Membincangkan soal pertentangan antara Sayidina Ali dan Mu’awiyah, memang menarik. Lebih menarik, namun tidak banyak diketahui orang latar belakangnya, mengapa pandangan umum “memenangkan” Ali dan seluruh kutukan tertumpah sepenuhnya kepada Muawiyah? Bahkan selanjutnya, ahli-ahli sejarah terdahulu menumpahkan segala kekurangan tersebut kepada Bani Umaiyah, kerajaan Islam pertama yang dirintis Mu’awiyah.
Prof. Dr. Ahmad Syalabi, sejarawan terkemuka Mesir, sampai menyatakan aneh, bahwa ahli-ahli sejarah pada zaman kita ini, baik dari golongan kaum Muslimin sendiri, maupun dari ahli-ahli ketimuran alias orientalis, menerima saja apa-apa yang ditulis ahli-ahli sejarah zaman dahulu itu sebagai fakta yang benar. Ia menyatakan, “Akibatnya, pembahasan-pembahasan sejarah yang dilakukan pada zaman modern ini umumnya sangat jauh dari rasa keadilan”. Karena itu, tambahnya, sepatutnyalah sejarah periode Bani Umaiyah ini ditinjau kembali dan diulang menulisnya!
Yang dimaksud “ketidakadilan” ini, misalnya, dalam menggambarkan sifat-sifat Muawiyah yang kejam, perampas, licik dan otoriter. Bani Umaiyah bahkan digambarkan Nicholson, seperti dikutip Syalabi, sebagai aristokrat watsaniyah (berhala) yang menentang Rasulullah, para sahabat dan ahlul bait keturunan beliau. Sebaliknya, kekalahan Ali dari Mu’awiyah, yang diikuti kekalahan turunannya oleh dinasti Bani Umaiyah, telah menimbulkan rasa “iba” berkepanjangan. Yang lebih menentukan, menurut Syalabi dalam bukunya Tarikh Al-Islam wa Al-Hadhadharah Al-Islamiyah, “tetesan darah mereka besar pengaruhnya kepada para ahli riwayat.” Inilah yang telah menyebabkan merosotnya nilai sejarah Bani Umaiyah. Yang kita persoalkan, mengapa Mu’awiyah dan BanI Umaiyah selalu disalahkan.
Para ahli sejarah selalu menemui kesulitan ketika dihadapkan pada studi mengenai Bani Umaiyah. Tidaklah mengherankan, sebab seluruh fakta mengenai Bani Umaiyah telah dilenyapkan bersama orang-orangnya oleh rejim Abbasiyah yang berkuasa berikutnya. Sebelum fakta-fakta itu dituliskan, Daulah Umaiyah telah runtuh, dan Bani Abbas mengikis habis sisa-sisa kejayaan Bani Umaiyah yang masih ada. Yang perlu ditambahkan, menurut Ahmad Syalabi, hilang lenyapnya fakta sejarah ini juga ditimbulkan oleh orang-orang yang menamakan diri mereka “Syiah Ahlil Bait”. Padahal, mereka itu sebenarnya merupakan musuh paling jahat terhadap Ahlul Bait dan Islam. Ada sekelompok manusia yang berkeinginan meraup keuntungan dari tetesan darah Ahlul Bait. Orang-orang Syiah atau penganjur-penganjurnya telah menggunakan peristiwa itu sebagai ‘senjata’ untuk merangsang pendapat umum terhadap Bani Umaiyah.
Dalam kacau-balaunya situasi saat itu, orang-orang Syiah ini kerap menjadi gerombolan-gerombolan pengacau. Menyulut pemberontakan-pemberontakan. Padahal, mereka sebenarnya tidak berhubungan darah dengan Ali dan turunannya. Malahan, orang-orang inilah yang sering menipu dan mengkhianat Ali dan anak cucunya.
Ahli sejarah yang tajam ulasannya ini menyimpulkan, “Gerombolan pengacau ini amat ditakuti, dan telah menggentarkan para ahli riwayat, sehingga mereka tidak berani meriwayatkan apa yang sebenarnya dapat mereka tulis mengenai kejayaan Bani Umaiyah.”
Benarkah Muawiyah sejahat seperti digambarkan banyak orang? Pertanyaan ini sama seperti pertanyaan: Apakah. Ali juga tidak meninggalkan. cacat-cacat yang menyeret pada kehancurannya menangkis tantangan Muawiyah?
Setiap orang mengakui kesalehan Ali. Bahkan lebih wara’ dari Mu’awiyah. Lidah Ali terfasih dibanding sahabat-sahabat yang lain. Ilmunya sangat unggul. Selain paling banyak meriwayatkan hadis, Ali dikenal gagah perkasa. Mu’awiyah sendiri pernah menolak hasutan Amru ibn Ash untuk berduel langsung menjawab tantangan Ali dalam Perang Shiffin, karena Muawiyah tahu, setiap lawan tanding Ali pasti tewas, (Tarikh Al-Umam wa Al- Muluk IV).
Bersambung

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat. Sumber: Panji Masyarakat, 11-20 Desember 1987.