Ads
Aktualita

Tiga Sebab Kegagalan Orde Baru

Avatar photo
Ditulis oleh B.Wiwoho

Buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru menceritakan dengan halus dan santun kegagalan pemerintah karena tiga sebab, yaitu kepemimpinan yang terlalu lama, hilangnya kebersamaan diantara penentu kebijakan serta suasana politik yang belum dapat terkelola sejak awal pembangunan.  Demikian penilaian Guru Besar Universitas Gajah Mada yang juga memiliki jam terbang panjang dalam pemerintahan, Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat.

Buku ini menggambarkan wujud nyata pelaksanaan cita-cita berbangsa dan bernegara sesuai jati- diri bangsa, Pancasila sejati, Pancasila dari berbagai sudut pandang: sosial- budaya, ekonomi, politik, tatanegara. “Saya percaya dengan mengambil patisari dan hikmah buku Tonggak-Tonggak Orde Baru, bisa menjadi pedoman langkah hidup dan kehidupan anak cucu, generasi muda  penerus kita.”

Dalam sambutan dan endorsement buku, Prof.Gunawan menyatakan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Orde Baru telah menanam tonggak penting dalam sejarah pembangunan bangsa. Perjalanan panjang Orde Baru selama 32 tahun, sejalan, dan bisa disejajarkan dengan konsep teori pembangunan yang dituliskan Michael Todaro dalam Economic Development In The Third World.

Teori yang dituliskan Todaro tahun 1980-an mirip perjalanan sejarah pembangunan bangsa Indonesia, yang dibagi dalam 3 bagian yaitu Pendahuluan, Masalah Domestik dan Masalah Internasional. “Saya memberi makna trilogi kehidupan manusia dari awal-tengah-akhir yang merupakan hirarki piramidal dan perubahan struktur masyarakat yang berkesinambungan. Pembangunan bangsa merupakan perubahan struktur masyarakat tradisional awal, transisi, dan masyarakat maju, modern, berakhir pada satu titik tertentu. Time frame. Proses sinergi pembangunan, pertumbuhan dan pemerataan, dalam satu sinergi, keseimbangan umum yang terukur dan dinamis. Menggambarkan perjalanan setiap negara yang membangun dari awal sampai akhir satu titik perubahan berikutnya.”

Dari pengalaman negara yang membangun menjadi teori pembangunan termasuk pertumbuhan linear, perubahan struktur, teori Harrod Domar, WW Rostow, dan mengukur kesenjangan dengan  koefisien  gini, yang       menarik   untuk      dijadikan referensi   adalah     mekanisme pasar murni tidak terjadi, yang ada adalah mekanisme pasar terkendali moral. Itulah semestinya yang menjadi pedoman perencanaan pembangunan. Mengacu pada Todaro yakni mekanisme pasar terkendali moral, maka kendali moral bangsa Indonesia adalah Pancasila.

Amat disayangkan, pengalaman yang terjadi di negara lain sebagaimana dituliskan oleh Todaro, tidak menjadi bahan pelajaran bagi para pemangku kebijakan. Sebagai akibatnya berbagai permasalahan multidimensional muncul dalam kehidupan sosial masyarakat.

“Buku Tonggak-Tonggak Orde Baru ini ditulis oleh Bambang Wiwoho, Pak Wiek, sebutan akrabnya, wartawan senior berpengalaman dan pelaku sejarah yang ikut banyak berperan dan menyaksikan perumusan kebijakan pembangunan nasional, tulisnya.

Pemerintah Orde Baru berusaha konsisten melaksanakan pembangunan dengan menuangkannya di dalam perencanaan yang dimulai dari penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dilanjutkan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dijabarkan secara tahunan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dengan berbagai program dan proyek pembangunan yang ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, dengan menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hanya dalam pelaksanaannya, ternyata memang tidak mulus, banyak tantangan dan gangguannya.

Gangguan dan Prestasi Pembangunan Orde Baru

Pada hemat mantan Deputy Bidang Ekonomi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (1996 – 1999) ini, beberapa hal yang mengganggu serta mengakibatkan perencanaan pembangunan menjadi tidak mulus antara lain, harapan atau semboyan bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya untuk Indonesia Raya, belum dipahami segenap warga bangsa. Secara teori pembangunan yang dituliskan oleh Todaro, itu disebabkan level pemahaman belum sama dan belum sampai pada tahapnya.  Upaya besar ini belum mampu mengimbangi perubahan-perubahan akibat pembangunan itu sendiri. Meskipun demikian prestasi Orde Baru sangat diakui oleh dunia khususnya dalam 3 hal: swasembada beras, keluarga berencana, dan wawasan kebangsaan yang menjadikan Indonesia disegani para negara tetangga dan dunia. Indonesia mendapat julukan macan Asia yang disegani negara tetangga, di semua benua Amerika, Eropa dan Australia.

Strategi kebijakan Orde Baru dalam menggerakkan sumberdaya pembangunan dari kekuatan masyarakat sendiri merupakan prestasi istimewa, yaitu meningkatkan penerimaan pajak melalui reformasi paket Undang Undang Perpajakan dan membangun sikap masyarakat gemar menabung. Pajak dan tabungan masyarakat dalam teori pembangunan linear merupakan prasyarat utama bagi setiap negara yang membangun. Secara teori pembangunan, tabungan masyarakat meningkat sebagai akibat peningkatan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan pengelolaan keuangan masyarakat yang baik. Sedangkan pengenaan pajak dan penggunaannya, meskipun dalam pelaksanaannya mendapatkan pemahaman yang berbeda, adalah wujud nyata ekonomi Pancasila, kerjasama, gotongroyong, saling membantu, dalam mekanisme pendapatan dan belanja negara. Yang kuat membantu yang lemah, yang lebih maju membantu yang masih tertinggal. Pajak dikenakan kepada yang kaya, yang miskin mendapat subsidi untuk menumbuhkan  produksi,   meningkatkan   pendapatan   dan   mewujudkan kesejahteraannya.

Pajak dan tabungan masyarakat merupakan sumber penerimaan dan belanja negara yang menjadi instrumen penting dalam pembangunan bangsa. Pemerintah Orde Baru berusaha keras menjaga anggaran berimbang dengan mengelola keuangan negara, meskipun ada ketidakmampuan menjaga anggaran berimbang disebabkan beberapa hal, antara lain kebutuhan pembangunan yang memerlukan dana investasi besar dan dorongan pengaruh dari luar yang mengharuskan masuknya investasi dari luar negeri.

Koreksi   orientasi pertumbuhan dengan pemerataan dalam Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan walau sudah dicanangkan pada Repelita III dan IV, berjalan lambat dan baru nampak lebih tegas dilaksanakan pada Repelita V setelah menanggapi keluhan masyarakat. Melalui Inpres 5 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, pemerintah membuat perubahan besar yang secara tegas memberi kepercayaan kepada masyarakat khususnya rakyat desa menjadi pelaku pembangunan, melalui program Inpres Desa Tertinggal.

IDT dilengkapi dengan berbagai program dan gerakan pembangunan daerah, yang meliputi pembangunan prasarana fisik,     jalan, jembatan, tambatan perahu, dan pengelolaan keuangan yang melanjutkan kebijakan nasional menabung, pengelolaan keuangan masyarakat yang baik dan sadar membayar pajak untuk pendanaan pembangunan nasional. Pengelolaan keuangan yang baik, selanjutnya saat ini dikenal dengan literasi keuangan dan inklusi keuangan.

Program IDT pada hemat Pimpinan Proyek Program IDT (1993 – 1996) ini kemudian berkembang menjadi P3DT (Proyek Peningkatan Pembangunan Desa), PPK (Program Pengembangan Keca- matan), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), dan menjadi landasan disusunnya UU Desa nomor 6 tahun 2014.

Jika dicermati dengan benar teori Todaro tentang False Paradigm, paradigma yang keliru, terjadi dalam hal pinjaman luar negeri yang berlanjut sampai saat ini. Terkesan menjadi ketergantungan negara pada pinjaman luar negeri. Todaro mengingatkan pijaman luar negari tidak perlu dikawatirkan jika digunakan dengan baik untuk menggerakkan ekonomi masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, tabungan masyarakat, investasi, menjaga dan meningkatkan pertumbuhan nasional; dan lebih utama lagi, dapat membayar utang dari hasil pinjaman tersebut, sehingga tidak menjadi sumber kerisauan para pengamat pembangunan, bahwa pinjam uang untuk membayar hutang.

Di akhir Orde Baru, lanjut mantan Deputy Sekretaris Wakil Presiden (2000 – 2006) dan juga mantan Direktur Jenderal Permberdayaan Sosial Departemen Sosial (2006 – 2010), ego sektoral terlalu kuat dan kesenjangan tetap lebar, meski pertumbuhan ekonomi tinggi. Pemerintah tidak mampu mengendalikan tuntutan masyarakat. Pada saat bersamaan terjadi krisis moneter dunia, khususnya di Asia Tenggara. Akumulasi berbagai persoalan itu menimbulkan gejolak politik, sehingga Orde Baru pun runtuh. Kejadian seperti itu dalam teori pembangunan digambarkan oleh Todaro sebagai kegagalan pemerintah.

“Pak Wiek menceritakan dengan halus dan santun kegagalan pemerintah ini dengan tiga sebab: kepemimpinan yang terlalu lama, hilangnya kebersamaan diantara penentu kebijakan serta suasana politik yang belum dapat terkelola sejak awal pembangunan.”  Namun Orde Baru telah menanamkan tonggak pembangunan  bangsa yang benar, pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, meskipun konsep ini belum dipahami dengan benar oleh sebagian pemangku kebijakan pada masa itu, disamping itu masyarakat – rakyat banyak juga belum sempat mendapatkan pemahaman yang benar. Orientasi pembangunan masih terasa memihak pertumbuhan, masih memihak masyarakat yang lebih mampu dan kuat, disamping itu relatif kurang memperhatikan potensi masyarakat yang memang masih lemah dan belum sempat diberdayakan dalam satu repelita.

Kita harus berani jujur mengakui, peluang besar pembangunan ke depan adalah melanjutkan tonggak-tonggak Orde Baru yang sudah baik, serta memperbaiki yang salah atau rusak. Pembangunan harus terus mencerminkan keinginan masyarakat dari, oleh, dan untuk rakyat. Pembangunan melaksanakan cita cita kemerdekaan para pendiri bangsa. Oleh sebab itu konsep pembangunan harus sesuai dan melaksanakan UUD1945 serta berdasarkan Pancasila.

Pembangunan demi mewujudkan cita-cita yang secara tegas dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, harus dilaksanakan secara konsisten, walau banyak gangguan, tantangan, dan ada masyarakat yang belum paham hakikat pembangunan berbangsa dan bernegara.  

Kegagalan Orde Baru seperti sudah digambarkan Todaro adalah Government Failure yang tidak menjaga komitmen kebersamaan lintas pemangku kepentingan yang dikenal sebagai Pentahelix, yaitu unsur Pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media untuk bersatu padu dan berkomitmen mengembangkan potensi  nasional.

Kembali ke Jatidiri Bangsa

Intisari buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru ini istimewa, mudah dipahami dan semakin paham bahwa kita harus kembali ke jatidiri bangsa, Pancasila, yang dimulai dari diri sendiri, dengan sadar akan tiga hal, yaitu:

1. Sadar Sangkan paran dumadi, asal usul kejadian atau kehidupan kita, hakikat dan tugas kita hidup di dunia sebagai khalifah fil ardNya, sebagai utusanNya, serta tujuan akhir kehidupan kita, yang akan kembali ke alam baka tanpa membawa apa-apa kecuali amal kebaikan dan amal soleh kita.

2. Sadar Manunggaling kawula-Gusti Allah, menyatunya karsa, kehendak dan nafsu kita dengan sifat-sifat mulia Tuhan. Menya- tunya perbuatan kita dengan kehendak Allah yang di amanahkan kepada kita, untuk mewujudkan rahmat bagi semesta alam.

3. Sadar Hamemayu hayuning bawono, melestarikan keindahan dan keharmonisan alam raya seisinya, rahmatan lil alamin. Rahmat bagi sesamanya, hidup bersama di alam semesta secara harmonis, mensyukuri keindahannya.

Orde Baru sudah berjuang menanamkan pemahaman Pancasila secara final, namun    memang  masih meninggalkan pekerjaan rumah berupa pelaksanaan yang seharusnya taat asas lagi istiqomah, dengan memberi makna Pancasila dari berbagai sudut pandang yaitu sosial budaya, ekonomi, politik tatanegara, dari sudut pandang alamiah, ekonomi, konstitusi.

Dengan jujur perlu disampaikan memang juga perlu ada sosok- sosok yang mampu membangun mekanisme pemasyarakatan yang secara sistem serta keteladanan, dapat memberikan penjelasan kepada segenap khalayak sehingga bisa memahami dan melaksanakannya. “Saya membaca naskah buku ini semenjak draft pertama Maret 2021, bahkan beberapa hari sebelum menorehkan komentar ini, Pak Wiek juga menuliskan dalam Bagian Penutup dan Epilog, pendapat saya tentang perlunya mewujudkan dan membangun Negara Pancasilais, dari konsep ke implementasi, dimulai dari diri sendiri. Karena dimulai dari diri sendiri maka saya mencoba memberi contoh apa yang bisa kami lakukan, yaitu  bersama beberapa kawan membangun percontohan berupa Desa Digital Pancasilais.Agar lebih mudah dipahami dan menggalang semangat, maka kami beri judul yang menarik, yakni Desa Wisata Mandiri Pangan Bebas Covid-19. Proyek percontohannya dilakukan di tiga klaster desa: Bantul, GunungKidul dan Klaten.”

“Persahabatan kami (Gunawan Sumodiningrat dan B.Wiwoho), tulisnya dimulai dari bertemu pertama kali di Universitas Gadjah Mada, sewaktu saya masih menjadi Asisten Prof. Mubyarto tahun 1973, tatkala terjadi kemarau panjang yang ditumpangi oleh kelangkaan sarana produksi pertanian akibat permainan para pedagang. Sebagai wartawan muda, Pak Wiek ditugasi Harian Suara Karya untuk melakukan investigasi reporting tentang hal itu ke Yogya dan Jawa Tengah. Untuk itu ia meminta dukungan ahli ekonomi pertanian Prof.Mubyarto, sekaligus sebagai penulis kolom terkait reportasenya, sedangkan saya masih mahasiswa yang dipercaya menjadi asisten Prof. Muby. Bersamaan dengan itu ada seorang dosen dari Australian National University (ANU), Dr.Peter McCawley yang menjadi dosen tamu di UGM. Maka bergabunglah kami bersama melakukan kunjungan ke beberapa pedesaan. Foto kunjungan kami di muat di Harian Suara Karya, dan sempat menimbulkan masalah bagi Pak Wiek, karena disamping mengungkap masalah krisis pangan yang dianggap sangat peka, juga membawa orang asing ke pelosok desa, yang sangat tidak berkenan bagi Menteri Dalam Negeri pada saat itu.”

Dari ki-ka : Jasso Winarto, Prof Gunawan Sumodiningrat, Marie Muhammad, Djafar H. Assegaf, dan Bambang Wiwoho

  “ Kami berkunjung ke lokasi petani yang mengalami kesulitan pupuk urea di desa Jambon, Desa kelahiran Prof Mubyarto. Lanjut ke desa Ngaran, Nganjat, Polanharjo, Cokrotulung. Nyambung ke desa Jaten dekat Palur, Karanganyar, desa kelahiran Ibu Tien Soeharto, menginap di rumah kami di Solo.

Ternyata perjalanan kami ini bukan kebetulan, tapi memang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Desa-desa yang kami kunjungi waktu itu sekarang menjadi desa contoh nyata program kerja saya sampai saat ini. Desa Sidowayah, Desa Karanglo, Desa Nganjat dan Desa Tulung, Cokrotulung, dengan RiverMoon lokasi wisata milenial, dapat menjadi contoh kegiatan nyata kami. Kami berharap dapat terus dikembangkan menjadi Pusat Percontohan dan Pelatihan Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat seperti sudah pernah dibangun Pak Wiek di Sukabumi menjadi Center of Excellence, sebagai Pusat pelatihan Pembangunan Karakter Bangsa dari konsep sampai implementasi. Pusat pelatihan ini sebagai perwujudan cita-cita kami bersama sejak diskusi di berbagai kesempatan, dan awal pertemuan di UGM dan Klaten. Kegiatan kami ini semua menjadi tonggak-tonggak bersejarah, sejak awal perjalanan karier dan hidup saya.”

Buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU ini sangat menarik untuk dibaca dan perlu menjadi referensi utama mahasiswa yang belajar perekonomian Indonesia, demikian Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat.

 (Info dan nara hubung buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU WA  ke 08174892033).   

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading