Ads
Cakrawala

Syekh Salim Bin Nabhan (1880-1949) : Berjuang dengan Literasi

Avatar photo
Ditulis oleh Nabiel A Karim Hayaze

Bagi mereka yang sempat menimba ilmu di madrasah, pesantren, atau surau, nama Toko Kitab Bin Nabhan merupakan surga dan tempat rujukan utama.  Khususnya di Surabaya, atau daerah Jawa Timur walaupun sebenarnya toko kitab tersebut melayani hampir seluruh Indonesia. Sebuah toko kitab yang tidak hanya menjual, tetapi juga mencetak, menerbitkan sekaligus menjadi distributor bagi-bagi kitab-kitab import dari Timur Tengah. Toko Kitab ini didirikan oleh dua orang bersaudara yaitu, Salim dan saudaranya, Ahmad bin Nabhan.

Siapakah Salim bin Nabhan?

Nama lengkapnya adalah Salim bin Sa’ad bin Muhammad bin Nabhan. Seorang wulaiti (Arab totok) kelahiran Hadhramaut, yang datang ke Jawa pada tahun 1902. Bersama dengan saudaranya Ahmad, Salim mengambil lini usaha yang berbeda dengan kolega Arab Hadhrami lainnya. Yang biasanya usaha di bidang minyak wangi, pakaian, properti dan lainnya, Salim mengambil pilihan pada bisnis literasi, atau berdagang buku.

Pilihan tersebut sebenarnya berasal dari latar belakang keluarga Nabhan sendiri. Di daerah asalnya Hadhramaut, keluarga ini dikenal sebagai  ahli ilmu dan pengusaha kitab. Dalam buku Mausu’ah Al-Alqab Al-Yamaniah disebutkan bahwa sebenarnya yang pertama kali menjalankan usaha buku adalah kakak dari Salim sendiri, yaitu Sa’id bin Sa’ad Nabhan.

Menurut Hamid Nabhan, cucu  Syekh Salim, bahwa memang benar saudara kakeknya yaitu, Said Nabhan adalah seorang pengarang besar yang selama hidupnya gemar melakukan perjalanan keliling dunia. Karena ia lebih fokus ke penulisan dan perjalanan, usahanya tersebut akhirnya dijual kepada adik-adiknya, yaitu Salim dan Ahmad untuk dikembangkan di Indonesia. 

Awal Toko Kitab Salim Nabhan

Toko Kitab Salim Nabhan didirikan  pada tahun 1908 di Jalan Panggung, Kampung Arab, Surabaya. Masih menurut sang cucu, Hamid Nabhan, memulai usahanya dengan berjualan emperan di Surabaya. Selain dengan berkeliling dari pesantren ke pesantren. Hingga akhirnya mampu membeli dan membuka sebuah toko kitab yang tercatat sebagai toko kitab pertama di Indonesia.

Papan nama Toko Kitab Salim Nabhan (Sumber GoogleMaps)

Berdirinya toko tersebut  menunjukkan kecerdasan dan kejelian  Salim Nabhan dalam melihat peluang bisnis yang terbuka. Pemilihan lokasi Indonesia dan lebih tepatnya Surabaya adalah sebuah hal yang tepat. Bersamaan dengan banyak ulama Nusantara yang belajar ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agama. Hal itu berpengaruh terhadap peningkatan pesantren yang didirikan oleh ulama alumni Timur Tengah tersebut. Dengan meningkatnya jumlah pesantren otomatis meningkat juga jumlah santri-santrinya. Dan mereka semua membutuhkan kitab-kitab pelajaran dan referensi untuk proses pembelajarannya. Dan jauh lebih murah membeli di dalam negeri daripada harus beli dari luar negeri.

Syekh Salim dan Al-Irsyad 

Syekh Salim dan keluarga Nabhan tidak bisa dipisahkan dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Khususnya dengan organisasi Islam “Al-Irsyad Al-Islamiyah” yang didirikan oleh Syekh Ahmad As-Surkati pada tahun 1915. Syekh Salim bin Nabhan adalah salah satu sosok di belakang lahirnya Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya, pada  15 Januari 1924 atau disebut juga “Stichting Al-Irsyad School”.

Para pendiri Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya Tahun 1933 (Foto Koleksi Menara)

Nama-nama tokoh tersebut sampai sekarang masih bisa kita jumpai di Gedung Hotel Kemajuan yang juga merupakan salah satu asset dari Yayasan Perguruan Al-Irsyad yang didirikan pada  1928 di Jalan KH Mas Mansyur No 96 Surabaya.

Prasasti dalam Hotel Kemajuan (Sumber Hamid Nabhan)

Toko Kitab Nabhan dan Al-Manar

Syekh Salim,  dengan toko kitabnya, juga ikut menyebarkan majalah Al-Manar yang didirikan oleh M. Rasyid Ridha di Mesir. Sebuah majalah pergerakan pembaruan Islam yang dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Dikarenakan ideologi yang berisikan paham Pan Islamisme termasuk ajaran-ajaran untuk melawan penjajahan imperialisme dan kolonialisme. Hal ini menjadi kekhawatiran pemerintah Belanda, karena memicu pemberontakan. Hingga kemudian pemerintah kolonial Belanda memberikan pengawasan khusus terhadap isi penerbitan dari toko kitab tersebut.

Dalam buku Ziarah Sejarah yang ditulis oleh Hamid Nabhan, Van der Plas (Gubernur Hindia Belanda di Jawa Timur) sempat mengecek langsung ke toko buku Salim Nabhan untuk mengawasi terbitan dari toko tersebut. Bahkan Van der Plass sempat meminta agar toko kitab tersebut, mencetak Al-Qur’an tanpa ada terjemahan, supaya masyarakat tidak memahami isi kandungannya.

Syekh Salim Nabhan: Guru Bangsa

Syekh Salim dan  toko kitabnya memiliki kontribusi yang  besar dan penting  dalam sejarah bangsa, khususnya dalam bidang literasi. Tidak terhitung berapa banyak tokoh-tokoh agama dan nasional yang mendapatkan manfaat keilmuan dari buku-bukunya. Di antaranya A.R. Baswedan (1908-1986), Pahlawan Nasional dan tokoh di belakang lahirnya organisasi Persatuan Arab Indonesia. Walaupun dilahirkan di Surabaya, Baswedan mampu menguasai bahasa Arab dengan baik dan salah satunya adalah melalui buku-buku Toko Kitab Nabhan.

Ali Audah (1924-2017), maestro penerjemah Arab dan sastrawan, penerjemah Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husesin Haikal, yang juga banyak menulis artikel di majalah Panji Masyarakat,  menuturkan bahwa awal ia terjun ke penerjemahan buku-buku sastra Arab juga salah satunya karena Toko Kitab bin Nabhan.

Selain kedekatan dan perjuangannya melalui organisasi Al-Irsyad, Syekh Salim juga memiliki kedekatan hubungan dengan tokoh pendiri Persis, yaitu Ustadz A. Hassan.  Bahkan salah satu karya A. Hassan yaitu kitab Tafsir Al-Furqan diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia  pada tahun 1957 oleh penerbit Salim Nabhan.

Syekh Salim juga pribadi yang sangat dekat dengan tokoh NU dan Muhammadiyah, Hamid Nabhan menyebutkan bahwa KH M. Hasyim Asy’ari sendiri sering ke toko untuk bertemu langsung dengan Syekh Salim untuk berbicara dan menimba ilmu darinya.

Pengawasan dari pihak kolonial Belanda terhadap dirinya tidak mengendorkan semangat perjuangan dan nasionalismenya terhadap bumi Indonesia, walaupun ia tidak dilahirkan di Indonesia. Keluarga Syekh Salim Nabhan juga dikenal sebagai donatur bagi perjuangan kemerdekaan, sebagian penghasilan dari bisnis bukunya disumbangkan untuk perjuangan melawan Belanda, baik perjuangan individu atau pun institusi.

Syekh Salim memiliki empat orang anak:  Sa’ad, Omar, Usman dan Asma,  Sedangkan saudaranya Syekh Ahmad memiliki delapan orang anak:  Muhammad, Ali, Saleh,  Cholid dan 4 anak perempuan. Hamid Nabhan seorang perupa  dan wartawan yang membantu penulis dalam penulisan ini, adalah cucu dari kedua belah pihak, ibunya Asma’ bint Salim Nabhan dan ayahnya adalah Muhammad bin Ahmad Nabhan.

Pada tahun 1948 gudang kitab miliknya di kota Solo, sempat dibakar oleh pihak Komunis. Selain berbisnis buku, Syekh Salim dan saudaranya Ahmad Nabhan juga memiliki usaha lain, yaitu pabrik Payung, walaupun tidak sebesar usaha kitabnya. Syekh Salim Nabhan meninggal pada tahun 1949, mereka berdua dimakamkan di tanah pemakaman Pegirian, Surabaya.

sampai sekarang anak cucu keluarga Syekh Salim dan Ahmad bin Sa’ad Nabhan masih menjalankan bisnis perdagangan buku dan berkembang menjadi Toko Salim Nabhan dan Toko Ahmad Nabhan, dan juga percetakan Al-Hikmah. Sesuatu yang sungguh luar biasa, di saat kemajuan teknologi informasi  telah menghancurkan budaya baca masyarakat, banyak toko kitab dan penerbitan tergeletak, toko ini  masih berjalan. Mungkin itulah keberkahan dalam bisnis kitab-kitab agama, yang tidak bisa dijelaskan dengan angka dan hitungan bisnis.

Tentang Penulis

Avatar photo

Nabiel A Karim Hayaze

Penulis dan peminat sejarah, penerjemah Arab dan Inggris. Kini direktur Yayasan Menara Center, lembaga kajian dan studi keturunan dan diaspora Arab di Indonesia.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading