Semua yang akan terjadi di tahun itu dituliskan di Lauh Mahfufuzh , dari rezekinya, hujannya, soal hidup maupun mati, sampai-sampai yang akan pergi haji.” Kemudian semua perkara di serahkan kepada empat “manajer” (mudabbiratul umur): Israil, Mikail, Izrail dan Jibril.
Sesungguhnya Kami turunkan dia pada Malam Kemulian. Dari mana kau tahu apakah Malam Kemuliaan? Malam Kemulian lebih bagus dari seribu bulan (Q.97: 1-3).
Itu butir pertama. Butir kedua: apakah arti lailatul qadr itu sebenarnya. Jawab Thabari (op, cit., 259) : “Malam hukum.” Jawab Zamakhsyari: “Malam penakdiran segala hal dan keputusannya” (Zamakhsyari, loc., cit).
Menurut Qurthubi malam itu dihubungkan dengan al-qadr karena Allah membuat takdir-Nya sampai tahun depan. Pengertian “menakdirkan” di situ: menampilkan yang sudah diputuskan di alam azal—bukan penakdiran awal. Kata Ibn Abbas r.a.. “Dituliskan dari Ummil Kitab (Lauh Mahfuzh) semua yang akan terjadi di tahun itu, dari rezekinya, hujannya, soal hidup maupun mati, sampai-sampai yang akan pergi haji.” Kemudian semua perkara di serahkan kepada empat “manajer” (mudabbiratul umur): Israil, Mikail, Izrail dan Jibril (Qurthubi, loc, cit). Al-Burusawi, kemudian menerangkan deskripsi kerja mereka. Soal rezeki, tumbuh-tumbuhan, dan hujan, naskahnya diserahkan kepada Mikail. Yang berisi perang, angin, gempa, geledek, dan gerhana kepada Jibril. Naskah mengenai amal perbuatan, Isragil yang pegang. Sedangkan malaikat maut Izrail, mendapat catatan mengenai musiba ajal (Ruhul Bayan, X, 482).
Butir ketiga adalah pengertian “Malam Kemulian lebih bagus dari seribu bulan”. Thabari meriwayatkan makna ayat itu menurut Mujahid — bahwa” amal ibadah, puasa dan salat malamnya lebih baik dari (yang dilakukan selama seribu bulan”. Tambahan Qatadah: “…..seribu bulan tanpa Lailatulkadar.” Beberapa kisah kemudia menerangkan sebab diturunkannya Lailatulkadar itu. Tetapi yang terhitung kritis adalah yang bersumber dari Al-Hasan ibn Ali r.a. Ia menuturkan Nabi s.a.w., melihat Bani Umaiyah (dinasti ciptaan Muawiah, musuh politik Ali r.a.) di mimbar beliau, dalam mimpi.
Beliau sangat tak suka. Maka turunlah surah “Sesungguhnya Kami sudah memberimu “Al-Kautsar” (Q. 108), yakni bengawan di surga, dan surah Lailatulkadar itu. Al-Qasim ibn al-Fadhl al-Huddani menyatakan menghitung jangka kerajaan Bani Umaiyah. Ternyata, kata dia, “memang seribu bulan, tidak lebih sehari, tidak kurang sehari”. Imam Turmudzi, yang mengeluarkan hadis ini, menuliskan penilainnya: ini ‘hadis gharib (ganjil, hanya ada satu periwayat dalam samad)’ (Qurthubi, op, cit., 131-133).
Tetapi riwayat terakhir itu dipegangi Thabathabai. Bahkan, katanya, “Kenyataan adanya sebagian riwayat dari kalangan Ahlul Bait dan lainnya mengenai sebab turunnya ayat ini bukan tidak menguatkan pendapat mengenai turunnya surah ini di Madinah” — walaupun mayoritas peneliti menyimpulkan Al-Qadr turun di Mekah. Maklum di Mekah belum ada bau-bau Bani Umaiyah. Sejalan dengan itu Thabathabai menghayati pengertian Lailatulkadar sebagai malam yang bukan hanya mulia karena turunnya Alquran, seperti yang diyakini tafsir-tafsir aliran baru (yang juga menganggap turunnya para malaikat, yang akan tersebut dalam ayat 4, juga karena Al-Quran), tetapi karena malam itu “malam misteri” di sekitar takdir, dengan nilai ibadah yang seribu bulan atau banyak sekali kelipatannya (Thabathabai, op, cit., 469-470, 473-474). Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang antara lain menerjemahkan Barjanzi yang dipentaskan Bengkel Teater ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 26 Januari 1998