Ads
Aktualita

Parni Hadi : Wartawan Adalah Penggerak Perubahan, Rujukan Mahkamah Sejarah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Rabu 9 Februari 2022, jagad wartawan Indonesia memperingati Hari Pes Nasional. Pada dasarnya, wartawan adalah pemikir, aktivis, penggerak perubahan menuju sesuatu yang diyakininya sebagai lebih benar dan baik, demikian menurut wartawan senior Parni Hadi yang pernah mempimpin Lembaga Kantor Berita Antara, Harian Republika dan Radio Republik Indonesia.

Pandangan Parni Hadi yang kini aktif memimpin Dompet Dhuafa itu, dituangkan dalam  buku trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU, karya wartawan Panji Masyarakat B.Wiwoho. Buku ini tulisnya, kalau boleh diibaratkan kuliner adalah “gado-gado”  yang lezat, bergizi tinggi, sehat dan bermanfaat.

“Penulisnya hebat! Mas Bambang Wiwoho, saya biasa memanggilnya Mas Wie, adalah wartawan lansia paripurna. Melalui buku ini, Mas Wie menunjukkan sekaligus memberi contoh bagaimana seorang wartawan berkiprah multi tasking: penanya, pencatat, peramu, penulis, editor, pelapor dan dokumentator.”

Buku Tonggak-Tonggak Orde Baru  adalah sebuah legacy dari seorang wartawan senior untuk para wartawan yunior.

Buku ini juga sebuah memoar pribadi penulisnya. Isinya beraneka ragam, bunga rampai, “kembang setaman”, kapita selekta yang dirakit dengan apik.

Sebuah buku menyingkapkan jadi diri penulisnya. Sebagai wartawan koran Suara Karya,  corong  Golongan Karya (Golkar), partai penguasa hampir mutlak, “Mas Wie punya akses luar biasa ke hampir seluruh  pemimpin, tokoh, pejabat dan penguasa. Bisa dimengerti  kalau ia dekat dengan sumber-sumber rahasia top Indonesia, termasuk Ka Bakin, Jendral Yoga Sugomo, Waka Bakin,  Letjen Ali Moertopo, para menteri dan pejabat tinggi dengan segala jejaringnya.” Tapi, kedekatan itu tentu bukan semata karena ia wartawan Suara Karya. Kapasitas pribadi sering lebih menentukan. Catatan-catatan yang dibukukan ini membuktikan.

Bekerja sebagai wartawan di media massa milik pemerintah dan atau pendukung pemerintah tidak mudah. Ia tahu banyak rahasia, tapi tidak bisa mengungkapkan semua seperti apa adanya. Perlu sedikit keberanian dan kecerdasan untuk mencari kiat agar selamat.

Salah satu kiat yang relatif paling aman adalah mengungkapkannya setelah rezim penguasa berganti atau para penguasa itu sudah meninggal dunia. Ini kiat post mortem.

Ada kesulitan untuk menyandingkan pernyataan dari beberapa tokoh yang berseberangan di jaman Orba, apalagi dengan penguasa. Tidak seperti sekarang, bisa lewat talkshow di radio, tv dan zooming.  Salah satu kiat untuk atasi adalah sandingkan pernyataan yang diambil dari otobiografi dan biografi masing-masing.

“Penulisan buku Tonggak-Tonggak Orde Baru, mencerminkan jati diri seorang wartawan melalui proses karya jurnalistiknya. Pada dasarnya, wartawan adalah pemikir, aktivis, penggerak perubahan menuju sesuatu yang diyakininya sebagai lebih benar dan baik.

Untuk itu, ia seorang pencatat berbagai peristiwa (dokumentator). Bukan pencatat biasa, tapi pencatat yang terlibat (engaged documentator). Ia saksi, tapi juga sering sebagai partisipan, bahkan sering ikut merumuskan, menentukan dan ikut serta menindaklanjuti.”

Wartawan bisa jadi bukan hanya sebagai pelapor, tapi juga pelopor, inspirator, motivatator, moderator, sponsor dan bahkan aktor (provokator) sekaligus atau tor-tor yang lain. Di antara tor yang merupakan fungsi utama wartawan adalah komunikator, penyampai pesan. Di sini terselip salah satu di antara kelemahan wartawan sebagai manusia. Ia bisa terjebak sebagai kolaborator atau konspirator dengan pengusung awal dan utama gagasan perubahan. Apalagi, kalau itu berkaitan dengan kekuasaan: upaya mempertahankan atau merebutnya. Komunikator bisa jadi manipulator atau koruptor fakta dan kata-kata demi kepentingan pengusung dan pendukung gagasan.

Benar erat hubungannya dengan intelek (otak) dan baik terkait dengan moral dan spirirtual (hati/kalbu). “Alhamdulillah, Mas Wie sudah berulang kali menulis dan berbicara tentang perlunya olah cipta, rasa (rahsa, hati atau kalbu) dan karsa”. Dan fakta-fakta yang tersaji di buku ini bersifat terbuka untuk dikomentari dan dibantah. Tujuannya agar terjadi dialog mencari kebenaran dalam mahkamah sejarah

Pengungkapan fakta post mortem adalah bagian dari Mahkamah Sejarah. Publik, terutama generasi penguasa yang masih hidup,diharapkan memberi tanggapan. Harapannya, bisa terbangun suasana dialogis dan dialektis dalam ungkapkan kebenaran. Publik bisa mengambil hikmah dari kasus-kasus masa lampau agar tidak terulang lagi. “Catatan Mas Wie bisa berfungsi sebagai rujukan,” tulis Parni Hadi dalam sambutan buku tersebut. (Info dan nara hubung buku ke WA 8174892033)

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading