Bintang Zaman

Sisi Lain Khalifah Mu’awiyah (3)

Written by Panji Masyarakat

Yazid, anak Mu’awiyah,  disebut manusia paling tidak layak menerima kepemimpinan ayahnya, karena kerjanya hanya berburu.  Suatu sikap yang tidak dianggap pantas. Memang, masih ada yang layak, seperti Abdul Malik bin Marwan. Namun apakah Hasan, putra Ali juga  layak? Apakah ia yang  disebut play boy dengan 100 kali kawin itu lebih baik dari Yazid?

Dalam kitab Tarikh Al Khulafa, Al-Sayuthi bahkan menyebutkan istri Hasan ada 90 dan gundik-gundiknya 100. Ali sendiri konon pernah memperingatkan orang umum, supaya jangan mau mengawinkan anak-anak putri mereka dengan Hasan, (Aqidah Al-Syiah: 90). Penurunan kekhalifahan kepada  Yazid,  oleh ahli-ahli sejarah dipandang “cacat” terbesar dalam kesalahan Mu’awiyah yang sulit dimaafkan. Padahal, Mu’awiyah bertahun-tahun berjuang untuk Yazid, dengan berkeliling meminta persetujuan tokoh-tokoh dan masyarakat. Yang nyata-nyata menolak hanyalah kelompok Hasan. Kelayakan Hasan sendiri menggantikan Ali hanyalah karena dia datang dari keturunan yang mulus. Padahal, masih banyak tokoh lain  yang lebih layak.

Cacat Mu’awiyah, mungkin, karena dia dan para penerusnya, kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tak henti-hentinya mencaci maki Ali di forum-forum hatta dalam khutbah Jumat. Menurut Syalabi, hal itu dilakukan untuk mengukuhkan diri Mu’awiyah dan kekuasaannya, dan untuk mengikis kesan pendewaan ke Ali yang sudah mabuk kepayang. Seperti juga orang-orangnya Ali, yang melakukan hal sama terhadap Mu’awiyah.

Sangat banyak, memang, kekhilafan Muawiyah, bahkan dalam buku-buku bacaan ringan seperti pelajaran muthala’ah untuk anak-anak sekolah, Nampak gambaran Mu’wiyah yang bloon,  gampang diolok-olok orang dusun. Namun, bukankah Mu’awiyah sendiri pernah mengaku terus-terang: “Aku selalu menjaga agar dosaku jangan lebih besar dari kebaikanku, dan kebodohan atau aibku yang tiada aku tutupi jangan lebih banyak dari pengetahuanku. Begitu juga kejahatanku janganlah hendaknya lebih banyak dari kebaikanku.” [Tarikhul  Islam wal Hadhrah al-Islamiyah II]. 

Sudah kepalang divonis sejarah, “Mu’awiyah merampas kekuasaan Ali yang sah”. Padahal, Mu’awiyah tidak berbeda dengan Ali. Ali punya kelebihan, Mu’awiyah punya kebaikan. Ali dipandang lebih alim dari Mu’awiyah, karena dialah anak-anak pertama masuk Islam, dan senantiasa berada di samping Nabi. Karena itu, kesalehannya tidak diragukan, sebagaimana Rasulullah menggelarinya karamallahu wajhah.

Bedanya,  Mu’awiyah masuk Islam “terlambat”. Keterlambatan Mu’awiyah dan Bani Umayah masuk Islam,  di awal mula sering dinilai menjadi alasan yang meragukan keislaman mereka. Padahal, kelak mereka akan bangkit menjadi penyokong Islam yang tangguh, sebagai “penebus keterlambatan mereka” seperti yang mereka nyatakan sendiri. Mu’awiyah masuk Islam saat penaklukan Kota Mekah. Umurnya, saat itu 23 tahun. Rasulullah lalu mendekatinya, dan ingin supaya dia  lebih akrab lagi kepada beliau. Beliau lalu mengangkatnya menjadi salah satu anggota Sidang Penulis Wahyu. Seperti juga Ali, Mu’awiyah banyak meriwayatkan hadis  dari Rasulullah, istri-istri beliau dan para sahabat. Konon, Mu’awiyah termasuk 10 orang yang dijamin Rasulullah masuk surga, mencakup di dalamnya Ali.

Dalam kitab Syubhul A’sya  yang berjilid-jilid, Al-Qalqasyandi mengurai dengan manis bagaimana wajah Ali memelopori kodifikasi tata bahasa Arab (Nahwu, Grammar) dan sistem penulisan tanda baca untuk Al-Qur’an. Abul Aswad yang mendapat titah Ali bagi tugas tersebut, meneruskan tugasnya di bawah titah khalifah sesudahnya, Mu’awiyah. Dengan kecemerlangannya, Mu’awiyah membuat kreasi-kreasi baru aliran-aliran tulisan Arab yang sebelumnya mandek.

Berkali-kali Mu’awiyah turut dalam peperangan. Dialah yang memimpin laskar Islam menaklukkan Sidon, Beirut dan lain-lainnya yang terletak di pantai Damaskus. Sejarah hanya mencatat kegagahan Ali, yang selalu maju membawa bendera dan tukang perang tanding yang paling ditakuti. Khalifah Umar suka kepada Mu’awiyah, karena dia seorang pemimpin berpribadi kuat, jujur dan ahli dalam lapangan politik. Ibnu At-Thabathiba dalam Al-Fakhri fi Adab As-Sulthaniyah wa Ad- Duwal Al- Islamiyah menggambarkan Mu’awiyah sebagai ahli siasat yang cemerlang, pandai mengatur manajemen, cerdas, bijaksana, fasih, baligh, kapan saja siap lapang dada. Mu’awiyah itu dermawan, rela mengorbankan harta, kedermawanannya melebihi kalangan bangsawan rakyatnya.

Bagaimana sikap lapang dada Mu’awiyah yang tak tertandingi terlihat, misalnya, pada kecaman-kecaman pedas bahkan kasar kepadanya, bahkan di depan hidungnya. Mu’awiyah hanya menimpalinya dengan guyonan, bahkan kerap tidak memedulikannya. Mu’awiyah sendiri mengakuinya, “Tak ada yang lebih manis menurut perasaanku daripada menelan marah,” (Tarikh Ath-Thabari IV). Tak heran, kalau banyak simpatisannya, termasuk tokoh-tokoh yang pernah jadi seterunya. Mu’awiyah terkenal pemaaf, dan memberikan hadiah-hadiah kepada orang yang bertamu untuk “menyemprotnya”. Karena alasan itu, berikut kesanggupan memimpin, Abdullah Ibnu Abbas menyimpulkan, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih patut dari Mu’awiyah untuk memegang tampuk kekuasaan dan pimpinan”. Inilah yang membuat Abdul Malik bin Marwan, ketika melewati makam Mua’wiyah mengucapkan “rahimahumullah” berulang-ulang.

Jasa Mu’awiyah dan dinasti Umayah sesudahnya sangat banyak, misalnya pendirian dinasti pos, alat cetak uang, Arabisasi kantor-kantor, organisasi tentara dan lain-lain. Angkatan Laut Bani Umayah sangat dikenal menguasai Lautan, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Portugis.

Tidak bisa kita katakan, Ali lebih benar dari Mu’awiyah atau Mu’awiyah lebih jelek dari Ali. Keduanya memang hidup di tengah prahara yang sulit. Pembaitan Ali adalah tepat, namun kekuasaan Islam yang akhirnya jatuh ke tangan Mu’awiyah lebih tepat lagi, karena sangat menentukan bagi perkembangan Islam selanjutnya. Konflik ini sama sekali bukan karena perbedaan mazhab, melainkan, menurut istilah Jalaluddin Rakhmat yang banyak tahu  tentang Syiah, karena perselisihan interes pribadi. Tugas Ali untuk mendamaikan umat, ternyata juga tidak berhasil. Maka, tidak salah kalau Mu’awiyah juga maju untuk mengambil alih tugas itu.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus “pertengkaran” antara kedua pihak menurut Dr. Mustafa Helmi adalah, bahwa mereka —  sejalan dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – adalah kekasih-kekasih pilihan Allah yang bertakwa seperti yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an maupun sunah Rasul, bahkan lebih dari itu: mereka seluruhnya adalah penghuni surga.

Perang antara Mu’awiyah dan Ali, jelas, tidak seperti digambarkan sebagian orang sebagai Perang Bharatayudha antara Kurawa dan Pandawa untuk mempertandingkan antara kejahatan dan kebaikan. Ali itu sahabat Nabi yang baik, Mu’awiyah pun sahabat Nabi yang baik.

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Majalah Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan  dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga  pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi  Lemka, Sukabumi, Jawa Barat.  Sumber: Panji Masyarakat, 11-20 Desember 1987.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda