Sesungguhnya Kami turunkan dia pada Malam Kemuliaan. Dari mana kau tahu apakah Malam Kemuliaan? Malam Kemuliaan lebih bagus dari seribu bulan (Q.97: 1-3).
Surah Al-Qadr, yang tiga dari lima ayatnya kita terjemahkan di atas, adalah contoh bagus untuk penafsiran yang hampir diametral bertentangan — antara yang dilakukan generasi ulama yang terdahulu dan yang dikerjakan para ulama kontemporer. Dengan mengingat bahwa yang terdahulu itu bukan tidak ada kelanjutannya, bahkan sampai kini, inti perbedaan keduanya adalah ini: pada kalangan pertama, apa yang kita kenal sebagai (Malam) Lailatulkadar (Lailatul Qadr, Malam Kemulian) lebih dihayati sebagai sebuah malam penuh misteri. Bahkan di sana-sini dengan bau “mitologi”. Golongan kedua, sebaliknya, melakukan “demitologisasi” dengan menggantikan hampir seluruh misteri itu dengan persepsi yang lebih bersifat kesejarahan.
Suasana misteri itu melumuri semua tafsir klasik meski dengan perbedaan tebal-tipis. Bahkan juga pada Zamakhsyari (467-538 H), wakil aliran Mu’tazilah yang selalu disebut rasionalis. Setidak-tidaknya ia, seperti semua yang lain, menerangkan turunnya Alquran itu sebagai “seutuhnya”, dan itu terjadi di dunia lain: “dari Lauh Mahfizh ke ‘langit dunia’, dan didiktekan Jibril kepada para malaikat utusan (as-safarah). Kemudian ia menurunkannya kepada Rasulullah s.a.w., dalam bagian-bagian kecil, selama 23 tahun”. Keterangan itu diberikannya hanya dengan ungkapan ruwia (‘diriwayatkan’) sebagai sandaran — tentunya karena penafsiran tersebut sudah diterima umum (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, IV, 273).
Memang bukan tidak ada sandaran yang jelas — yang misalnya bisa didapati pada Thabari (w. 310 H). Ia, yang sendirinya seorang rawi hadis, memindahkan berita yang didapatkannya dari Ibnul Mutsanna, dengan sumber pertama Ibn Abbas r.a., yang menyatakan hal yang sama. “Kemudian”, kata sahabat Nabi itu, “Jika Allah berkehendak menciptakan sesuatu yang baru di bumi, Ia (atau ia, Jibril) menurunkannya dari situ sampai melengkapi keseluruhannya” (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, XV, 258).
Qurthubi (w. 671 H) kemudian menambahkan meski hanya dengan sandaran ungkapan qila (‘dikatakan’, atau ‘konon’) — nama Baitul Izzah sebagai stasiun transit Alquran di ‘langit dunia’ itu (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li-Ahkamil Quran, XX , 130). Berturut-turut, abad demi abad, penafsiran umumnya punya warna yang sama. ‘Langit dunia’ dan Baitul Izzah juga disebut An-Nasafi, w. 701 H (Madarikut Tanzil, II, 370) dan Al-Khazin, w. 725 (Lubabut Ta’wil, IV, 395). ‘Langit dunia’ saja disebut Abu Haiyan, 654-764 H (Bahrul Muhith, VIII, 496), Al-Jalalain (abad ke-9 H), dan Asy-Syaukuni, w. 1250 H (Fathul Qadir, V, 471).
Masuk abad ke-19 Masehi, ulama Banten yang berkarya di Mekah, dan biasa diberi predikat “saiyid (pemimpin) ulama Hijaz’, Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, agak mengejutkan karena menyebut sebuah proses yang sebenarnya berbeda. Yakni, Quran turun “dari Lauh Mahfuzh kepada para penulis malaikat ‘langit dunia’ ke Baitil Izzah di sana, kemudian dibagi-bagi oleh para malaikat utusan kepada Jibril, yang kemudian menurunkannya kepada Nabi s.a.w,…… selama 23 tahun”. (Nawawi Al-Jawi, Al-Tafsirul Munir, II, 456). Enam atau tujuh abad sebelumnya, Qurthubi juga memuat keterangan itu, dari sumber yang disebutnya sebagai Ibn Abbas lewat Al-Mawardi. Tapi mengiringinya dengan komentar Ibnul ‘Arabi “Itu bathil: tidak ada penengah di antara Jibril dan Allah….” (Qurthubi, loc, cit.). Tetapi tafsir bahasa Jawa huruf Arab dari KH Bisyri Musthofa, Al-Ibriz, yang terbit sesudah Kemerdekaan, hanya menuliskan “saking (dari) Lauh Mahfuzh”– tanpa diterangkan ke mana — meski menyatakan Quran turun secara utuh (h.2251).
Yang terakhir itu penting. Soalnya, pasal pertama kontroversi dengan para mufasir kontemporer nanti menyangkut apakah memang Alquran diturunkan seutuhnya dan apakah memang ke “langit dunia”, dan bukan ke bumi. Yang menarik, ke dalam golongan mufasir mutakhir itu tidak termasuk Thabathabai dari kalangan Syi’ah, yang menganggap Quran turun, pada Lailatulkadar itu, “sekaligus” (Husain Thabathabai, Al-Mizan, XX, 469).
Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang antara lain menerjemahkan Barjanzi yang dipentaskan Bengkel Teater ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 26 Januari 1998.