Buya Hamka mempunyai banyak bidang kegiatan dan keahlian. Beliau ulama besar, pujangga sastrawan, wartawan. Bila seandainya beliau hidup dalam zaman Renaisans di Eropa maka orang, sesuai dengan cita-cita masa itu, akan menamakan beliau “Uomo universale”, manusia universal yang luas cakrawala tinjauannya, dalam timbaan ilmu pengetahuannya. Kalau dipikir betapa pendidikan formal beliau sumir belaka, maka hal itu mentercengangkan. Tetapi prestasi beliau itu tercapai karena beliau tiada henti-hentinya belajar sendiri, banyak membaca, suka berbincang. Sifat belakangan ini patut menjadi contoh bagi generasi muda sekarang yang ingin maju dalam dunia dan bertumbuh sebagai manusia utuh. Sifat butuh belajar sendiri itu juga harus dimiliki oleh setiap wartawan.
Buya Hamka di samping jadi ulama, pujangga, sastrawan, juga adalah wartawan. Siapa yang membaca riwayat hidupnya akan mengetahui hal ini. Banyak wartawan yang telah bekerja di Indonesia ini. Mereka datang dan pergi. Ada yang terkenal dan diingat orang. Ada yang tidak menimbulkan kesan dan meninggal dalam kesunyian diri. Ada yang berhasil dalam bidang materi dan ada yang berakhir jadi kapiran terlantar. Tetapi Buya Hamka saya yakin akan dicatat dalam sejarah kewartawanan sebagai wartawan yang besar, walaupun tidak pernah magang di Fleet Street di London atau membahas buku-buku teks jurnalistik karya profesor-profesor Columbia University di New York.
Buya Hamka sebagai wartawan mempunyai gaya bahasa yang bercorak tersendiri, khas, sukar dicari taranya. Karena beliau bukan hanya wartawan-tulis, melainkan juga wartawan-bicara, artinya ahli pidato—dan tidak semua wartawan merangkap kedua hal itu pada diri mereka—maka terlebih-lebihlah harus diperhatikan gaya bahasa Buya Hamka. Saya termasuk orang yang mempelajari ilmu mengarang Buya Hamka. Karena saya berusaha terus memperbaiki diri dalam mengarang dan juga karena saya kerap kali diminta mengajar bahasa dan komposisi di berbagai perguruan dan penataran, maka bagi saya mempelajari gaya dan cara mengarang Buya Hamka sesungguhnya banyak pelajaran dapat saya petik dari situ.
Bahasa Buya Hamka jernih, mudah dipahami, kecuali kalau kadang-kadang dipakainya kata-kata atau ungkapan khas Minangkabau dan ketika itu hanya orang awak saja yang tersenyum, sedangkan yang lain kurang dapat mengikuti. Kadang-kadang bahasanya mengingatkan orang kepada sastra klasik Melayu, dan di lain kali bahasanya modern sekali sifatnya ialah saklek, zakelijik. Lugas, dengan kalimat-kalimat pendek, hampir mirip gaya “staccato”. Tetapi kalau Buya Hamka sudah hanyut dalam dibawa oleh arus perasaan-perasaannya, maka bahasanya mengingatkan kepada “tukang-tukang kaba”, yang bercerita di Minangkabau tentang Si Bujang Rancak di Labuah, dan lain-lain.
Dalam ilmu komposisi dikenal berbagai jenis kalimat seperti “kalimat lepas”, “kalimat berkala”, “kalimat campuran”, dan “kalimat seimbang”. Dalam bidang itu diajarkan benar bagaimana harus menulis dengan logis dan dengan tesis, apa artinya pikiran sentral dalam sebuah paragraf, dan sebagainya. Saya kira Buya Hamka di masa mudanya tidak pernah belajar tentang prinsip-prinsip komposisi itu. Namun demikian orang yang mengajarkan ilmu komposisi seperti saya ini harus menggunakan karangan/tulisan Buya Hamka sebagai contoh paling tepat dan relevan. Apakah orang harus mengatakan Buya Hamka tidak memerlukan ilmu komposisi itu, karena beliau mempunyai bakat alami? Mungkin. Tetapi yang jelas ialah tulisan beliau bersifat komunikatif. Beliau menyampaikan gagasan utamanya dengan mudah, orang menerimanya dan memahaminya dengan mudah pula. Itulah antara lain ciri seorang wartawan besar.
Sejauh dapat dilihat ada tiga penerbitan tempat Buya Hamka sempat memastikan dirinya dan meninggalkan dampak mendalam di masyarakat yaitu majalah Pedoman Masyarakat di Medan di zaman penjajahan Hindia Belanda, majalah Panji Masyarakat dan Gema Islam di zaman Orde Lama ketika berlaku sistem demokrasi terpimpin dan majalah Panji Masyarakat di zaman Orde Baru (yang terbit kembali setelah dibredel Orde Lama, red). Masing-masing penerbitan itu harus dinilai dalam “setting” atau lingkungan historisnya yang tersendiri pula. Namun apa pun sifat penilaian itu, satu hal tetap konstan di dalamnya ialah peranan Buya Hamka sebagai wartawan dan peranan itu sungguh besar. Peranan sebagai juru ulas atau komentator zamannya, sebagai pendidik masyarakat, sebagai juru kunci atau penjaga nilai-nilai budaya dan ajaran-ajaran agama, sebagai penghibur terhadap mereka yang ditimpa duka nestapa dan memerlukan pegangan dan pedoman hidup, sebagai pembawa visi yang luas dan jauh jangkauannya; semua peranan itu dilaksanakan oleh Buya Hamka menurut situasi dan kondisi yang berbeda-beda, tetapi dengan selalu setia kepada integritas pribadinya karena beliau dibimbing dalam keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah terletak kelebihan Buya Hamka, dan karena itulah beliau wartawan yang besar.
Sekarang Buya Hamka telah tiada (wafat pada 24 Juli 1981, red). Beliau meninggalkan Panji Masyarakat untuk dilanjutkan oleh anak-anak beliau yang juga menjadi wartawan dan oleh generasi muda Islam lain yang berhimpun dalam majalah tersebut. Saya melihat Buya Hamka telah meletakkan landasan fondamen yang kukuh, dan tinggallah kini meneruskan usaha beliau itu sehingga di masa mendatang insya Allah Panji Masyarakat dengan bantuan dan doa kita sekalian meningkat terus perkembangannya untuk melayani umat, agama, bangsa dan negara kita bersama ini. (Setelah absen selama beberapa tahun, Panji Masyarakat, alhamdulillah, terbit kembali secara online)
.
Penulis: H. Rosihan Anwar (1922-2011), penulis, tokoh pers nasional, pendiri dan pemimpin Redaksi Harian Pedoman yang dibredel oleh pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.