Meski kebanyakan kita merasa punya belas kasihan, kita cenderung mengabaikan kebenaran-kebenaran yang masuk akal itu. Bukannya kita bersuka cita karena punya peluang ikut menyejahterakan sesama, malah kita hanya sibuk menyenangkan diri sendiri.
May I become at all times, both now and forever
A protector for those without protection
A guide or those who have lost their way
A ship or those with ocean to cross
A bridge for those with rivers to cross A sanctuary for those in danger
A lamp for those without light
A place of refuge for those who lack shelter
And a servant to all in need
Butir-butir hikmah itu ditulis Dalai Lama, sebagai doa bagi penutup bukunya Ancient Wisdom, Modern World. Yang diinginkan peraih Nobel untuk Perdamaian dan penulis The Art of Happiness itu boleh jadi keinginan kita juga. Menjadi pelindung mereka yang tidak punya perlindungan; penunjuk bagi mereka yang sesat; kapal bagi mereka yang tengah menyeberangi lautan; jembatan bagi orang-orang yang tengah menyeberangi sungai; lampu untuk orang-orang yang dalam gelap; sebuah tempat pengungsian bagi mereka yang tidak punya tempat bernaung; dan pelayan bagi mereka yang membutuhkan.
Bagi pemimpin bangsa Tibet yang kini hidup di pengasingan itu, welas asih adalah keharusan jika hidup kita ingin bermakna. Ia sumber kebahagiaan dan dasar dari hati yang baik, yang selalu bertolak dari keinginan menolong sesama. Semakin sering hati dan pikiran kita tersiksa oleh niat jahat, semakin menderita pula kita. Itu berarti, kata dia, kita juga menolak segalanya: agama, ideologi, dan segenap kearifan. Tapi, bisakah manusia berpaling dari rasa welas asih, yang disebut Dalai Lama sebagai agama sejatinya itu?
Yang jadi soal, jika semudah itu kebahagiaan bisa dicapai, mengapa begitu sulit kita merasakannya? Lagi pula, meski kebanyakan kita merasa punya belas kasihan, kita cenderung mengabaikan kebenaran-kebenaran yang masuk akal itu. Kata Dalai Lama, bukannya kita bersukacita karena punya peluang ikut menyejahterakan sesama, malah kita hanya sibuk menyenangkan diri sendiri.
Ia lahir 6 Juli 1935 dari sebuah keluarga miskin di Takster, provinsi Amdo, Tibet, dengan nama Lhamo Thondup—secara harfiah berarti ‘Dewa Yang Memenuhi Keinginan (Wish-Fulfilling Goddesss). Ia diyakini sebagai reinkarnasi dari 13 Dalai Lama terdahulu (yang pertama lahir pada 1351) dan manifestasi dari Avalokiteshvara (Budha Yang Penuh Rasa Kasih). “Saya sering ditanya apakah saya percaya mengenai ini? Jawabannya tidaklah sederhana. Tetapi, sebagai seorang yang sudah berumur 56 tahun, berdasarkan pengalaman hidup dan ajaran Budha, saya tidak begitu sukar untuk menerima bahwa saya secara spiritual dihubungkan dengan 13 Dalai Lama itu dan Budha sendiri,” katanya suatu ketika.
Syahdan, ketika Lhamo Thondup baru menginjak usia 3 tahun, sebuah tim pencari untuk menemukan inkarnasi baru dari Dalai Lama tiba di biara Kumbum. Mereka berada di tempat itu atas dasar beberapa petunjuk. Salah satunya dari Thupten Gyatso. Dalai Lama ke-13 yang meninggal pada 1933 ini konon menjelang ajalnya mendapat penglihatan berupa sebuah biara dengan atap berwarna hijau lumut dan sebuah rumah bertembok warna biru kehijauan.
Setelah dirasa cocok, ketua tim pencari tersebut kemudian menyamar sebagai seorang pembantu. Tetapi, begitu ia mau masuk ke dalam rumah tersebut, anak laki-laki termuda dalam keluarga tersebut meloncat ke pangkuannya dan meminta tasbihnya. Ternyata tasbih ini milik Dalai Lama ke-13 tadi. Sesudah menunjukkan berbagai benda keagamaan, seperti genderang, tasbih, dan tongkat jalan, lagi-lagi si bungsu memilih benda-benda milik mendiang. Berdasarkan pengamatan ini, diputuskan bahwa bocah itu merupakan reinkarnasi dari para pemimpin besar Tibet sebelumnya.
Bocah itu lalu dibawa ke biara Kumbum. “Di sanalah dimulai masa ketidakbahagiaan dalam hidup saya,” kenang Dalai Lama tentang pemisahannya dari orangtua dan lingkungan yang masih asing baginya.
Pada usia 6 tahun, Lhamo Thondup yang sudah berganti nama menjadi Tenzin Gyatso dibawa ke Ibu Kota Lhasa dan tinggal di Istana Potala. Memasuki usia tujuh tahun, Tenzin Gyatso sudah belajar puluhan ribu naskah suci Budha. Saat itu anak bersih itu sudah pandai membaca majalah National Geographic dan Life.
Menjelang usia akil-balig, Tenzin Gyatso sudah menunjukkan minatnya terhadap film dan temuan teknologi modern. Mobil pertama di Tibet, Austin Baby dan sedan Dodge warna jingga, merupakan kendaraan kesukaan remaja ini. Menurut beberapa laporan orang Barat, di waktu itu calon Dalai Lama ini senang menyetir mobil itu, meski harus diam-diam dan dirahasiakan.
Tenzin ditasbihkan menjadi pemimpin spiritual sekaligus negara Tibet pada 18 Februari 1950. Tetapi, 8 bulan kemudian sekitar 80.000 tentara Cina menyerang dan berhasil menduduki negeri “Atap Dunia” itu pada 1951. Pada tahun 1956, Tibet diberi status kawasan otonomi oleh Beijing, yang disebut Pemerintahan Otonomi Tibet.
Akhirnya, 17 Maret 1959 tengah malam, diiringi sejumlah kecil kerabat dan pembantu dekatnya, Dalai Lama meninggalkan Istana Potala. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, ia menunggang kuda keluar kota. Berkat penyamarannya itu, ia lolos dari penjagaan Tentara Pembebasan Rakyat. Bersama 80.000 pengikutnya, Dalai Lama meninggalkan Tibet dan masuk India. Ia bermukim di Dharamsala dan memimpin Pemerintah Tibet dalam pengasingan. Di kota ini pula Dalai Lama menorehkan butir-butir kearifannya, seraya melancarkan kampanye secara damai untuk membebaskan Tibet dari Cina. Dan, untuk usahanya yang terakhir itu, sejauh ini memang belum bisa dibilang berhasil.