Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Politisi di Mata  Mahasiswa

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Siapa bilang seorang politisi bukan manusia biasa? Dia bukan saja bisa tertawa – sambil berputar-putar di atas kursi DPR – terbahak-bahak, makan, minum, (bahkan buang air kecil atau besar sekalipun), tetapi juga bisa masygul dan bersedih hati. Itu tanda ia manusia biasa.

Soalnya – yang ini rekaman percakapan saya dengan beberapa mahasiswa di sebuah kedai, di padang tengah malam – ia, sang politisi, suka tidak konsisten. Setelah menghirup teh telor barang sejenak, salah seorang dari mereka berkata: “Seorang PM Inggris pernah berkata, tidak ada kawan yang abadi. Tidak ada musuh yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi”. Kawan ini mungkin seorang mahasiswa politik. Dia hanya ingin mencontohkan bahwa begitulah sifat seorang politisi.

Kita tidak tahu, apakah sikap ini merupakan sikap yang umum yang berkembang dalam masyarakat. Yang agak samar-samar kita ketahui, harga seorang politisi di dalam masyarakat kita, agak sedikit menurun.

Mungkin, ini karena Soekarno tidak berkuasa lagi. Dunia telah berubah. Kekuasaan politik, tidak lagi bisa dicari-pada partai-partai dengan cabang-cabangnya yang tergantung. Tidak juga kepada massa. Kini, partai telah disulap. Dan kekuasaan politik hampir terkonsentrasi pada keterampilan teknokratis, pada sumber-sumber ekonomi dan pada bidang kemiliteran.

Maka, seorang politisi, hanyalah pelengkap – mungkin, tidak sampai pada cap “pelengkap penderitaan”. Pelengkap, dari sesuatu yang belum genap benar.

Tapi, kendati pun hanya pelengkap, apakah sikapnya di atas itu ikut pula berubah?

“Tidak,” kata salah seorang dari mahasiswa itu. “Buktinya, kita banyak melihat para politisi yang “pindah alamat”. Ketika ia merasa tidak beruntung di partai, dia bisa seenaknya pindah ke golongan lain. Meski kita tahu betul, golongan itu yang dulu ditentangnya.”

Jadi, kata kawan kita tadi, benarkah pernyataan PM Inggris itu?

Yang satu ini belum sempat menjawab, karena tiba-tiba, salah seorang yang duduk di situ memperlihatkan kartu Porkasnya. “Saya telah membeli Porkas sejak awal,” ujarnya tanpa ditanya.

“Apakah uda pernah dapat?” Tanya salah seorang diantara kami.

“Belum,” jawabannya. “Tapi saya percaya, suatu saat pasti dapat.”

“Apa enaknya pasang Porkas?”

“Enaknya, jawab si pemasang, “kalau kita hampir kena. Misalnya kemarin, saya pasang B.O.L.A Ternyata yang keluar G.I.L.A. Ini merupakan kenikmatan sendiri.”

Orang itu tersenyum senang dan bangga. Lalu bangkit, membayar makanan dan pergi di keremangan malam.

“Nah, Porkas bisa kita jadikan contoh,” sambung si mahasiswa itu lagi. “Di sini sesungguhnya kualitas seorang politisi bisa diuji. Kalau dia memang berkualitas, dia harus menentang Porkas sejak awal. Sekarang, ketika sudah ada angin baik, baru mereka berbicara.”

“Kalau tidak ada angin baik?” tanya saya.

“Mereka pada tiarap. Cari aman.”

Saya masih merasa lapar. Begitu suap terakhir selesai, saya berteriak, tambuah ciek.

Catatan Redaksi: Porkas,   akronim dari Pekan Olah Raga dan Ketangkasan, merupakan undian berhadiah, dan praktik perjudian dalam bidang olah raga khususnya sepak bola di zaman Orde Baru.     

Sumber: Panji Masyarakat, 11-20 September 1987

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading