Ads
Cakrawala

Kolom Buya Syafii Maarif: Anjing Mati Dan Singa Hidup

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Penulis  Italia Giovanni Grazzini dalam sebuah bukunya tentang Aleksandr I. Solzhenitsyn mengungkapkan kekagumannya pada pemenang Hadiah Nobel dari Rusia ini sebagai berikut: “Mengapa Uni Soviet takut kepada yang seorang ini? Pada satu sisi dari pergumulan itu ialah pemerintah Soviet, dengan kekuatan militernya yang mengagumkan, aparat polisinya yang luas, kontrolnya yang sempurna atas seluruh media.”

“Pada sisi lain ada seorang penulis kesepian. Buku-buku karyanya diberangus di buminya tercinta. Dia telah diusir dari organisasi pengarang resmi. Dia hidup dan bekerja di bawah bayang-bayang bahaya yang selalu mendekat.”

“Tetapi di seluruh dunia, dan di Uni Soviet sendiri, kegeniusan dan keberanian orang yang satu ini, kemampuannya menyuarakan pikiran dan perasaan yang terdalam dari rakyat Rusia, telah memaksanya muncul sebagai satu kekuatan, lebih ampuh dari senjata-senjata nuklir atau kekuatan bala-tentara yang lagi berbaris. Nama laki-laki itu ialah: Solzhenitsyn.” (Lihat M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, Orientalisme dan Humanisme Sekuler,  Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983, hlm. 37).

Solzhenitsyn adalah sastrawan kaliber dunia. Tahun 1974 dia diperintahkan untuk meninggalkan tanah airnya buat masa yang tak terbatas. Demikianlah sejak tahun itu ia menetap di negeri adikuasa yang lain: Amerika Serikat.

Apa kaitannya judul esai ini dengan Solzhenitsyn? Kaitannya erat sekali. Bahkan judul itu berasal darinya. Dalam sebuah bukunya East & West (New York: Perennial Library, 1979, hlm. 156), Solzhenitsyn menulis: “Benar, kami masih menjadi tawanan komunisme, tetapi bagi kami di Rusia, komunisme adalah seekor anjing mati, sementara bagi banyak orang di Barat, ia masih merupakan seekor singa yang hidup.”

Mengapa komunisme dikatakan sebagai anjing mati? Solzhenitsyn tampaknya paham betul tentang kepribadian rakyat Rusia yang tidak mungkin dibohongi terus menerus oleh pemimpin-pemimpin partai yang berkuasa. Oleh sebab itu di mata Solzhenitsyn, sosialisme dan komunisme pada akhirnya akan terusir dari Rusia. Baginya komunisme adalah semacam penyakit menular yang harus dienyahkan dari suatu negeri, bila negeri itu mau menjadi negeri yang sehat lahir-batin. Antisipasinya adalah bahwa setelah Rusia dibebaskan dari penyakit menular itu, maka negeri-negeri lain di dunia akan berjuang pula untuk mengikuti jejak Rusia dalam melawan sosialisme itu (lihat ibid.).

Pertanyaan kita adalah: sampai di manakah kira-kira ketepatan antisipasi Solzhenitsyn itu? Apakah mungkin Rusia akan meninggalkan komunisme? Jawaban kita sudah barang tentu tidak mungkin dengan ungkapan serba pasti. Tetapi dari perjalanan sejarah dunia kita dapat mengambil pelajaran bahwa sistem kekuasaan yang dibungkus dengan serba kebohongan tidak akan tahan lama, apalagi sistem itu telah cukup lama menginjak-injak harkat dan martabat manusia. Fakta tentang ini dapat dengan mudah kita ikuti dalam novel-novel yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Rusia kontemporer, di samping Solzhenitsyn. Novel Dr. Zhivago, karya Boris Pasternak, juga pemenang Hadiah Nobel, adalah salah satu karya sastra yang berisi protes sosial yang tidak kurang tajamnya bila dijejerkan dengan Gulag Archipelago-nya Solzhenitsyn. Di Tanah Air, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959=1965), kita pernah pula mengikuti perjuangan kelompok Manifes Kebudayaan yang didukung oleh para seniman dan sastrawan kita yang anti tirani. Tampaknya dalam sejarah kita sering diberi pelajaran: bila jalur politik telah buntu untuk menyatakan kebebasan nurani, maka jalur sastra dan seni dapat menjadi kekuatan yang dahsyat untuk melawan segala macam bentuk kebohongan dan kebusukan politik. Oleh sebab itu langkah-langkah liberalisasi Mikhail Gorbachev di Uni Soviet mungkin akan semakin mendekatkan antisipasi Solzhenitsyn dengan kenyataan.  Siapa tahu. Tapi berapa lama masa transisi dari totaliterisme ke demokrasi di Rusia, tentu kita tidak dapat memastikannya. Yang jelas tanda-tanda ke arah itu sudah mulai memberi harapan. (Pada Desember 1991 Uni Soviet bubar, dan  Gorbachev tercatat sebagai  pemimpin Uni Soviet terakhir. Rusia yang menjadi pilar utama Soviet, beberapa waktu lalu menyerang Ukraina, yang dulu menjadi negara bagian dari Uni Soviet; red).

Akhirnya esai singkat ini kita tutup dengan motto perjuangan Solzhenitsyn yang sangat sederhana: “Tinggalkan dusta.” (Lihat Solzhenitsyn, Press Conference on the Future of Russia, terjemahan D. Pospielovsky. Ontario: Zaria, 1975, hlm. 6). Pertanyaan kita yang masih tersisa adalah: “Berapa gelintir kaum politisi di permukaan bumi ini yang bukan pendusta?”

Penulis: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, sejarawan, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005), pendiri Maarif Institute. Sumber: Panji Masyarakat, No. 546, 21 Juli 1987.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading