya anggap benar. Dan yang benar harus diperjuangkan,” ujarnya. Masya Allah laa quwwata illa billah. (Bersambung ke Presiden Soeharto, Penguasa Yang Ditinggalkan Orang-Orang Dekatnya)


 

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda