Ads
Mutiara

Lee Kuan Yew, Soeharto dan Keluarga,  Demokrasi dst.

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Menurut Lee, masalah Soeharto selain karena kesehatan yang menurun, juga ditambah oleh berbagai gangguan yang muncul akibat anak-anaknya yang ikut dalam berbagai kontrak yang menguntungkan dan monopoli. Apa  katanya tentang Marcos, apa bedanya dengan Soeharto. Ia juga bicara  demokrasi,  pendidikan, dan kepemimpinan. 

“Allahu Akbar! Hidup Pak Harto!” 

Itulah teriakan Mafait Harahap begitu Lalu Mariyun selesai membacakan ketetapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.  Kamis 28 September 2000, Majelis Hakim memang menetapkan bahwa penuntutan perkara pidana korupsi atas nama terdakwa Haji Muhammad Soeharto alias Soeharto tidak dapat diterimanya dan karena itu sidangnya harus dihentikan. Majelis yang diketuai Lalu Mariyun itu juga membebaskan bekas penguasa Orde Baru itu dari tahanan kota. Majelis berpendapat, tidak ada jaminan Soeharto dihadapkan di persidangan karena alasan kesehatan. Hasil pemeriksaan Tim Penguji Kesehatan Soeharto menunjukkan, secara medis kondisi fisik maupun mental presiden terlama RI ini tidak baik untuk disidangkan  (unfit to stand trial), dan hal itu bersifat permanen.

Dua pekan sebelumnya, juga pada hari Kamis, Lee Kuan Yew menyatakan, pengadilan korupsi atas nama Mantan Presiden Soeharto merupakan kekeliruan. “Perlakuan  seperti itu akan menimbulkan masalah pada solidaritas dan membaiknya ekonomi Indonesia,” kata Lee pada jumpa pers saat peluncuran buku riwayat hidupnya From Third World to First: Singapore History. Menteri senior ini menegaskan, bekas orang kuat Indonesia itu tidak pantas diperlakukan demikian, sekalipun apabila dia itu brengsek. 

Lee memang mengejek pendapat bahwa pengadilan Soeharto diperlukan Indonesia untuk memperlihatkan pada masyarakat Internasional bahwa kita  serius dengan korupsi. “Saya tetap berpendapat bahwa itu kekeliruan. Hal itu hanya akan menimbulkan disintegrasi dari sistem yang telah dia bangun dan akan menimbulkan problem yang lebih serius bagi Indonesia,” ujar Lee Kuan Tuew yang juga bapak pendiri Singapura ini. “Perdamaian dan stabilitas lebih penting dibanding apa yang muncul dari pengadilan itu,” tambahnya.

Lee juga membela sang Jenderal  Besar yang ia katakan sebagai seorang yang telah memainkan peran kunci dalam menjamin stabilitas di kawasan Asia Tenggara. “Sebab dengan mengonsentrasikan diri pada pembangunan ekonomi, dia memberikan pada Indonesia dan tetangganya 32 tahun stabilitas dan pertumbuhan. Saya tak pernah bisa melupakan itu,” ujarnya.

Kita tidak tahu apakah Hakim Mariyun (wafat 24 Juli 2020 akibat Covid-19) membaca pernyataan Eks  Perdana Menteri Singapura itu. Yang pasti, meski mungkin alasannya berbeda, Pak Hakim pun menolak pengadilan korupsi itu. Yang jelas, menurut Jaksa Agung Marzuki Darusman, penetapan hakim itu mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Dengan penetapan itu, kata Jaksa Agung, peluang rakyat dan Soeharto untuk mendapatkan proses pengadilan yang fair dan terbuka telah gagal. 

From Third World to First merupakan kelanjutan memoarnya yang terbit pada 1998, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew, yang kontroversial itu. Mendahului kedua buku tadi, pada tahun 1997 tiga wartawan Straits Times, Han Fook Wang, Warren Fernandez, dan Sumiko Tan, menerbitkan Lee Kuan Yew: The Man and His Ideas. Buku yang ditulis berdasarkan wawancara dengan sang tokoh ini laku bak kacang goreng—200 di antaranya terjual dengan harga khusus, US$ 10.000 per kopi. Kitab biografi yang satu ini juga dinilai kontroversial karena memuat pernyataan-pernyataan Lee yang dinilai tidak lazim. Misalnya soal kepemimpinan dan demokrasi. 

Tapi, mengapa Lee merasa perlu bicara soal pengadilan Soeharto? Dalam buku yang terbit bertepatan dengan usia Lee yang ke-77 itu memang ada satu bagian, 40 halaman, tentang Indonesia. Sebagian besar mengenai Soeharto.

Syahdan, pada Maret 1998, Mantan Presiden AS Walter Mondale membawa sebuah pesan dari Presiden Clinton untuk Soeharto. Kemudian, ia menemui PM Goh Chok Tong dan Menteri Senior Lee Kuan Yew dalam perjalanan pulangnya. Dia bertanya kepada Lee:

“Anda tahu Marcos. Apakah dia pahlawan atau begundal (crook)? Bagaimana Soeharto dibandingkan Marcos? Apakah Soeharto patriot atau seorang begundal?”

Lee menjawab bahwa Marcos awalnya mungkin pahlawan, tetapi ujungnya ia seorang brengsek. Soeharto berbeda. Kata Lee, Soeharto melihat dirinya  sebagai seorang sultan besar dari sebuah negara besar. Dia yakin bahwa anak-anaknya punya hak-hak istimewa. “Dia memandang dirinya seorang patriot. Saya tidak ingin mengklasifikasikan Soeharto sebagai begundal.”

Lee juga mengungkapkan,  dia bertemu dengan dua putri Soeharto saat puncak krisis keuangan Asia tahun 1997 dan 1998 guna memberi tahu gejolak yang sedang dialami Indonesia berkaitan dengan anjloknya nilai rupiah. “Khawatir atas melemahnya kurs rupiah yang begitu cepat, saya kontak duta besar kami di Jakarta guna meminta Tutut jika dia dapat bertemu dengan saya di Singapura untuk menyampaikan pesan saya kepada ayahnya.”

Pertemuan dengan Tutut berlangsung pada Hari Natal tahun 1997, juga dihadiri PM Goh. “Saya tegas-tegas mengatakan kepadanya dan juga saudara-saudaranya agar memahami bahwa fund manager internasional di Jakarta memfokuskan perhatian pada perlakuan ekonomi khusus yang dinikmati mereka.” Lee kemudian menyarankan agar mereka mundur total dari pasar dan tidak ikut-ikutan dalam berbagai proyek baru.  Pada kesempatan itu Lee juga bertanya secara terbuka kepada Tutut, apakah dia bisa menjamin bahwa pesan itu bisa dipahami oleh saudara-saudaranya.

“Dia kemudian menjawab secara jujur bahwa dia tidak bisa,” tutur Lee menirukan jawaban Tutut. Lee mengaku dia terus mengirim laporan pasar harian dari para analis di Singapura menyangkut Indonesia kepada Siti Hardiyanti Rukmana a.k.a Tutut itu. Alasannya, guna menilai berbagai tindakan dari anak-anak Soeharto, namun hal itu tidak berpengaruh kepada mereka.

Anak Soeharto lainnya yang ditemui Lee adalah Siti Hediati Prabowo alias Titiek  (sekarang lebih dikenal  Titiek Soeharto karena sudah cerai dengan Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra dan menteri Pertahanan). Pada pertemuan  Januari 1998 itu Titiek mengaku datang ke Singapura atas sepengetahuan ayahnya guna menjajaki surat berharga dalam dolar Amerika.

Pada akhirnya, menurut Lee, masalah Soeharto selain karena kesehatan yang menurun, juga ditambah oleh berbagai gangguan yang muncul akibat anak-anaknya yang ikut dalam berbagai kontrak yang menguntungkan dan monopoli.

Lahir di Singapura pada 16 September 1923 (wafat 23 Maret 2015), Lee adalah tertua dari lima bersaudara anak Lee Chin Koon dan Chua Jim Neo. Dia adalah generasi ketiga dari imigran Cina asal Guangzhou. Chin Koon bekerja sebagai penjaga toko dan mengurus beberapa depot minyak milik Shell di Johor Bahru, Stulang, dan batu Pahat setelah usaha ayahnya, Hoon Leong (kakek Lee), gulung tikar di tengah depresi ekonomi dunia tahun 1929-1932. Hanya itu yang bisa dikerjakan Chin Koon, karena ia Cuma lulusan sekolah setingkat SMP. Setelah ayahnya jatuh miskin Lee memang mulai memahami pentingnya pendidikan. “Saya harus punya profesi untuk menghadapi kesulitan hidup,” kata Lee suatu ketika.

Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan bagi Lee bukan hanya alat untuk meraih profesi atau sarana mendapat uang, melainkan terutama menjadi sumber kesadaran bahwa uang tidak bisa membeli kekuasaan dan kebahagiaan. “Saya tidak habis pikir, Marcos mewariskan beban utang US$ 27 miliar kepada rakyat Filipina. Mungkin dia butuh uang untuk membeli dukungan rakyat,” kata Lee yang menjadi orang nomor satu pada 1959 dan mengundurkan diri pada 1990.

Bagi Lee, memerintah dengan sistem demokrasi Barat di negerinya sulit, karena banyaknya warna unsur etnis dan agama. Menurutnya, pemerintahan akan kuat jika partai berkuasa menang mutlak di parlemen. “Demokrasi di Asia hanya bisa berjalan jika partai yang memerintah menang mutlak. Kalau partai besar masih bergantung pada koalisi, sistem mudah rusak karena perpecahan.”

Pendiri Singapura ini juga percaya pada pandangan Nicolo Machiavelli tentang rasatakut rakyat pada para pemimpinnya. Macgiavelli adalah teoretikus politik Italia abad ke-16 yang terkenal dengan ucapannya “tujuan menghalalkan cara”. “Sebagai pemimpin, saya lebih suka ditakuti daripada dicintai rakyat,” ungkap Lee. “Agar lebih mudah memerintah, maka apa yang saya katakan, akan saya katakan secara tegas dan keras. Kalau saya sudah bilang, “Tolong jangan lakukan itu, dan Anda melakukan itu, maka saya tidak akan main-main. Saya akan menghukum Anda secara terbuka. 

 Menurut Lee, peristiwa berdarah di Tiananmen, 4 Juni 1989, menunjukkan  betapa pentingnya rasa takut rakyat terhadap pemimpinnya. Lewat televisi, setiap malam dia mengamati peristiwa itu. Lee tidak kaget ketika membaca slogan-slogan yang dibawa para demonstran mahasiswa prodemokrasi yang umumnya menggugat korupsi, nepotisme, dan inefisiensi. Tapi di hari ke10, ketika dia melihat tulisan sebuah slogan yang isinya menyerang Deng Xiaoping, orang paling berkuasa di Cina kala itu, Lee berteriak pada anaknya, “Lihat Nak, Deng Xioping tak bisa lagi memerintah, karena  tidak lagi ditakuti rakyatnya. Rakyar tidak ikan menghargai dia lagi.”

 “Tak perlu menggubris protes rakyat. Yaya pemimpin. Saya tahu akibat keputusan saya. Apa Anda pikir tukang es tahu akibat pilihannya? Ah, itu kan tulisan para wartawan Barat saja bahwa tukang es juga tahu. Dengan cara inilah tampaknya Barat mau menciptakan mitos agar kita mengikuti mereka,” kata Lee. “Kalau mayoritas penduduk Anda masih buta baca-tulis. Sebagai politikus, Anda lebih baik menyodorkan iming-iming daripada memukuli mereka,” katanya dalam Lee Kuan Yew, The Man and His Ideas. 

Meski sudah tidak menjadi PM, setiap pernyataan Lee selalu menjadi perhatian para pemimpin dunia. Mereka kagum pada Lee karena di balik sikapnya yang keras dan cenderung otoriter, Lee tetap bersih.

From Third World To First, meski ditampik Lee, sebenarnya merupakan buku pintar bagaimana membangun ekonomi dan pemerintahan yang bersih. Selain berisi tangkisan-tangkisan Lee tentang sikapnya yang represif terhadap pers, perilaku otoriternya, dan praktik-praktik nepotisme—putra tertuanya Lee Hsien Loong alias BG Lee adalah deputi PM (sekarang PM, menggantikan Goh Chok Tong pada 2004) , sedangkan si bungsu Hsien Yang adalah CEO Sing Tel (1995-2007) dan pernah menjabat sebagai ketua Otoritas Penerbangan Sipil Singapura.  Kata Lee, buku ini hanya ingin bercerita tentang sejumlah persoalan yang dihadapi Singapura dan bagaimana dia memecahkannya. Lee memang sukses mengantar Singapura dari sebuah wilayah kecil jajahan Inggris yang miskin dan tak punya masa depan, menjadi sebuah negara  paling maju di kawasan Asia setelah Jepang. 

Kalau Indonesia adalah sebuah garis, panjangnya sama dengan jarak London-Teheran. heran, Singapura hanyalah sebuah titik. Dan, Lee Kuan Yew-lah yang menjadikannya pusat di antara titik-titik pusat bisnis internasional. Kuncinya sederhana saja  pendidikan dan pemerintahan yang bersih.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda