Saat pengangkatan Ali menjadi khalifah, tidak semua orang membaiatnya. Baiat untuk Ali sebagian besar berasal dari rakyat. Bukan dari kalangan terkemuka, cerdik-cendekia, meskipun mereka akhirnya membaiat juga lantaran tidak mau ambil risiko. Karena Ali suka terus terang, tegas dan tidak suka “berminyak air”, maka dia punya banyak musuh. Semasa kekhalifahannya, Ali dikenal kurang bermusyawarah dan terlalu percaya diri. Jika sikap keras Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab diikuti rakyatnya, sikap keras Ali justru diterima sebaliknya.
Ali dikenal terlalu toleran dam dan sangat cenderung kepada perdamaian. Karena itu pula, meskipun Ali menang dalam segala pertempuran, baik dalam Perang Onta melawan Aisyah dkk. Maupun dalam Perang Shiffin melawan Mu’awiyah, ia kalah dalam diplomasi dan tidak bisa mengelak dari muslihat lawan. Sebab, konon Ali enggan membelakangi akhirat untuk mendapat keuntungan dunia.
Sikap Ali tersebut berbalikan dengan sifat dan perangai Mu’awiyah, yang 20 tahun menjabat gubernur di Syam (wilayah yang kini meliputi Suriah, Lebanon, Palestina) sejak masa kekhalifahan Umat, yang pengaruh kekuasaannya sudah berurat berakar di sana. Kehidupan rakyatnya boleh dibilang makmur. Sebagai politikus ulung yang licin dan berpengalaman, ia pandai memikat hati rakyat, dengan pemberian maupun sekadar pencitraan. Yang paling penting, kelicinan Mu’awiyah dalam berpolitik adalah yang menyebabkan kekalahan Ali dalam tahkim, arbitrase, yang kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan para pengikutnya. Bekas pengikut Ali yang menjadi penentangnya yang keras dikenal sebagai golongan Khawarij.
Jadi, musuh Ali tidak hanya Mu’awiyah tapi juga kaum Khawarij ini. Kelak, Ali tewas oleh tusukan seorang pengikut Khawarij, bukan dalam peperangan, tetapi ketika mengimami salat.
Dalam pada itu, orang-orang kuat yang semula mendukung Ali, banyak yang berbalik arah: menyokong Mu’awiyah. Misalnya, Amru, Al-Mughirah, dan Ziyad.
Dua perbedaan dalam bersiyasah itu telah melicinkan jalan Mu’awiyah ke tampuk kekuasaan tertinggi. Yakni khalifah. Kedudukan yang diidam-idamkannya sejak dulu, bahkan oleh moyangnya dari turunan Umaiyah. Bani Umaiyah ini merupakan seteru paling sengit Bani Hasyim, yang menurunkan Ali dan anak-anaknya. Kemenangan Mu’awiyah ini, karena Ali, menurut Ustadz Al-Khudari ( Tarikh al-Umam al-Islamiyah), “bukanlah orang yang disukai para pemuka di masanya. Tuntutan bela keluarga Umaiyah atas kematian Khalifah Utsman ibn Affan, yang juga keturunan Umaiyah, sangat menyudutkan Ali. Padahal, dalam sepucuk suratnya kepada Mu’awiyah, Ali menegaskan: Wallahi, demi Allah, seandainya Anda berpikir dengan jernih dengan otak Anda, dan bukan dengan hawa nafsu, niscaya Anda ketahui, bahwa saya adalah orang Quraisy yang paling tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman.” Bukankah Ali, waktu huru-hara menjelang pembunuhan Utsman, menugaskan putra-putranya untuk ikut menjaga kediaman sang Khalifah dari ancaman para pemberontak?
Namun, api fitnah sudah terlanjur menjalar. Dan situasi yang kacau memungkinkan munculnya pribadi-pribadi yang berambisi menjadi khalifah, di luar Ali yang telah dibaiat secara sah. Karena itu, menurut mereka pengangkatan Ali dianggap sudah sewajarnya. Sebaliknya, sebagian kaum muslimin, khususnya yang di luar Madinah, yang menganggap Mu’awiyah lebih pantas menjadi khalifah dengan bukti-bukti kepemimpinannya, juga sama wajarnya. Kerap kali kesalahan dilemparkan kepada Mu’awiyah, karena telah mewariskan kekuasaan secara turun-temurun, yang bertentangan dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Bukankah keluarga Ali juga telah “terlebih dahulu” menganut sistem monarki ini, dengan pengangkatan Hasan, lalu Husein, dan kemudian anak turunannya?

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi
penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia
juga pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi,
Jawa Barat. Sumber: Panji Masyarakat, 11-20 Desember 1987.