Sungguh, betapa dalam banyak hal kita terlanjur biasa berpikir dan bertindak instan, tak terkecuali dalam soal-soal yang menyangkut agama. Entah dari mana asal usulnya, tapi yang jelas tanpa sadar kita telah terpola untuk berpikir: bila hari ini kita mengolah tanah, besok kita sudah berharap menuai beras. Hari ini investasi, besok langsung bermimpi menangguk untung. Hari ini bikin partai, besok merasa jadi pemimpin. Dan seterusnya.
Bahkan, rasa-rasanya kita sudah sangat terdidik untuk menomor-sekiankan kualitas proses. Sehingga dalam banyak hal, sering tergoda untuk tak berbeda dengan pelajar atau mahasiswa, yang memilih begadang semalaman pontang-panting mencerna bahan pelajaran selama setengah tahun, hanya karena esoknya akan ada evaluasi belajar; ketimbang memilih menjaga kualitas belajarnya dari hari ke hari misalnya.
Gejala pelajar semacam ini tampaknya sekarang sudah menjelma jadi ritus baru bangsa ini. Orang mulai sibuk bicara tentang penanganan asap, hanya di waktu-waktu asap mulai bertebaran di udara dan mulai mengganggu nafas tetangga. Orang baru ribut soal penanganan banjir, cuma disaat-saat air bah sudah menerjang kemana-mana. Orang mulai pening soal penataan arus mudik, hanya dekat-dekat lebaran.
Setelah momentumnya berlalu, semua orang kembali lupa bahwa harus ada tindakan-tindakan yang secara konsisten dilaksanakan, bila tak ingin masalah yang sama kembali berulang. Bahkan dalam penanganan bencanapun kita bersikap sama, tampak menggebu-gebu di awal, tapi menjadi lemah tak bertenaga begitu harus berlama-lama merekonstruksi infrastruktur kehidupan para korbannya.
Dalam beragamapun tampaknya semangat kita sama sebangun. Karena itu tak mengherankan bila kita bisa tiba-tiba saja rajin beribadah; hanya karena kita menghendaki sesuatu atau karena kita merasa sedang tertimpa musibah. Tapi, celakanya, seringkali setelah kehendak kita terwujud, atau yang kita anggap musibah tersibak; pelan-pelan tapi pasti semua ‘kerajinan ibadah’ kita yang semula menggebu ini, tiba-tiba ikut ketlingsut bersama waktu.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh almaghfurlah KH. Abdullah Salam, seorang wali-sufi dari Kajen-Pati yang semasa hidupnya sangat dihormati kalangan nahdliyin, ketika beliau bicara soal pentingnya kesholehan. Beliau sering menekankan pentingnya ‘memilih menjadi sholeh’ untuk mencapai keselamatan.
Mestinya yang beliau rujuk adalah pengertian dasar sholeh, yaitu: sesuatu yang selalu tumbuh kembang (menjadi lebih baik). Orang sholeh adalah orang yang selalu istiqomah berorientasi menumbuh-kembangkan kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berhenti mengolah dan mengelola dirinya, untuk mencapai kualitas yang lebih baik. Mereka adalah tipe orang yang selalu menanam tanpa pernah membayangkan penuaian.
Dalam konteks mengelola diri inilah, saya teringat pada ta’wil yang ditawarkan Ibn ‘Arabi pada surat Al-Qadr. Oleh Ibn ‘Arabi, lailatul qadr yang biasanya dimaknai sebagai ‘malam kemuliaan’, justru ditafsirkan sebagai ‘tubuh Muhammad’ (al-binyah al-muhammadiyyah). Pertama-tama kita harus tahu bahwa bagi Ibn ‘Arabi, seluruh wujud ini, karena kegelapannya dikiaskan sebagai malam; dan diantara seluruh ‘kegelapan malam’ wujud ini, yang paling mulia adalah Muhammad SAW.
Atau dari sisi lain, kita bisa juga mendekati tema ini seperti ini: para sufi sering memandang bahwa seluruh semesta ini tidak sadar, dan wujud sadarnya adalah manusia. Tingkat kesadaran inipun dianggap bervariasi, dan ditampakkan secara hirarkis.
Pertama-tama oleh orang-orang beriman, lalu orang-orang suci (wali-wali), lalu nabi-nabi, rasul-rasul, lalu ulil azhmi (penghulu para rasul: Nuh alaihi salam, Ibrahim alaihi salam, Musa alaihi salam, Isa alaihi salam dan Muhammad shalallahu alaihi wassalam). Dan, dengan teori Nur Muhammadiyyah (cahaya Muhammad sebagai ciptaan pertama), para sufi menempatkan Muhammad shalallahu alaihi wassalam sebagai penghulu dari para penghulu (ulul azhmi).
Ranah berpikir seperti inilah yang tampaknya dirujuk Ibn ‘Arabi ketika dia bicara tentang malam dan malam yang mulia (lailatul qadr). Dengan demikian, ayat inna anzalnahu fi lailat al-qadr, yang biasa ditafsirkan: sesungguhnya telah kami turunkan (al-Qur’an) pada malam yang mulia. Menurut Ibn ‘Arabi bisa juga dibaca sebagai sebagai: sesungguhnya telah kami turunkan (al-Qur-an) pada ‘tubuh’ Muhammad.
Sehingga pengertiannya, kalau boleh meminjam secara bebas, menyerupai pengertian ‘firman yang menjadi daging’ dalam istilah Injil. Dan memang, secara tradisional beliau sering digambarkan sebagai “Akhlaknya adalah al-Qur’an”.
Sedang ayat lailatul qadri khoiru min alfi syahriin, bagi Ibn ‘Arabi justru di pakai untuk menegaskan ta’wilnya ini. Penjelasannya begini: bila al-Qur’an memakai kata ‘hari-hari Allah’ (QS 14:5) untuk memaksudkan ragam individualitas (asykhash) dari segala sesuatu yang ada, maka tiap spesies (nau’) yang mencakup beberapa individualitas, secara kias dapat juga disebut ‘bulan’.
Sementara kata seribu (alf) adalah bilangan terbesar dalam bahasa Arab klasik, tidak ada bilangan yang lebih besar lagi kecuali dengan mengulang kata seribu itu atau dengan digabungkan dengan kata lain (idhafat), karena itu kata seribu (alf) dalam ayat ini dijadikan kias untuk menunjukkan universalitas.
Jadinya keseluruhan ayat ini, yang biasa ditafsirkan ‘malam yang mulia itu lebih baik dari seribu bulan’; menurut Ibn ‘Arabi bisa juga dibaca: Individu atau pribadi (syakhs) Muhammad sendiri lebih baik dari segala spesies di alam semesta ini.
Di pribadi semacam inilah ‘tanazzalu malaikatu wa ruuhu fiiha bi idzni robbihim min kulli amr’. Daya-daya ruhani dan nafsani, malaikat bumi dan langit dan ruh dari segala perkara turun dengan izin Tuhannya. Sehingga seluruh sisi dari segala perkara diketahuinya: mulai dari wujud, dzat, sifat, watak, hukum-hukum tetap, keadaan, pengelolaan dan penggunaannya.
Maka, salamun hiya (malam yang mulia atau tubuh Muhammad itu penuh keselamatan) dari kekurangan dan kecacatan, hatta mathla’il fajr (sampai terbit fajar) yaitu sampai terbitnya ‘matahari’ ruh dari tempat terbenamnya, yakni sampai waktu ajal menjemput, saat perjumpaan kembali dengan Tuhan.
Nah, tanpa harus berdebat panjang lebar tentang ta’wil yang ditawarkan Ibn ‘Arabi ini, atau bahkan tentang Ibn ‘Arabi sendiri; ada baiknya kalau kita mengambil sedikit pelajaran dari semua ini.
Maksud saya begini: kebenaran (dalam hal ini al-Qur’an) itu turun dan diturunkan ke ‘tubuh’ yang mulia (dalam hal ini Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wassalam), karena kemuliaannya. Dan kemuliaan itu jelas bukan merupakan hasil usaha sehari dua, tapi merupakan upaya seumur hidup mengelola diri. Atau menurut istilah KH. Abdullah Salam ‘dengan memilih menjadi sholeh’; sesuatu yang selama ini pelan-pelan surut dalam budaya kita yang semakin cenderung serba dadakan.
Dari perspektif ini, pemahaman tentang lailatul qadr seharusnya menyatu dengan pemahaman tentang kesholehan yang secara kualitatif terus berproses ke titik pencapaian tertingginya. Perspektif ini akan memberi kita ruang untuk secara sederhana membaca lailatul qadr sebagai teladan, bagaimana diri berproses sedemikian rupa sehingga mampu mencapai puncak kemuliaannya, dan bergabung dengan semua potensi yang ada di alam semesta, untuk merealisasikan kebenaran.
Perspektif ini menarik, lebih-lebih kalau kita kaitkan dengan hadits yang menyebut bahwa kaum muslimin -dalam kapasitasnya sendiri-sendiri- bisa memetik lailatul qadr-nya pada malam-malam ganjil di sepertiga akhir Ramadan. Seperti kita tahu, Ramadan -sesuai dengan makna literalnya ‘membakar’ atau ‘pembakaran’- pada dasarnya adalah bulan yang dari awal telah didesain sedemikian rupa agar orang mau dan mampu ‘membakar’ semua atribut eksistensialnya, atribut yang otomatis membentuk ‘tubuh dunia’ karena ketertarikan dan ketundukan kita pada gravitasi bumi. ‘Pembakaran’ yang diharap akan mengantar orang untuk menemukan esensi wujudnya.
Tentu saja, dalam perspektif ini kita harus memandang bulan Ramadan sebagai puncak bagi proses ‘penggarapan diri’ yang telah kita jalani selama sebelas bulan sebelumnya. Dan sepertiga akhir Ramadan sendiri, dengan i’tikaf sebagai tambahan sholatul lail (tarawih) yang sudah kita laksanakan sejak awal, adalah puncak dari puncak ‘pembakaran diri’ sebulan penuh.
Dengan desain seperti ini, sebenarnya kita dididik untuk lebih sungguh-sungguh menggarap ‘wadah’ diri, karena ‘wadah’ inilah yang pada gilirannya akan menentukan ‘isi’ yang akan diturunkan pada kita. Semakin istiqomah kita membangun kesholehan, artinya akan semakin berkilauan ‘kemuliaan malam wujud’ kita.
Dan semakin ‘mulia malam wujud’ kita, akan semakin besar pula ‘wadah penyambutan’ yang kita siapkan bagi turunnya malaikat dan ruh dari segala perkara. Inilah yang membuat kita selamat sampai dengan terbitnya fajar pertemuan dengan Allah. Dan ini pulalah cara yang ditawarkan agar kita bisa tergabung dalam hirarki para pejalan kebenaran, hirarki wujud sadar semesta seperti disinggung di atas.
Ketika orang ramai-ramai berebut mencari lailatul qadr di akhir Ramadlan, sekali lagi, ini cuma menegaskan kembali bahwa sebagai bangsa sepertinya kita memang telah hilang kepercayaan pada kesholehan, pada konsistensi proses menapaki arah kebaikan.

Budayawan, tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia