Cakrawala

Kolom Ahmad Tohari: Menyalurkan Keberingasan

Written by Panji Masyarakat

Ketika almarhum Buya Hamka menyatakan pendapat, bahwa para jamaah haji yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang beberapa tahun lalu di Sri Lanka sebagai syahid dua kali, maka tanggapan yang bernada menentang pun meletup. Kita masih ingat betapa Buya, seorang tua yang dituakan karena integritas keislamannya sampai berkata agak di luar takaran. “Saya ini sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Saya sadar betul akan apa yang saya ucapkan!”

Yang mendorong Buya berkata demikian dalam, adalah beringasnya tanggapan yang tidak setuju akan pendapat beliau tentang kesyahidan para jama’ah haji tersebut sampai ada orang yang meragukan integritas keislaman beliau. Hal yang hampir sama dialami oleh Abdurrahman Wahid. Kolumnis yang telah diakui kebolehannya oleh masyarakat muslim dan kalangan luar ini dianggap bukan muslim oleh seorang dari Medan, karena Wahid menyatakan pendapat bahwa belum pernah terjadi sebuah Islamic state dalam arti yang sebenar-benarnya. Terakhir, K.H. As’ad Syamsul Arifin, pemimpin pondok pesantren Asembagus Situbondo langsung atau tidak telah dianggap kafir oleh seorang pelajar Indonesia yang sedang merantau di Tanah Suci.

Tanpa memasuki wilayah pro dan kontra, saya ingin mengetengahkan masalah ini untuk mengambil hikmahnya. Dari ketiga kasus tersebut ada satu kesamaan, yaitu ketiga-ketiganya mengembang melalui jalur media massa. Baik Buya, Abdurrahman Wahid dan K.H. As’ad tidak ber-muwajahah dengan para penyanggahnya. Namun para penyanggah sudah bisa menjatuhkan penilaian (bahkan menghakimi) ketiga tokoh tersebut. Pertanyaan saya; hanya melalui informasi di sebuah majalah atau harian, bisakah seorang muslim menghakimi sesamanya?

Sabar dan Sabar

Islam mengajarkan sikap sabar bila kita menghadapi suatu masalah. Sesungguhnya orang-orang berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh serta saling berpesan dalam kebenaran dan kesabaran. Guru ngaji saya memberi makna kalimah “sabar” sebagai sikap aktif untuk mengetahui dan memahami suatu permasalahan secara menyeluruh, kemudian menghadapinya atas dasar tawakal. Mengetahui dan memahami permasalahan secara menyeluruh berarti mencari tahu latar sebab, latar kondisi, dan latar situasi yang menyebabkan kelahiran masalah tersebut, kemudian mencari tahu jalan keluarnya. Menurut penafsiran guru ngaji saya ini, ‘sabar’ sama sekali tidak terbatas sebagai sikap yang tidak emosional atau tergesa-gesa seperti pemahaman yang populer dewasa ini.

Kembali kepada persoalan di atas, khususnya yang menyangkut pribadi K.H. As’ad Syamsul Arifin. Saya percaya, tak seorang muslim pun ingin merugi karena meninggalkan kesabaran. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin menyatakan sikapnya secara tuntas terhadap pendapat ulama tersebut selayaknya lebih dulu mempelajari secara sungguh-sungguh dalam berbagai sisi pandang dan persepsi, mengapa K.H. As’ad mengeluarkan pernyataan demikian. Hal ini yang menyangkut dalil, argumen lainnya serta maksud pernyataan itu. Barulah sesudah itu orang bisa menyatakan setuju atau tidak. sedangkan untuk mengkafirkan seseorang baik secara langsung maupun dengan cara lainnya, nanti dulu. Berdiri bulu kuduk saya bila teringat besarnya konsekuensi menganggap kafir seseorang. Misalnya ketika seorang santri K.H. As’ad di depan sebuah majelis berkata lantang; “Kami pemuda Madura bersedia mati membela Kyai As’ad karena beliau guru kami!”

Kalau murid K.H. As’ad yang doktorandus itu sampai berkata demikian beringas, maka sungguh sudah sampai saatnya semua pihak menahan diri. Memperpanjang urusan ini hanya banyak menimbulkan rugi daripada untung bagi ummat Islam secara keseluruhan. Kita percaya, ada tempat yang cukup dalam Islam untuk berbeda pendapat, tetapi tidak sejauh menganggap kafir sesama muslim.

Siapa Kiai As’ad

Dalam persepsi kesabaran, seperti yang saya sebut di atas, ada baiknya kita catat data pribadi pemangku pondok pesantren Salafiyah Asembagus ini. Beliau berusia 84 tahun. Kini memimpin dan mendidik 3500 santri laki-laki dan perempuan dalam kompleks pesantren seluas 7 hektar. Di mana di dalamnya terdapat juga madrasah dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Pada zaman revolusi, beliau memimpin perjuangan bersenjata dan kehilangan lebih seribu orang santrinya yang gugur dalam pertempuran. Pernah menjadi anggota Konstituante dan kini duduk sebagai ketua Syuriah NU Cabang Situbundo. Di bidang kekayaan, beliau termasuk jutawan namun memilih cara hidup zuhud, dan tinggal dalam sebuah rumah tua berdinding papan dan berlantai tanah. Beliau memimpin langsung setiap pembangunan di komplek pesantrennya dengan cara ikut aktif menjadi tukang batu. Sampai usianya yang demikian lanjut itu, K.H. As’ad telah 22 kali menunaikan ibadah haji.

Data pribadi K.H. As’ad ini tidak mempunyai kekuatan positif untuk mengikat seseorang harus sependapat dengan beliau. Tetapi tidak bisa disangkal, data tersebut adalah cermin keikhlasan yang konsisten dan utuh, yang membentuk sebuah pribadi yang layak dihormati. Pengaruh pribadi yang kuat selalu mampu menembus lingkaran batas kelompok. Buya Hamka, misalnya dihormati orang secara luas bukan hanya karena beliau orang Muhammadiyah, melainkan karena nilai pribadinya. Khomeini dihormati oleh berjuta-juta orang, bukan hanya karena Syia’hnya, melainkan karena prinsip-prinsip nilai yang membentuk identitas pribadinya. Maka mengecilkan arti, apalagi menghakimi secara tergesa-gesa pribadi-pribadi semacam itu tentu mempunyai dampak yang tidak menguntungkan. Bahkan, kadang berbalik menjadi bumerang yang mengecilkan arti orang yang membuat keputusan tergesa-gesa itu.

Saya mengimbau semua sahabat yang tidak sependapat dengan K.H. As’ad menyempatkan diri bersilaturahmi kepada beliau. Berdialog secara langsung, adalah cara paling baik untuk memecahkan suatu masalah. Boleh jadi sesudah itu akan terjadi kesamaan pendapat. Atau, masing-masing pihak tetap berada pada pendapat sendiri. Tak mengapa, toh setidaknya akan tercipta saling pengertian yang lebih baik. Dan jangan lupa aspek adab ada pada setiap sudut Islam, termasuk adab menyalurkan keberingasan. Sabar adalah aktualisasinya.

Ahmad Tohari

Penulis:  Ahmad Tohari, sastrawan dan budayawan, kini menetap di Jatilawang Banyumas. Selain menulis novel dan cerpen, mantan wartawan ini juga seorang kolumnis. Salah satu karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diangkat dua kali dalam layar lebar dengan judul yang berbeda: Darah dan Mahkota Ronggeng (1983), dan Sang Penari (2011)    Sumber: Panji Masyarakat  No. 420, 21 Januari 1984

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda