Majalah Panjimas No. 191, menerbitkan sebuah artikel yang diberi judul “Sejarah Gerakan Pembaharuan dan Kelanjutan di Kalimantan”. Artikel tersebut ditulis oleh H. Arsyad Manan. Dalam artikel itu diceritakan tentang awal permulaan lahirnya gerakan pembaruan dan reformisme Islam di Kalimantan yang berawal dari tahun 1913. Dia menyebutkan beberapa tokoh reformis baik dari dalam ataupun luar Indonesia. Di iantaranya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sedangkan yang di Indonesia adalah ayah Hamka, H. Abdul Karim Amrullah, Syekh Surkati, A. Hassan dan KH Ahmad Dahlan.
Dan dalam artikel yang sama dikenalkan dan dituliskan mengenai tokoh awal pembaruan Islam di Kalimantan, yaitu Syekh Thalib bin Mar’ie bin Thalib. Yang dituliskan sebagai “asal pangkalannya” atau sumber asal pergerakan pembaruan tersebut.

Siapakah Syekh Thalib bin Mar’ie bin Thalib
Menurut catatan sejarah yang berasal dari penuturan salah satu putranya, Marie bin Thalib berasal dari Hadhramaut dan tiba pada tahun 1892 di Banjarmasin sebagai seorang pedagang. Waktu itu usianya 45 tahun. Walaupun demikian, sebelum datang ke Banjarmasin, ia merupakan seorang alim yang sudah terperangaruh aliran-aliran pembaruan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Bahkan ketika ia datang ke Banjarmasin, ia datang dengan banyak membawa kitab-kitab agama.
Sebagai seorang pedagang, ia dikenal juga dengan nama Talib Agung. Disebabkan ia mulanya berdagang jual beli gong agung. Pada tahun 1911, dengan beberapa sahabatnya di Banjarmasin, Syekh Thalib memelopori berdirinya sebuah madrasah yang diberi nama Arabische School. Di antara teman-temannya adalah Syekh Bahraisy dan putranya yang tertua, Muhammad bin Thalib. Sekolah ini berlokasi di Kampung Bugis, atau yang dulu dikenal sebagai Kampung Arab, atau Jalan Sulawesi Sekarang.
Pada 1914, sekolah itu mengundang Syekh Ibrahim al-Mulla, seorang ulama Mekkah yang pada waktu itu merupakan buronan Syarif Husin (penguasa Mekah). Ia kemudian didapuk menjadi pemimpin Arabische School. Setelah itu menyusul Syekh Mahmud yang juga menjadi pengajar di sana. Setelah Abdul Aziz menguasai wilayah Mekah/Hijaz, kedua ulama tersebut kembali ke Mekkah dan Syekh Mahmud kemudian menjadi mufti besar di Madinah.
Pada tahun 1915, para pengurus madrasah, termasuk Syekh Thalib, memutuskan salah satu metode pembaruan pendidikan Islam. Yakni dengan menambahkan beberapa mata pelajaran modern selain mata pelajaran tradisional serta mengenalkan penggunaan mejad dan kursi.
Madrasah tersebut berhasil melahirkan banyak sekali alim ulama dan tokoh pembaharuan Islam di Banjarmasin, sebagian besar menjadi tokoh-tokoh besar Muhammadiyah di Kalimantan. Keberhasilan madrasah Arabische School tidak lepas dari kepemimpinan Kepala Sekolah pada waktu itu yaitu Ustadz Saleh Balala. Madrasah tersebut hingga kini masih berdiri kokoh, dan saat ini menjadi Madrasah Al Irsyad.
Pada tahun 1924, Abdul Aziz Al-Atiqy seorang ulama besar yang mewakili pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, didampingi oleh Syekh Ahmad Surkati mengunjungi Banjarmasin dan menginap di rumah Syekh Thalib.
Syekh Thalib bin Mar’ie meninggal dunia pada usia 95 tahun pada tahun 1942, sebagai korban keganasan penjajahan Jepang. Bersama-sama dengan beberapa tokoh pergerakan di Kalimantan, di antaranya Dr. Susilo, saudara Dr. Sutomo. Housman Babu, tokoh pergerakan Suku Dayak, Syekh Nasar Abdat Kapiten Arab Banjarmasin pada waktu itu, Syekh Bahraisy dan beberapa tokoh lainnya.
Masya Allah .. terima kasih sudah menulis sejarah tentang jiddi Syech Thalib.