Kebaikan bukanlah keterpaksaan. Kebaikan itu ketundukan diri atau ego secara bebas kepada cita-cita moral.
“Lukisan Keadaan Primitif”. Ini judul sebuah puisi Muhammad Iqbal. Ia memang memandang “kejatuhan Adam” sebagai justru kebangkitan, bukan awal kemunculan manusia di bumi. Bagi Iqbal, jannah (taman surga) dalam legenda itu bukan surga yang dijanjikan untuk orang beriman. Ia lebih merupakan lukisan tentang suatu keadaan primitif dalam sejarah manusia.
Setelah diturunkan dari surga, manusia tinggal di bumi. Tapi, dalam pandangan Iqbal, bumi bukanlah tempat hukuman—seperti dalam pandangan Kristen dan lain-lain. Soalnya, pembangkangan pertama oleh manusia itu tak lain berupa tindakan pertamanya untuk melakukan pilihan bebas. Itulah sebabnya mengapa menurut Aluran—pelanggaran Adam yang pertama itu diampuni. Karena itu, kata Igbal, kebaikan bukanlah keterpaksaan. Kebaikan itu ketundukan diri atau ego secara bebas kepada cita-cita moral.
Iqbal melihat Adam sebagai bukan tokoh historis. Baginya, kisah Adam dalam Al-Qur’an adalah simbol pencapaian tertentu perjalanan spiritual manusia. Kata “adam” lebih tepat dimaksudkan sebagai sebuah konsep tentang manusia ketimbang sebagai individu yang konkret.
Ayah Iqbal, Muhammad Nur, adalah sufi yang menjalankan usaha kecil-kecilan, yang menanamkan kecintaan Iqbal kepada Kitab Suci. “Saya biasa membaca Al-Qur’an selepas salat Subuh,” Iqbal bertutur, “Ayah selalu mengawasi dan menanyakan, Apa yang kaulakukan? Saya menjawab, “Saya sedang membaca Al-Quran.’ Pertanyaan itu diulang setiap hari, selama tiga tahun, dan jawaban saya pun tetap. Suatu hari saya bertanya, “Mengapa Ayah selalu menanyakan pertanyaan yang sama, padahal jawaban saya juga sama? “Yang ingin aku katakan kepadamu, ‘Nak, bacalah Al-Qur’an itu seolah-olah diturunkan kepadamu.’”
Allamah Muhammad Iqbal lahir pada 9 November 1877 di Sialkot, Punjab. Ia dari keluarga kelas menengah, walau tidak begitu makmur. Leluhurnya keturunan Brahmana dari Lembah Kashmir, yang sudah memeluk Islam sekitar 300 tahun sebelumnya.
la memulai pendidikannya di maktab (madrasah atau surau) dengan belajar membaca Alguran. Lalu, ia masuk sebuah sekolah misi di Sialkot. Ia sangat beruntung pernah punya guru yang tahu betul bakat dan kecerdasannya. Beliau adalah Maulana Mir Hasan, ulama besar, yang mendorongnya memperdalam kajian di bidang kebudayaan dan sastra Islam. Gurunya itu ikut membentuk jiwanya, khususnya dengan ajaran-ajaran agama.
lqbal menikah di usia sangat muda — sekitar 14 tahun. Tiga tahun setelah itu dia berangkat ke Lahore untuk kuliah di Government College. Pada 1899 ia, yang pernah gagal menjadi pegawai negeri, beroleh gelar M.A. Tahun 1905, atas saran gurunya, Sir Thomas Arnold, ia melanjutkan studi ke Universitas Cambridge, London, tempat ia mencapai gelar sarjana hukum. Di samping itu, ia memperdalam filsafat modern di Universitas Munich, Jerman, dan selesai pada 1907 dengan tesis The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to History of Muslim Philosophy.
Kembali ke tanah airnya, Agustus 1908, ia memimpin Government College di Lahore. Ia juga aktif dalam Liga Muslim India, tempat ia antara lain menguraikan skema negara Islam di Anak Benua. Pakistan adalah negara yang diimpikannya. Untuk sekadar mengongkosi hidup, ia berpraktik pengacara sampai 1937.
Iqbal sering diundang berceramah. Pada 1928, di Madras, ia memberikan enam ceramah yang kemudian ia sempurnakan di Heiderabad dan Aligarh, lalu dihimpun dan diterbitkan oleh Oxford University Press: The Reconstruction of Religious Thought in Islam (diindonesiakan pertama kali oleh Osman Raliby, kedua kali oleh Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Goenawan Mohamad). Di situlah kesimpulannya tentang Adam di atas ditulis.
Iqbal ditinggal wafat sang istri, Sardar Begum, pada 1935, ketika kedua anaknya, Javid dan Munira, baru tujuh dan lima tahun. Seperti dituturkan Doris Ahmad, hatinya begitu hancur oleh kematian itu. Dia tidak pernah lagi mengunjungi kamar-kamar yang dulu ditempati Sardar. “Dia menempati tiga kamar depan. Setiap bulan (memaksa) membayar uang sewa kepada Javid. Pembayaran dilakukan di muka, setiap tanggal 21,” tutur Doris, perempuan Jerman yang diminta Iqbal mengasuh Javid dan Munira sepeninggal ibu mereka. Itu berjalan terus sampai ia meninggal dalam keadaan tidak punya apa-apa.
Masalahnya ialah karena rumah itu, yang kini jadi Museum Iqbal, dibangun atas prakarsa istrinya yang ingin anak-anak tinggal di rumah mereka sendiri dan diatasnamakan Javid. Sebagian besar uangnya dari hasil tabungan Sardar, yang ia sisihkan dari uang belanja. Hanya beberapa hari setelah keluarga itu menempatinya, Sardar wafat.
Lalu, kesehatan Iqbal merosot. Salat, yang tak pernah ditinggalkannya, akhirnya ia lakukan dengan duduk. Ada infeksi di tenggorokannya hingga ia kehilangan suara. Matanya juga mengalami gangguan—padahal ia sedang menyiapkan dua buku: The Reconstruction of Muslim Jurisprudence dan The Book of a Forgotten Prophet. Yang pertama sudah dia mulai, tetapi kemudian ia menyerah karena kesehatannya. Padahal, buku ini menjadi obsesinya sejak 1917. Jika karya ini bisa saya rampungkan,” katanya, “Saya akan mati tenang.” Sayang, karya itu tidak rampung juga. Apalagi yang kedua.
Tercatat pada 25 Maret 1938 penyakit Iqbal sangat serius. Toh, ia bertahan sampai 21 April. Saat itulah, menjelang fajar merekah di kota itu, penyair dan pemikir besar ini berangkat. Sekitar 70.000 orang mensalati dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, di dekat gerbang Masjid Syahi, Lahore