Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Pergantian Kekuasaan (2)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ucapkan; “Allahumma, Pemilik Kerajaan, Kau berikan kerajaan kepada yang Kau hendaki, Kau cabut kerajaan dari yang Kau kehendaki. Kau muliakan yang Kau hendaki, Kau hinakan yang Kau hendaki. Di Tangan-Mulah kebaikan. Engkau, atas tiap-tiap apa saja, mahakuasa. Engkau masukkan malam ke dalam siang, Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau beri rizki mereka yang Kau hendaki tanpa hitungan.”  (Q. 3: 26-27).

Kemerdekaan Kedua

Tapi agak aneh, memang, bila benar Amien Rais (sebagaimana Nurcholish Madjid) tidak pernah berpikir bahwa tidak bakalan bahwa makhluk yang namanya manusia, seperti Habibie itu, mau dibatasi kekuasaannya dengan 3-6 bulan, sementara pembatas itu sendiri tidak punya landasan konstitusional, sebaliknya hanya sekadar “kesadaran moral”. Apalagi Habibie tidak sendirian. Terlalu ber-husnuzh zhan.

Dan kursi kepresidenan pun menyingkir dari dekat Amien Rais – yang harus kembali menggenjot sepedanya, jauh, panas, dan payah, lewat petak demi petak sawah, sebelum sampai ke kantor lurah. Ketika partai yang didirikan dan didirikannya, PAN itu (sekarang dia sudah keluar dan mendirikan partai baru bernama Partai Ummat; red), ternyata “hanya” menduduki tempat kelima terbesar, tahulah ia bahwa ia harus berlapang dada, dan dengan sportif berkali-kali menyatakan “tahu diri”. Sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala tiba-tiba mengangkat kuduknya dan mendudukkannya di kursi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara itu kursi kepresidenan diberikan-Nya kepada tokoh yang hampir tidak diduga-duga: Gus Dur, yang maju secara pelan, setengah memejam, untung-untungan tetapi yakin, dengan politik zigzagnya yang penuh siku. Kullun muyassarun limaa khuliqa lah. “Tiap orang,” kata Nabi, “dimudahkan untuk sesuatu yang dirinya memang dibentuk untuk itu.” (Bukhari dan Ahmad).

Itu yang mengenai kekuasaan Allah di dalam ayat, dengan penafsiran model teologi Asy’ari. Adapun yang mengenai faktor penyadaran akan perubahan terus-menerus, bagai malam yang dimasukkan ke dalam siang, dan seterusnya, maka yang terjadi dalam pergantian presiden dari Habibie ke Abdurrahman Wahid, 1999, berjalan sinergis. Tidak ada gejolak – kecuali sekadar demonstrasi mahasiswa yang tidak berbahaya di Ujungpandang: mereka yang kecewa oleh kekalahan Habibie yang orang sedaerah asal, lalu, konon, menuntut “berdirinya Negara Indonesia Timur”.

Tiadanya gejolak itu tak lain karena aturan permainan sudah sepenuhnya diubah. Inilah pertama kalinya orang bisa menyaksikan, langsung lewat layar televisi, bagaimana ketua MPR dipilih. Lalu ketua DPR. Lalu presiden. Lalu wakil presiden. Semuanya dengan pemberian suara secara rahasia, lalu dihitung, ditulis di papan, persis cara paling sederhana yang mereka pakai di kampung dalam pemilihan lurah atau dipakai murid-murid dalam pemilihan ketua kelas. Semua pembicaraan terbuka: semua debat, interupsi, kekonyolan, beberapa trik yang bisa direka penonton dari kejadian yang berjalan dalam gedung, meski tentu saja bukan lobi-lobi yang berjalan di luarnya. Berbeda dengan yang sudah-sudah, sama sekali tidak ada sandiwara.

Dengan itu Indonesia memasuki konteks budaya baru yang modern, persis yang diklaim Abdurrahman Wahid, pada hari kemenangannya, sebagai “kemerdekaan yang kedua sesudah yang diproklamasikan Bung Karno.” Dan budaya modern justru budaya yang “asli”, yang sama dengan di kehidupan desa dan sekolah.       

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas.  Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Panji Masyarakat, 10 November 1999.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading