Ads
Cakrawala

Abunawas Bingung

Avatar photo
Ditulis oleh Anis Sholeh Ba'asyin

Mana lebih kuasa, Harun al Rasyid atau Abunawas? Pertanyaan yang baik, meski tidak proporsional. Sang Raja punya segalanya: mulai dari abdi yang setia, sampai tentara yang siap pakai. Mulai dari istana yang mewah, sampai kuburan yang megah. Mulai dari isteri-isteri yang cantik sampai kekuasaan yang luar biasa besar. Mulai dari uang yang berlimpah-limpah sampai teror yang bisa dilakukan, kapan saja untuk menjaga wibawa namanya. Alhasil, kunci dunia ini sudah ada di tangannya. Abunawas punya apa? Kerja dia tidak jelas. Lontang-lantung, kumal, dan tak punya apa-apa. Kecuali, kabarnya benaknya cemerlang. Tak lebih dan tak kurang, dari ini. dan dengan otak dia yang sering ‘nakal’, sang raja yang punya segalanya, kabarnya, berhasil dia tekuk-tekuk seenaknya, dia bikin jadi bulan-bulanan ‘permainan’ oposisinya yang humoristik, tapi menggigit.

Masih sekitar soal otak-otakan macam itu. ada satu anekdot tentang Abunawas, yang sedikit kurang ajar dan sedikit kelewatan. Begini, kisahnya: Konon, suatu hari musibah menimpa Abunawas dan Raja. Kereta yang mereka tumpangi dalam suatu inspeksi, terjungkir masuk jurang. Tak ada yang mati, tentu saja. Yang ada, cuma orang-orang yang setengah mati, lantaran kepalanya membentur batu yang konon, luar biasa besar dan luar biasa kasar. Alhasil, mereka lantas digotong ke rumah seorang tabib terkenal. Setelah sibuk periksa sana periksa sini, sang tabib malah bingung; dia tidak Cuma ketemu dengan penyakit, tapi sekaligus juga ketemu dengan teka-teki yang bikin pusing. Sambil dililit kebingungan, sekali lagi, dia periksa ini periksa itu, pegang kepala Abunawas pegang kepala Raja. Tapi, kesimpulannya, tetap idem-idem saja. tak ada jalan lain, dengan gugup, gemetar dan setengah takut, kepada para Menteri yang sedang bezoek sang tabib kasih pengumuman: Abunawas, setelah diperiksa dengan segenap ketelitian media, dinyatakan menderita gegar otak; dan Raja, setelah diadakan pemeriksaan medis yang jauh lebih teliti dan rumit, dinyatakan sehat-sehat saja, soalnya… dia tidak punya otak!

Abunawas, rupanya, memang berhasil menjadi lambang dari munculnya suatu fenomena yang unik. Ia berhasil menjadi simbol perlawanan terhadap para monarki yang korup, totaliter, represif, yang rela mengatas-namakan agama bagi teror-teror mereka; yang dengan santai sampai hati menciptakan kondisi-kondisi yang manusiawi, memproses jiwa manusia sampai jadi compang-camping, tak berharga, dan hanya bernilai sebagai gombal. Abunawas memang berhasil muncul sebagai rumus perlawanan dari keadaan yang tak tertolong lagi kacau balaunya. Apa boleh buat, legenda yang ditempelkan ke sosok Abunawas, rupanya, terlalu besar untuk tidak diberi isi dengan anekdot-anekdot baru kemudiannya. Banyak orang, tampak-tampaknya, lantas lebih senang memilih peran sebagai sang Abunawas ketimbang peran-peran lainnya. Jadi Abunawas, kelihatannya, memang lebih enak, lebih santai, lebih tenang, lebih sedikit, resikonya, dan last but no least, lebih punya ‘otak’ tentu saja. Tapi, siapa jadi Abunawas dan siapa jadi Raja? Bagdad sudah ‘ditutup’sejarah sekian abad yang lampau. Harun al Rasyid mungkin sudah amblas bersama ada apa-apa dibaliknya, yang konon dia minta didirikan di atas makamnya, mungkin sebagai lambang oposisi. Kini, masalahnya adalah: Siapa menekuk-tekuk siapa? Siapa ‘gegar otak’ dan siapa ‘tidak punya otak’?

Sebuah peringatan

Allah yang lebih tau, jelas. Tak butuh komentar. Tapi, ada kisah Nabi yang, insya Allah, akan mampu membuat kita lebih mafhum soal duduknya perkara. Begini: Konon suatu hari, di suatu Lorong kota Mekkah, tampaklah Rasulullah SAW sedemikian sibuknya berdakwah pada seorang pembesar Quraisy. Fase sejarah dari kejadian ini adalah fase belum terjadinya sikap konfrontatif yang tajam antara tokoh-tokoh Quraisy di satu pihak, dengan Rasulullah di lain pihak. Ini tampak dari adanya upaya-upaya yang dilakukan Rasulullah untuk bikin pendekatan dan ajakan pada kaum pemimpin Quraisy agar mau memeluk Islam.

Memang, kesan yang tampak kemudian, adalah upaya merangkul elite penguasa Mekkah. Tapi, sesungguhnyalah ini bukan berarti bahwa Rasulullah SAW terlalu mengorientasikan kegiatan dakwahnya secara elitis. Kecenderungan macam ini adalah kecenderungan yang tak terhindar, apalagi bila dilihat dalam konteks sejarahnya, yaitu masa awal Islam di mana para pengikut masih minim sekali; pendekatan Muhammad SAW terhadap tokoh-tokoh penguasa Quraisy, tampaknya akan mampu menjadi alat yang cukup efektif untuk memperkokoh dan meluaskan proses Islamisasi yang hendak beliau lancarkan ke masyarakat Mekkah. Ini cuma satu strategi Muhammad SAW. Strategi yang demikian diyakininya, sehingga, ketika beliau asyik berbicara menerangkan soal iman dan Islam pada seorang pembesar Quraisy dalam kerangka strateginya itu, beliau sempat melalaikan dan tidak memperhatikan Abdullah bin Ummi Maktum yang tua, lemah, compang-camping dan buta. Perhatian yang sepenuhnya diarahkan pada sang tokoh Quraisy, membuat beliau mengabaikan Abdullah yang sedari tadi mencoba membuka dialog dengannya. Perhitungan di atas kertas, tampaknya, memang masuk Islamnya seorang tokoh yang pegang peranan penting di masyarakat, seribu kali lebih berharga daripada seorang tua yang lemah, buta dan compang-camping, tak punya kedudukan apa-apa di mata masyarakat. Itu kata kita, manusia. Tapi, apa kata Tuhan? Melihat adegan seperti di atas, kontan Allah kasih teguran keras buat rasul-Nya: Hei, kenapa kamu bermuka masam dan berpaling? ‘Abas wa tawalla, karena telah datang seorang buta. Tahukah kamu, barangkali dia ingin bersihkan dirinya, atau, dia kepingin dapat pelajaran yang bermanfaat baginya. Sedang bagi orang yang merasa dirinya serba cukup, kamu beri pelayanan. Padahal, tidaklah cela buatmu bila ia enggan bersihkan diri. Orang yang bersegera datang padamu, karena takut ia akan Allah, malah kamu abaikan. Sekali-kali jangan demikian! Sesungguhnya ini adalah sebuah peringatan!

Simbol kaum papa

Peringatan? Peringatan buat siapa? Sesungguhnya melalui Muhammad SAW, Allah sedang mmeberi peringatan kita semua, ummat Muhammad. Peristiwa yang telah diangkat Allah ke dalam Alquran ini, mempunyai makna simbolis tertentu yang buat kita renungi. Siapakah Abdullah bin Ummi Maktum yang tua, lemah, buta dan compang-camping? Ia telah muncul sebagai simbol masyarakat bawah, kaum miskin yang papa, kaum jelata yang selalu diinjak-injak dan dilindas proses sejarah dari sesuatu yang diberi label megah: kemanusiaan. Kaum yang selalu ditinggalkan sebagai bagian paling bawah dan hina dari bangunan peradaban. Para paria yang dilarang makan bersama, mandi, berkumpul dalam satu tempat dengan para bangsawan yang mengaku setengah dewa. Para gelandangan dikejar-kejar, didesak dan disingkirkan ke pinggir dan semakin ke pinggir dengan alasan mengotori keindahan tata-kota, yang telah diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberikan kepuasan bagi mata para ‘dewa’ yang memandangnya. Para buruh yang setiap hari makin dipersarat beban hidupnya lantaran proses pemiskinan yang makin menghisap. Para petani gurem yang setiap hari mesti ‘jelalatan’ kian kemari, memeras keringat buat satu  atau dua suap nasi yang harus dimakan anak isterinya. Para bayi yang setiap hari menangis, menghabiskan tetes terakhir air matanya yang suci, karena tetek ibunya tak lagi mengalirkan susu. Para isteri nelayan yang setiap malamnya mesti menyediakan tubuh untuk dilalap para tuan yang kelebihan uang, cuma untuk dapat bertahan hidup di tengah putaran zaman yang semakin mengabaikan mereka. Orang-orang yang setiap hari jatuh mati tanpa sempat dicacat statistik. Jutaan kanak-kanak yang hidup serba kekurangan dalam segala hal, sementara sebagian kecil orang sudah mulai berpikir tentang koleksi mobilnya, tv berwarna, video dan seabrek, program kenikmatan lainnya. Jutaan orang miskin yang hidup tergagap-gagap di tengah persaingan yang tajam dan kejam dari orang-orang yang berlomba memuaskan diri sendiri.

Siapakah Abdullah bin Ummi Maktum? Dialah simbol kaum yang lemah, yang buta matanya karena mesti berpikir tentang perut setiap detiknya, yang compang-camping karena pakaian mereka setiap hari dirobek-robek peradaban. Setiap hari mereka jatuh, bangun, terseret-seret, di tengah gelombang kehidupan yang diciptakan orang lain bagi mereka. Beribu-berjuta Abdullah bin Ummi Maktum setiap hari mengetuk pintu rumah kita, berteriak, pada kita, menangis di depan kita, terjatuh di samping kita, memegangi kaki kita, mencoba membuka ‘dialog’ dengan kita; tapi tak pernah kita pedulikan. Sedang Allah, lewat simbiolisasinya, telah melarang kita bermuka masam dan berpaling dari mereka. Kita diperintahkan-Nya untuk lebih memperhatikan kepentingan mereka, bukan cuma lewat retorika dakwah yang verbal, tapi, lebih-lebih, lewat hal-hal yang lebih kongkrit.

Rupanya, zaman telah berubah. Banyak orang kini tampak lebih senang memilih peran jadi Abunawas-Abunawas, yang selalu mengaksentuasikan dakwahnya secara vertikal pada para elite. Ini bukan gejala yang menggembirakan, tentu saja. Apabila bila mazhab Abunawas ini malah dipegangi sebagian besar orang. Asumsi mereka cuma satu: mencoba mempengaruhi historical engineering. Sebagian, memang, mencoba jadi Abunawas dengan maksud yang ‘mulia’ ini. tapi sebagian lainnya. Tapi sebagian lainnya, sengaja jadi Abunawas, supaya dapat kursi empuk. Menjadi Abunawas, punya resiko: kehilangan tali penghubung dengan para Abdullah bin Ummi Maktum. Para Abunawas jadi tampak tak punya akar. Mereka malah kadang-kadang mirip benalu, yang akan mati bila dicampakkan dari pohon tempat ia numpang hidup. Tahu akibatnya? Anekdot Abunawas di atas belum selesai. Begini lanjutannya:

Abunawas yang bingung lantaran gegar otak, jadi tambah bingung lagi lantaran para menteri, yang tak mau melihat rajanya kehilangan muka di mata masyarakat, langsung saja esok harinya memasang poster besar-besar di dinding-dinding kota. Isinya: dengan ini diumumkan pada masyarakat luas, bahwa dari kejadian kecelakaan kemarin, terbuktilah ke ‘cemerlangan’ otak sang Raja, sehingga beliau yang amat kita hormati-hormati itu sempat berpikir untuk menyelamatkan diri dari bencana. Dan, dari kecelakaan kemarin pula, terbuktilah bahwa Abunawas sama sekali tak punya otak, sehingga harus mengalami luka-luka berat. Sekian. Harap maklum adanya. Nah!

Sumber: Panji Masyarakat No. 434 – 11 Juni 1984

Tentang Penulis

Avatar photo

Anis Sholeh Ba'asyin

Budayawan, lahir di Pati, 6 Agustus 1959. Aktif menulis esai dan puisi sejak 1979. Tulisannya tersebar di koran maupun majalah, nasional maupun daerah. Ia aktif menulis tentang masalah-masalah agama, sosial, politik dan budaya. Di awal 1980an, esai-esainya juga banyak di muat di majalah Panji Masyarakat. Pada 1990-an sempat istirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kiai sepuh di Kajen - Pati. Juga ke KH. Muslim Rifai Imampuro, Klaten. Sebelumnya 1980an mengaji pada KH. Muhammad Zuhri dan Ahmad Zuhri serta habib Achmad bin Abdurrahman Al Idrus, ahli tafsir yang tinggal di Kudus. Mulai 2001 kembali aktif menulis, baik puisi maupun esai sosial-budaya dan agama di berbagai media. Juga menjadi penulis kolom tetap di beberapa media. Sejak 2007 mendirikan dan memimpin Rumah Adab Indonesia Mulia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan non formal, penelitian, advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Karya lainnya, bersama kelompok musik Sampak GusUran meluncurkan album orkes puisi “Bersama Kita Gila”, disusul tahun 2001 meluncurkan album “Suluk Duka Cinta”. Sejak 2012, setiap pertengahan bulan memimpin lingkaran dialog agama dan kebudayaan dengan tajuk ”Ngaji NgAllah Suluk Maleman” di kediamannya Pati Jawa Tengah mengundang narasumber tokoh lokal maupun nasional.

Tinggalkan Komentar Anda